MATARAM, KOMPAS Para pengungsi gempa Lombok, NTB, mulai terjangkit berbagai penyakit, empat hari pascagempa. Diare, maag, batuk-pilek, dan gatal-gatal adalah jenis penyakit yang paling banyak dialami pengungsi.
Kondisi lingkungan pengungsian yang kering berdebu dan panas di siang hari dan sangat dingin di malam hari membuat tubuh pengungsi rentan. "Warga yang sakit mayoritas anak-anak dan lanjut usia," kata Kepala Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Lalu Kanahan, Kamis (2/8/2018).
Para pengungsi di Desa Sajang, umumnya pengungsi mandiri yang mendirikan tempat berteduh dari terpal plastik dan tanpa dinding di halaman rumah dengan iuran warga. “Siang kepanasan, malam kedinginan,” ujar Fenawati, warga yang mengungsi di halaman Kantor Desa Sajang. Di Desa ini juga belum dilengkapi fasilitas MCK.
Umumnya, para pengungsi yang sakit berada di beberapa titik pengungsian di Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur. Mereka sudah memperoleh perawatan dari para relawan medis yang berkeliling ke sejumlah lokasi pengungsian.
Namun, yang tak kalah penting dan mendesak, para pengungsi itu sangat membutuhkan suplai air bersih dan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK).
Masalah buang air
Dari 82 titik pengungsian yang ditempati 4.316 pengungsi di Desa Sajang misalnya, belum dilengkapi fasilitas yang diperlukan seperti MCK. Untuk buang air, warga harus menggali lubang di kawasan hutan di lokasi pengungsian. Suplai air bersih ada setiap hari, tetapi masih kurang.
Di Dusun Medas, Desa Obel-Obel, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, warga harus berjalan kaki 500 meter ke sungai atau ke hutan untuk buang air. “Mau numpang BAB di tetangga, air terbatas untuk MCK,” kata Fitriah, salah satu pengungsi. Karena pasokan air terbatas, Arsadi (3), anak Fitriah, belum mandi sejak lima hari lalu. Kini, ia gatal-gatal di bagian kaki.
Makanan para pengungsi juga kurang terjaga karena sering mengonsumsi mie instan. Asupan gizi juga perlu diperhatikan agar tidak terserang penyakit.
Kepala Dusun Medas Saiful Nuryadi mengatakan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Timur hanya memberi suplai air bersih sebanyak 5.500 liter tiap dua hari. Itu tidak cukup memenuhi kebutuhan 740 pengungsi di lima tenda pengungsian.
“Instalasi air bersih di sini juga rusak akibat gempa, menjadikan sanitasi di lokasi pengungsian kurang baik. Kami berharap segera ada bantuan agar tidak ada warga yang sakit akibat fasilitas tak maksimal,” kata Nuryadi.
Kelengkapan pengungsi lain yang jarang diperoleh, antara lain susu, selimut, pakaian layak pakai, sabun cuci, sabun mandi, perlengkapan bayi, sikat gigi, pasta gigi, daging, dan ikan kalengan. Misalnya, dari 4.316 jiwa pengungsi, baru sepuluh persen yang memperoleh bantuan selimut. Di Dusun Medas, dari 740 jiwa pengungsi, baru dibagikan 50 lembar selimut.
Wandi, relawan medis yang memantau pengungsi mengatakan, sebagian pengungsi sakit maag, batuk, dan pilek, antara lain karena kedinginan saat malam hari karena tanpa selimut. Padahal, suhu di Kecamatan Sembalun (1.100 meter di atas permukaan laut), mencapai 15 derajat Celcius di malam hari.
“Makanan para pengungsi juga kurang terjaga karena sering mengonsumsi mie instan. Asupan gizi juga perlu diperhatikan agar tidak terserang penyakit,” ucap Wandi.