Anak-anak Itu Menjadi Korban Konten Pornografi
Lagu ”Suket Teki” terdengar riuh dari salah satu ruangan di Panti Sosial Marsudi Putra Antasena Magelang, Jawa Tengah, Jumat (20/7/2018) petang. Lagu itu dinyanyikan 28 anak laki-laki yang tengah berlatih marching band dengan penuh semangat. Sebagian anak-anak larut dalam kegembiraan, sambil bermain musik dan bernyanyi, mereka pun berjoget dengan berbagai gerakan.
Sekilas profil anak-anak tersebut sama dengan anak-anak pada umumnya. Padahal, mereka adalah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang berasal dari sejumlah daerah. Mereka dikirim ke panti tersebut karena terlibat sejumlah kasus pidana, mulai dari pencurian, kekerasan dan pelecehan seksual, hingga penganiayaan yang berujung pada kematian.
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena Magelang merupakan lembaga di bawah Kementerian Sosial yang memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak-anak yang berperilaku menyimpang. Sebelum tahun 2016, anak-anak yang menjalani rehabilitasi mayoritas terjerat kasus pencurian. Namun, sejak 2016 sampai sekarang, mayoritas anak-anak tersebut terkena kasus kekerasan seksual, yang jumlahnya terus meningkat setiap tahun.
Ketika latihan musik, perilaku anak-anak PSMP Antasena Magelang seperti anak-anak biasa. Namun, pada saat-saat tertentu mereka pun tertingkah di luar kebiasaan. ”Tidak gampang menjadi guru musik bagi anak-anak tersebut,” ujar Wiyono, pelatih musik marching band PSMP Antasena Magelang. Ia mengatakan, menjadi guru musik tak semudah yang dibayangkan.
Tidak sekadar melatih musik, Wiyono mengatakan, di PSMP Antasena Magelang dia harus melatih diri untuk menghadapi anak-anak. ”Harus terus bersabar menerima kondisi dan perilaku berbeda dari murid-muridnya, seperti diam dan malas-malasan, sering emosional, atau kerap kehilangan konsentrasi karena libido tinggi dan sering melakukan onani,” ujar Wiyono. Dia memaklumi anak-anak dengan memahami semua cerita dari masa lalu anak-anak itu.
Sejak Januari hingga Juni 2018, jumlah ABH yang dirawat di PSMP Antasena terdata mencapai lebih dari 120 anak dengan jumlah anak bervariasi tiap harinya. Mereka berasal dari sejumlah kota di Jawa dan Kalimantan. Di luar panti, PSMP Antasena juga membina 80 ABH yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Salah satu pemicu dari tindak pelecehan seksual berasal dari video dan gambar pornografi yang diakses dari gawai. ”Tidak perlu menonton selama berhari-hari atau berbulan-bulan. Kebanyakan anak pelaku kekerasan seksual mengaku melakukan pelecehan seksual setelah satu atau dua kali menonton konten pornografi di gawai,” ujar pembimbing psikolog di PSMP Antasena Magelang, Betaria Septiarini Rosana.
Pengaruh teman
Tidak memiliki gawai juga tidak kemudian menjauhkan mereka dari akses pornografi. Di lingkup pergaulan di lingkungan tempat tinggal atau sekolah, gambar atau tayangan visual, anak-anak biasa saling meminjamkan benda yang dimiliki termasuk gawai. Dari sinilah kemudian juga terjadi kecenderungan untuk saling berbagi informasi atau gambar yang ditemukan dari akses internet melalui gawai.
Dari pengakuan sejumlah anak-anak di PSPM Antasena, berbagai informasi dan gambar pada anak-anak yang merupakan satu kelompok teman dekat membuat anak-anak tersebut rentang kecanduan konten negatif dalam gawai. Lalu, setelah melihat gambar dan video pornografi, mereka akhirnya bersepakat untuk bersama-sama melakukan hal yang dilihatnya di gawai.
”Namun, tindakan anak-anak tersebut biasanya tidak terencana sebelumnya. Semua tindak pelecehan biasanya terjadi murni karena spontanitas. Melihat ada kesempatan dan ada anak lain bisa menjadi obyek pelecehan, maka seketika itu juga mereka akan melakukan,” ujar Betaria.
Karena spontanitas tersebut, anak pun tidak pernah memilih anak lain yang menjadi obyek. Siapa pun yang dilihat bisa menjadi obyek asalkan anak lain tersebut masih lebih muda dan dinilai tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Ia mencontohkan salah satu kasus kekerasan seksual yang dilakukan empat anak berusia 7-8 tahun terhadap seorang anak di bawah lima tahun (balita), pelakunya adalah anak tetangga mereka. Kekerasan seksual tersebut dilakukan setelah sebelumnya mereka bersama-sama pernah menyaksikan video porno di gawai milik salah satu pelaku.
”Anak-anak kecil, terutama mereka yang berusia di bawah 12 tahun, mengaku tidak merasakan apa-apa saat melakukan tindak seksual tersebut. Mereka meniru dan menganggap hal itu seperti permainan belaka,” ujarnya.
Namun, untuk anak-anak berusia lebih tua 15-17 tahun, tindak seksual dipicu oleh dorongan seksual. Tontonan di gawai membuat mereka ingin untuk melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Tak jarang, hubungan ini berakhir pada kehamilan di luar nikah.
Pengaruh orangtua
Tayangan pornografi juga bisa berdampak parah pada perubahan perilaku anak. Satu anak binaan di PSMP mengaku mengalami perubahan perilaku setelah dirinya sering mengintip, menonton tayangan VCD porno, yang kerap ditonton oleh ayahnya di rumah. Saat ini anak tersebut mendapatkan penanganan khusus dengan melibatkan psikolog dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof Dr Soerojo, Magelang.
Begitu kuatnya, paparan pornografi pada anak-anak tersebut, sehingga tidak bisa hilang sekejap. Bahkan, beberapa anak setelah mendapat putusan pengadilan, masih tetap mengulangi perbuatan asusila yang sama.
”Meski di pengadilan dinyatakan bersalah, anak-anak itu adalah korban yang terpapar pengaruh dari segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya dan dunia maya,” ujar penyuluh sosial PSMP Antasena Magelang, Hesty Prihatnawati.
Menyikapi kondisi tersebut, orangtua di masa kini harus waspada dan sejak dini menyiapkan anak-anaknya agar mampu membentengi diri, melawan semua hal buruk tersebut. Orangtua pun harus segera mengubah pola dan persepsi dalam hal membesarkan anak.
”Banyak anak terdampak buruk karena orangtuanya hanya terfokus pada cara membesarkan anak hanya dengan memberinya makan, asupan untuk fisik semata. Padahal, jauh lebih penting dari itu, anak-anak membutuhkan asupan untuk jiwanya,” ujarnya.
Penelitian
Kemudahan mengakses internet melalui gawai membuat anak-anak mudah terpapar pornografi, bahkan mendorong terjadinya kekerasan seksual oleh anak terhadap anak. Para pelaku rata-rata anak berusia 16 tahun dengan korban anak perempuan dan laki-laki.
Hal itu terlihat dari hasil penelitian tentang kekerasan seksual anak terhadap anak yang dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Kementerian Sosial bekerja sama dengan End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia tahun 2017.
Dari penelitian yang berlangsung Juni-Agustus 2017 dilakukan di lima kota, yakni Jakarta Timur (DKI), Magelang (Jawa Tengah), Yogyakarta (DIY), Mataram (NTB), dan Makassar (Sulsel). Ditemukan pornografi (43 persen) merupakan faktor determinan yang memengaruhi anak melakukan kekerasan seksual.
Ketika memaparkan hasil penelitian tersebut pada akhir November 2017, peneliti Istiana Hermawati dan Endro Winarno, di Kementerian Sosial mengungkapkan kelima daerah itu menjadi lokasi penelitian karena data kekerasan seksual anak terhadap anak dalam empat tahun terakhir (2014-2017) di lima lokasi tersebut tercatat paling tinggi, yakni 281 kasus. Sepanjang 2017, sudah ada 49 kasus kekerasan seksual anak terhadap anak di lima kota itu.
Penelitian tersebut dilakukan karena fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat. Data Susenas Badan Pusat Statistik tahun 2014 menunjukkan, 74.283 anak menjadi korban kekerasan seksual.
Hasil penelitian membuktikan bahwa kekerasan seksual anak dipengaruhi oleh pornografi, teman sebaya, histori kekerasan, dan keluarga. Sebanyak 11 persen dipengaruhi faktor minuman keras serta narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
Telepon genggam (28 persen) adalah yang paling banyak digunakan anak-anak dalam mengakses pornografi, disusul komputer, gambar, dan VCD. Sebagian besar (55 persen) anak pelaku kekerasan seksual dari keluarga utuh atau memiliki ayah dan ibu serta 45 persen merupakan keluarga cerai/meninggal. Pekerjaan orangtua pelaku mayoritas buruh. Menteri Sosial yang ketika itu dijabat Khofifah Indar Parawansa menyatakan sangat prihatin dengan kondisi tersebut.