Jemaah dari berbagai negara terus memadati kompleks Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, Kamis (3/8/2018) malam.
MEKKAH, KOMPAS — Pemerintah harus memandang serius pelanggaran imigrasi oleh 116 warga negara Indonesia di Mekkah, Arab Saudi, yang berujung pada tindakan deportasi terhadap mereka.
Selain mencerminkan karut marut keimigrasian di dalam negeri, kasus tersebut juga menunjukkan tren eksploitatif dari perusahaan jasa perjalanan di tengah tingginya minat masyarakat untuk beribadah haji dan umrah.
"Penanganan kasus ini harus lintas sektor, termasuk lembaga pemerintah selaku regulator dan lembaga swasta sebagai pelaku. Kalau hanya ditangani secara parsial, maka kasus serupa pasti terulang lagi," ujar Konsul Jenderal RI di Jeddah, Mohamad Hery Saripudin, saat dihubungi dari Mekkah, Arab Saudi, Jumat (3/8/2018) sore.
Hery menegaskan, sejumlah kementerian/lembaga harus menangani secara serius kasus seperti ini, termasuk Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Luar Negeri. Ketiga kementerian ini perlu duduk bersama untuk membuat formula tata kelolanya. Tak kalah pentingnya juga adalah mengajak serta biro jasa usaha perjalanan untuk taat pada regulasi yang dirumuskan.
"Kasus seperti ini boleh dibilang daur ulang alias repetisi. Selalu terjadi setiap kali jelang musim haji. Artinya, kita tidak pernah belajar bersama untuk mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh WNI di negeri orang," ujar Hery.
Selama dua tahun menjabat konsul jenderal di Jeddah, Hery mencatat setiap tahun terjadi penggerebekan terhadap WNI di Mekkah jelang wukuf (puncak haji). Kalau dirata-ratakan tiap tahun jumlah WNI yang digaruk oleh otoritas Arab Saudi mencapai 100 orang.
"Biasanya penggerebekan jelang musim haji beruntun 2-3 kali," kata Hery seraya memastikan ke116 WNI yang digaruk Jumat malam pekan lalu sudah diterbangkan keTanah Air dua hari terakhir.
Seperti diberitakan Kompas Jumat (3/8), pemerintah Arab Saudi memulangkan 116 orang WNI yang hendak berhaji tanpa dokumen yang sah. Mereka yang mayoritas berasal dari Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tersebut dirazia pihak keamanan Saudi Arabia di sebuah penampungan, kawasan Misfalah, Mekkah. Mereka sebagian besar memegang visa kerja. Sisanya, masuk Arab Saudi dengan umrah dan visa ziarah. Usia mereka 25-48 tahun.
Hery mengingatkan, ada empat aspek yang harus diperhatikan untuk mencegah berulangnya kasus ini. Pertama, istitha\'ah (kemampuan beribadah haji secara fisik dan mental). Kedua, penegakan hukum. Ketiga, koordinasi antara regulator dan operator. Keempat, edukasi ke publik.
Terkait dengan itu, Konsulat Jenderal RI di Jeddah kini berbenah untuk merintis diri sebagai "laboratorium perlindungan WNI" di luar negeri. Menurut Hery, kasus-kasus pelanggaran keimigrasian dalam berhaji dan umrah berikut problematika dalam ketenagakerjaan (pekerja migran) selama imi menjadi pembelajaran bagi jajaran konsulat.
"Dari dimamika tersebut kita analisa akar masalahnya kemudian mencari jalan keluarnya. Moga bisa jadi rujukan (roll model)," katanya.
Tertibkan biro perjalanan
Secara terpisah, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Nizar Ali, menegaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan institusi yang menangani pemberangkatan jemaah haji dan umrah, termasuk lembaga-lembaga yang memberikan bimbingan ibadah.
Belajar dari berulangnya kasus seruoa, Kemenag akan menertibkan perusahaan penyelenggara ibadah haji dan umrah. "Ini sungguh aneh. Ada yang niatnya umrah saat Ramadhan, tapi kok sampai sekarang tidak balik ke Tanah Air. Jika kasus ini melibatkan biro perjalanan, maka pasti ada sanksi yang tegas. Bisa berujung pada pencabutan izin usaha biro perjalanan bersangkutan," kata Nizar.
Merujuk pada norma agama, kata Nizar, berhaji itu hendaknya dilakukan oleh orang yang mampu. Batasan mampu di sini, tak hanya dari segi finansial, tetapi juga mampu menaati aturan hukum di negara lain.
"Niat baik masyarkat untuk beribadah, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik pula, yakni sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai niat baik itu dieksploitasi tanpa memikirkan risiko hukumnya," papar Nizar.
Sementara itu, Data Sistem Komputerisasi Haji menunjukkan, hingga Jumat siang jumlah jemaah haji asal Indonesia yang telah tiba Arab Saudi mencapai 116.963 orang, terbagi dalam 287 kelompok terbang. Artinya, sudah lebih dari separuh jemaah haji reguler Indonesia sudah berada di Tanah Suci (Madinah dan Mekkah). Mereka bertolak melalui 12 bandara embarkasi di Tanah Air. (NAR)