JAKARTA, KOMPAS – Perusahaan teknologi finansial (tekfin/fintech) memegang peranan penting dalam upaya financial inclusion atau peningkatan jumlah masyarakat Indonesia yang dapat mengakses layanan finansial formal. Semakin besar jumlah masyarakat yang terinklusi secara finansial, daya saing industri finansial akan semakin tinggi.
Philippe Le Houerou, CEO International Finance Corporation (IFC), anggota kelompok Bank Dunia, mengatakan, terobosan-terobosan teknologi finansial dapat meraih menyentuh kelompok masyarakat yang tak tersentuh oleh layanan finansial atau unbanked. Kebutuhan akan infrastruktur fisik seperti pembangunan kantor cabang bank dapat dihindari dengan menggunakan konektivitas digital yang sudah ada.
“Secara sederhananya, siapapun yang memiliki ponsel, sekarang dapat mengakses layanan pembayaran, rekening tabungan, investasi, pinjaman, dan asuransi,” kata Le Houerou di sela-sela pembukaan Forum Fintech and Financial Inclusion pada Selasa (31/7/2018) di Jakarta.
Secara sederhananya, siapapun yang memiliki ponsel, sekarang dapat mengakses layanan pembayaran, rekening tabungan, investasi, pinjaman, dan asuransi
Akses masyarakat terhadap layanan perbankan di Indonesia, dinilai Le Houerou, memiliki permasalahan khusus, yakni kondisi geografis yang luas dan berpulau-pulau. Berdasarkan data Global Findex 2017, sebanyak 33 persen masyarakat unbanked ini menyatakan bahwa jarak menghambat akses mereka terhadap layanan perbankan.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Nurhaida, wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tekfin dengan internet dapat menyentuh masyarakat yang ada di pelosok Indonesia.
“Dengan infrastruktur tersebut itu kami harap tekfin dapat menaikkan inklusi finansial di indonesia. Dan itu akan berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena makin banyak masyarakat akan punya akses ke sistem finansial yang ada di Indonesia,” kata Nurhaida.
“Dengan menggunakan tekfin, penyaluran layanan finansial menjadi lebih efisien, lebih cepat dan lebih mudah diakses masyarakat,” tambahnya.
Tekfin kemudian diharapkan dapat menjadi motor penggerak peningkatan inklusi finansial Indonesia. Pada dasarnya, progres inklusi finansial yang dilakukan pemerintah Indonesia diapresiasi oleh dunia internasional.
Berdasarkan data Global Findex Bank Dunia 2017, yang dikutip oleh Nurhaida, jumlah penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank adalah sebanyak 49 persen. Jumlah ini meningkat sebesar 13 persen dari 2014; peningkatan tertinggi di negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Meski demikian, capaian sebesar 49 persen masih belum memenuhi target yang dicanangkan oleh pemerintah, yakni 75 persen tingkat inklusi finansial pada 2019.
Penerapan tekfin yang luas baik oleh dunia perbankan maupun institusi finansial lain dinilai dapat mengejar target ini, terlebih lagi, perusahaan rintisan (start-up) tekfin tumbuh subur di Indonesia. Pada Desember 2017, ada 235 perusahaan tekfin di Indonesia, jumlah ini dua kali lebih banyak dibandingkan pada 2015.
Ponsel menjadi kunci
Di sisi lain, sebanyak 69 persen dari kelompok masyarakat unbanked memiliki telepon seluler pribadi. Sekretaris Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) Eni Widiyanti menilai, kondisi ini adalah peluang untuk meningkatkan jumlah inklusi finansial apabila dikombinasikan dengan keberadaan tekfin.
“Langkah ke depan kita (dalam inklusi finansial) adalah melalui telepon seluler,” kata Eni.
Le Houerou menilai, guna pertumbuhan tekfin yang tinggi ini dapat diarahkan menjadi motor penggerak inklusi finansial. Namun, ia menilai, perlu ada peningkatan di beberapa aspek, seperti kualitas infrastruktur pendukung seperti jaringan internet dan dorongan aktif dari pemerintah agar tingkat adopsi tekfin di masyarakat menjadi lebih luas.
Langkah ke depan kita (dalam inklusi finansial) adalah melalui telepon seluler
Eni mengungkapkan, pihaknya sedang merancang bentuk regulasi yang memungkinkan pemerintah menggunakan tekfin atau bekerja sama dengan perusahaan tekfin untuk menyalurkan berbagai program pemerintah. Dengan demikian, jumlah masyarakat yang memiliki rekening bank dan infklusi finansial akan meningkat.
“Misalnya digunakan untuk program KUR atau Kredit Usaha Rakyat. KUR memiliki target penyaluran sebesar Rp 120 triliun untuk tahun ini,” kata Eni.
Sementara itu, proses customer due diligence elektronik atau CDD dan tanda tangan digital yang dapat dilakukan secara mudah dibutuhkan perusahaan tekfin untuk tumbuh dan berkembang. Niki Luhur, Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mengatakan, dari hasil survey yang dilakukan internal Aftech, dua isu di atas menjadi perhatian utama para pemain tekfin Indonesia.
Hal tersebut diakui oleh Eni, oleh karena itu, pihaknya akan mulai merencanakan regulasi dan kesiapan untuk menerima identifikasi biometrik seperti sidik jari untuk membuka rekening dan melakukan transaksi keuangan.
Sistem keamanan semacam itu dinilai penting untuk memperluas penggunaan tekfin di Indonesia. Chrisma Albandjar, Chief Communication Officer DANA Indonesia mengatakan, faktor keamanan menjadi hal yang utama dalam proses pengenalan dan penggunaan sebuah layanan keuangan.
“Tanpa keamanan yang terjamin, masyarakat tidak akan mau menggunakan sebuah layanan. Seberapa mudahnya cara menggunakannya, (tekfin) tidak akan digunakan secara luas apabila ada indikasi tidak aman,” kata Chrisma.