SURABAYA, KOMPAS — Rumah sakit terapung KRI dr Soeharso-990 dan Ksatria Airlangga diberangkatkan dari Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/8/2018), menuju Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kapal yang membawa bantuan tenaga medis ini akan membantu penanganan korban gempa bumi di Lombok yang mengalami luka.
Kedua rumah sakit terapung itu berangkat dari Surabaya dan diperkirakan tiba di Pelabuhan Carik, Lombok Utara, Selasa siang. Rumah sakit terapung tersebut akan memberikan pelayanan medis kepada pengungsi karena sejumlah fasilitas kesehatan di Lombok dikabarkan terganggu akibat gempa.
Komandan Gugus Tempur Laut Koarmada II Laksamana Pertama Erwin S Aldedharma mengatakan, KRI dr Soeharso membawa 153 personel tenaga medis untuk membantu penanganan pengungsi gempa Lombok. Kapal itu juga membawa obat-obatan yang diperlukan oleh pengungsi.
”Ada dokter umum, dokter spesialis, dan perawat yang siap melakukan operasi bedah kepada pengungsi yang luka-luka,” ucapnya.
Sebagai kapal rumah sakit, KRI dr Soeharso dilengkapi 1 ruang UGD, 3 ruang bedah, 6 ruang poliklinik, 14 ruang klinik, dan 2 bangsal rawat inap dengan kapasitas 40 tempat tidur.
Selain membawa bantuan medis, KRI dr Soeharso juga membawa alat berat, antara lain dumptruck, crane cargo, selfloader, backhoe loader, exca PC 70, ran penjernih air, forklift, dan lampu tower.
Ada 100 personel TNI yang ikut diberangkatkan menggunakan kapal tersebut untuk membantu pengungsi. Sementara tenaga medis sudah berada di Lombok menggunakan pesawat terbang.
Adapun untuk Ksatria Airlangga, kata Ketua Tim Acu Pertama Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga Christrijogo Sumantono, ada empat tim dokter yang tergabung dalam Tim Acu Pertama, yakni dokter anestesi, dokter bedah, dokter ortopedi, dan dokter umum. Tim pertama ini akan menuju Pelabuhan Carik dan Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Utara.
Menurut Christrojogo, Tim Acu Pertama merupakan tim assessment, yakni tim yang menilai dan meninjau keadaan di lokasi terdampak gempa. Setelah Tim Acu Pertama, Ksatria Airlangga akan kembali mengirimkan tim dalam jumlah yang lebih besar setelah mengetahui apa saja yang dibutuhkan pengungsi.
”Intinya, jangan sampai ada korban yang mengalami infeksi sebab untuk melakukan operasi tulang akan lebih sulit,” ujarnya.