Batubara Terbukti Mahal dan Kotor, Energi Bersih Didorong
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kenaikan harga batubara hingga lebih dari 100 dollar AS per ton menunjukkan sumber energi ini mahal. Untuk itu, didorong agar melakukan terobosan dalam meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan, alih-alih meningkatkan ekspor untuk menambah devisa.
Harga batubara yang meroket ini membuat biaya operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang digadang-gadang sebagai pembangkit berbiaya murah – melonjak. Apalagi saat ini pemerintah akan mencabut harga khusus (70 dollar AS per ton) batubara bagi konsumsi dalam negeri. Itu membuat pembangkit harus mengonsumsi batubara seharga pasar, lebih dari 100 dollar AS per ton.
Kondisi ini dikhawatirkan membuat eksploitasi batubara untuk tujuan ekspor meningkat. Apalagi keran ekspor batubara jadi longgar. Jika semula produksi batubara untuk ekspor dibatasi 400 juta ton, kini lebih dari 425 juta ton.
“Ini berbahaya karena memengaruhi kedaulatan dan cadangan energi kita. Cara pandang batubara sebagai barang komoditas agar diganti sebagai kedaulatan energi,” kata Dwi Sawung, pengkampanye perkotaan dan energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Senin (30/7/2018) di sela-sela Konsolidasi Pejuang Energi Bersih dan Berkeadilan di Jakarta.
Cara pandang batubara sebagai barang komoditas agar diganti sebagai kedaulatan energi.
Kebijakan negara seharusnya melindungi cadangan energi, terutama energi fosil, yang tak terbarukan. Jadi jika sumber energi ini diobral, suatu saat akan habis dan menimbulkan krisis energi. Contohnya, Sawung, China dan Australia yang menutup tambang-tambang batubara dan menyasar Indonesia sebagai sumber pasokan energi.
Di sisi lain, menurut Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi, Khalisah Khalid, kebutuhan dalam negeri meningkat seiring target 35.000 megawatt (MW) yang 60 persen berasal dari batubara. Selain bakal memberatkan keuangan negara, aktivitas tambang batubara dan PLTU membawa dampak buruk bagi masyarakat sekitar.
Bahkan PLTU, emisi partikel PM2,5 bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer menembus batas wilayah dan negara. Itu belum termasuk abu pembakaran yang dikategorikan sebagai limbah bahan beracun berbahaya yang memerlukan penanganan tersendiri.
“Pemerintah mengabaikan suara masyarakat yang menolak ruang hidupnya dan wilayah kelolanya dijadikan tambang batubara atau PLTU, karena menyadari dampak buruk yang dialami mulai dari penghancuran hutan dan wilayah kelola rakyat, pencemaran udara, pencemaran air, wilayah pesisir hingga perampasan tanah dan konversi lahan pertanian masyarakat,” kata dia.
Pemerintah mengabaikan suara masyarakat yang menolak ruang hidupnya dan wilayah kelolanya dijadikan tambang batubara atau PLTU.
Dalam pertemuan yang difasilitasi Walhi kemarin, Wardah warga Sorolangun, Jambi menuturkan, aktivitas perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di lingkungannya sejak 2010. Perusahaan itu mengubah aliran 3 anak sungai Batanghari pada 2015 sehingga ikan mati, sumur kering, dan sungai kotor.
Aktivitas tambang saat ini kian mendekati rumah warga dari jarak 500 meter di tahun 2016, kini aktivitas tambang hanya berjarak 20 meter dari rumah warga. “Kami sudah bertemu dan berkirim surat kepada bupati dan polda tapi belum ada tanggapan,” kata dia.
Namun ada pula contoh sukses dari Kalimantan Selatan yang penolakan tambang di Pegunungan Meratus Hulu Sungai Tengah, didukung pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif. Namun, daerah itu kini kian gelisah karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Surat Keputusan 441/2017 berisi Izin Operasi PT MCM.
Masyarakat kini mengadukannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan telah menginjak sidang ke-12. “Kami ingin SK izin operasi PT MCM tersebut dicabut,”kata Haini, warga setempat.
Energi bersih
Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi mendorong agar pemerintah mengubah haluan dari energi fosil ke energi bersih. Ia pun menyambut baik rencana Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM yang akan menerbitkan payung hukum terkait energi matahari di atap.
Ia mengatakan energi bersih dan terkontrol langsung oleh masyarakat ini menjadi pedoman Walhi. Bukan energi bersih berskala besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi maupun PLTA yang rentan konflik masyarakat. Yuyun menyebut sumber energi mikrohidro, tenaga surya, serta biogas dari sampah amat potensial dikembangkan skala rumah tangga dan kelompok masyarakat.
Khalisah Khalid mengingatkan, energi bersih dalam konteks penurunan emisi jadi komitmen Indonesia dalam Konferensi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) Ke-21 di Paris. Saat itu, Indonesia menyatakan komitmennya mengurangi emisi gas rumah kaca 29 - 41 persen pada tahun 2030.
Kontribusi dari sektor energi diperkirakan 11 persen dari total pengurangan emisi. Komitmen ini diperkuat dengan UU yang meratifikasi Kesepakatan Paris dan NDC Indonesia. Di sisi lain, pemerintah menjanjikan target 23 persen bauran energi terbarukan tahun 2025 dan konversi limbah menjadi energi sebagai prinsip utama dari strateginya (RUEN, 2017).
Menurut Walhi, komitmen Indonesia untuk menekan emisi gas rumah kaca, khususnya di sektor energi, tak sejalan dengan kebijakan di sektor energi yang masih tergantung dengan bahan bakar fosil, seperti batubara sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).