Siaran Berita Perbatasan dan Kedaulatan Bangsa
Menyusuri perbatasan Indonesia sejak 2002 hingga kini, berbagai perbaikan terus dilakukan, termasuk menghadirkan kedaulatan bangsa Indonesia melalui berbagai siaran berita di sempadan dan ujung-ujung negeri dari Aceh, Papua, Nunukan, Atambua, hingga Kepulauan Natuna yang berbatasan dengan daerah sengketa China dengan Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan kepentingan Amerika Serikat serta sekutunya di Laut Natuna Utara.
Siaran radio dan berbagai tayangan televisi, seperti TV3 Malaysia dan kelompok radio Radio Televisyen Malaysia (RTM) pada 1970-an dan 1990-an masih menjadi informasi sehari-hari warga Pulau Tujuh (istilah masyarakat setempat bagi Kepulauan Natuna dan Anambas). Wan Suhardi, aktivis penyiaran dan perintis RRI Natuna, mengatakan, siaran nasional pertama dilakukan pada Juni 1997 di Natuna dengan keberadaan Radio Republik Indonesia.
”Semula kita mendengarkan radio gelombang pendek (short wave) dari luar negeri yang tertangkap di sini, seperti Malaysia dan Vietnam. Dengan antena parabola pun, yang tertangkap tayangan televisi Malaysia. Sekarang situasi jauh lebih baik, terutama lima tahun terakhir banyak perhatian pemerintah pusat ke Natuna yang sering mendapat pemberitaan karena potensi konflik di perairan sini,” kata Wan Suhardi.
Namun, saat ini sebagian besar warga Natuna menonton sinetron televisi swasta ataupun berbagai tayangan berita. Dalam pengamatan di sejumlah warung kopi, lobi hotel, dan ruang publik, masyarakat Natuna umumnya menonton siaran televisi Indonesia dari stasiun swasta ataupun TVRI. Kedai kopi di Natuna, seperti di Sumatera dan Kalimantan serta wilayah timur Indonesia, menjadi tempat berkumpul warga untuk bersosialisasi.
Dalam kunjungan ke Natuna, sepanjang Minggu-Rabu (15-18 Juli 2018), penulis bersama rombongan peneliti tentang siaran berita di perbatasan dari Universitas Indonesia (UI) menemui berbagai unsur masyarakat perbatasan di Natuna dan aparatur negara untuk mengumpulkan data dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan.
Sesama warga Natuna memanfaatkan platform media sosial, seperti Facebook, untuk berdiskusi dan menyampaikan masalah yang kemudiaan dibahas dalam tayangan setempat, seperti program tertentu di RRI Natuna.
Beberapa radio swasta juga muncul dalam kapasitas terbatas di Natuna. Asosiasi pewarta online juga muncul di wilayah strategis di ujung utara Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1 tersebut yang berada di antara jalur pelayaran penerbangan Malaysia barat-Malaysia timur serta zona pencarian ikan nelayan-nelayan Vietnam serta jalur lintasan kapal-kapal pengangkut migas dari Selat Malaka menuju China-Jepang-Taiwan dan Korea Selatan.
Saya kalau berlayar senang sekali bila sudah mendapat pancaran siaran radio. Berarti kita sudah dekat daratan.
Zainudin, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Desa Sepampang yang ikut dalam acara temu diskusi di RRI Ranai, mengatakan, dirinya berharap siaran radio di Natuna bisa dipancarkan lebih jauh lagi sehingga nelayan dapat memantau informasi saat melaut. Siaran radio dari Natuna tersebut juga menjadi penanda bagi kapal-kapal asing bahwa mereka berada di wilayah ZEE dan juga dekat daerah teritorial Indonesia.
Bahkan, lazimnya kapal-kapal yang berlayar di laut lepas pun memantau posisi, salah satunya lewat siaran radio yang mereka dengar untuk mengetahui berada di dekat atau di jangkauan wilayah mana. Letkol Asep, perwakilan dari Pangkalan TNI AL Natuna, membenarkan pentingnya siaran radio yang kuat di daerah perbatasan.
”Saya kalau berlayar senang sekali bila sudah mendapat pancaran siaran radio. Berarti kita sudah dekat daratan. Apalagi kalau bicara berlayar di sekitar perbatasan Indonesia, senang sekali mendengar lagu-lagu dari Indonesia,” kata Asep.
Asep mengingatkan, pentingnya menjaga wilayah Natuna yang kaya. Sepanjang 2017, TNI AL sudah menenggelamkan 68 kapal nelayan pencuri ikan di sekitar Natuna.
Upaya membangun semangat kebangsaan dan kedekatan dengan Tanah Air serta kampung halaman dibangun oleh RRI Natuna. Didi Sukardi, salah satu penyiar di RRI Natuna, mengatakan, warga Natuna memiliki demografi beragam, dari masyarakat Melayu dan masyarakat Tionghoa yang terbilang merintis hunian di sana hingga warga transmigrasi serta aparat yang kemudian berkembang memberi warna Nusantara di Natuna.
”Kita ada siaran khusus lagu Sunda, Jawa, Minang, Batak, pantun Melayu, dan lain-lain secara bergiliran dalam sepekan. Setiap hari Minggu siaran lagu-lagu umum untuk semua kelompok masyarakat. Siaran juga dibagi dengan memancarkan Programa Tiga siaran nasional Jakarta, Programa Dua untuk Anak Muda, dan Programa Satu yang merupakan kanal masyarakat,” kata Didi yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat.
Dalam membuka siaran, pekik merdeka dan sebutan Natuna Indonesia selalu disampaikan penyiar RRI Natuna. Identitas sebagai stasiun radio perbatasan yang strategis di wilayah perbatasan disadari para awak RRI Natuna.
Namun, keterbatasan kekuatan daya pancar siaran masih menjadi masalah. Ketua KNPI Natuna Wenriadi menceritakan, untuk menjangkau 14 kecamatan di Natuna harus ditempuh dengan perjalanan laut. Yang terjauh ditempuh dengan kapal Pelni selama 12 jam.
Forum media sosial, seperti Facebook yang menjadi ajang diskusi warga, pun tidak bisa digunakan sepanjang waktu karena kekuatan sinyal internet masih terbatas di beberapa wilayah Natuna. Bahkan, di sebagian wilayah Ranai yang menjadi pusat pemerintahan pun masih banyak daerah yang cakupan layanan internetnya terbatas.
Zarni, anggota kelompok tani di Desa Sepempang, berharap adanya siaran radio ataupun berita di perbatasan juga dapat membantu menginformasikan soal pemasaran komoditas, seperti cengkeh dan kopra. Terlebih, sekarang masyarakat tidak bisa lagi seleluasa dulu berniaga ke Sarawak, Malaysia.
Memang seturut sejarah, warga Pulau Tujuh (Natuna-Anambas) lebih akrab berniaga ke Sarawak. Hubungan itu terganggu pada masa konfrontasi ganyang Malaysia pada 1963-1966. Warga berniaga dan bekerja di Sarawak secara tradisonal.
Kini seiring perhatian pemerintah pusat, warga berharap tidak saja sektor keamanan dan pertahanan yang dibangun. Pagar pertahanan yang utama, yakni kemandirian ekonomi, hendaknya juga menjadi prioritas dalam membangun Natuna.
Saat ini memang penerbangan ke Natuna via Batam dan Tanjung Pinang juga sudah berlangsung setiap hari. Meski demikian, belum ada jalur penerbangan langsung ke Pontianak, Jakarta, bahkan Singapura yang sebetulnya sangat potensial untuk mendukung dunia pariwisata di Natuna yang dikaruniai keindahan alam.
Kemudahan akses dan komunikasi Natuna dengan dunia luar, termasuk soal pemberitaan Natuna, sangat minim di Kabupaten berpenduduk 80.000 jiwa itu.
Pemuda penggerak wisata, Arip Naen yang baru saja mengantarkan warga Jerman berwisata yacht di Natuna mengatakan, peluang pengembangan wisata alam terbuka lebar di Natuna. Namun, kemudahan akses dan komunikasi Natuna dengan dunia luar, termasuk soal pemberitaan Natuna, sangat minim di Kabupaten berpenduduk 80.000 jiwa itu.
Komandan Pangkalan Udara Raden Sadjad Natuna Kolonel Prasetya Halim mengatakan, pihaknya sedang mengembangkan runway kedua di lanud sehingga frekuensi penerbangan militer dan sipil di Natuna bisa bertambah. ”Kami sedang persiapkan pembangunan Pangkalan Udara Tipe A di Natuna. Dari sisi pertahanan, pembangunan berbagai pangkalan TNI sedang berlangsung. Keberadaan siaran berita di perbatasan ini sangat menunjang upaya membangun kesadaran berbangsa dan memperkuat keindonesiaan,” kata perwira lulusan Akabri 1993 itu.
Dr Lily Tjahjandari yang memimpin tim riset UI pun tak ketinggalan mengisi acara interaktif di RRI Natuna ketika rombongan datang ke Natuna. Masyarakat antusias berdiskusi dengan para narasumber yang dihadirkan radio tersebut.
Selain siaran berita, interaksi warga, dan membangun informasi pasar bagi petani dan nelayan, Wan Suhardi, mantan penyiar RRI Natuna yang juga pegiat budaya Melayu, berharap siaran RRI Natuna dan radio swasta setempat dapat menghidupkan kembali budaya lokal, yakni Wayang Mendu, seni wayang orang Melayu yang memadukan unsur budaya Islam, Campa, dan busana Tionghoa dengan lelakon Hikayat Dewa Mendu.
Ardianto, Ketua Karang Taruna di Sepempang, sepakat dengan gagasan Wan Suhardi. Di masa silam, pertunjukan Wayang Mendu dipentaskan tujuh malam berturut-turut dan kini sudah hilang. Keberadaan seni panggung tersebut sangatlah penting sebagai identitas daerah dan pengingat kekayaan Natuna dan nilai strategis sebagai daerah perbatasan dengan adanya akulturasi budaya Melayu dengan Campa dan Tionghoa yang kini hidup di dalam naungan Negara Republik Indonesia.
Berbagai temuan dan usulan masyarakat itu oleh tim UI disampaikan dalam laporan kerja kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pertahanan sebagai bagian dari pendataan soal siaran berita di perbatasan yang sudah dikerjakan dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, hingga berbagai wilayah perbatasan Indonesia. Hal itu dilakukan untuk membangun semangat kebangsaan lewat berbagai siaran radio dan pemberitaan di sudut-sudut terdepan Indonesia yang memadukan informasi di pusat pemerintahan Jakarta dengan kekayaan dan potensi daerah perbatasan.