PHNOM PENH, KOMPAS - Warga Phnom Penh berbondong-bondong meninggalkan ibu kota Kamboja pada Sabtu (28/7/2018). Selain karena ingin berlibur, mereka juga akan menggunakan hak pilih di kampung halaman masing-masing.
Salah seorang warga, Sophea, mengatakan, dirinya meninggalkan Phnom Penh pada Sabtu malam. Ia berangkat bersama istrinya. Namun, ia menolak menyebut di mana kampung halamannya. Sebab, ia menyatakan tidak memberikan suara pada pemilu yang akan berlangsung hari ini.
”Saya hanya mau memanfaatkan libur ekstra. Untuk pemilu, total liburnya tiga hari. Jadi, saya bisa leluasa pulang kampung,” katanya.
Sophea mengatakan takut ketahuan jika tidak memilih. Pendukung CNRP itu pernah mendengar birokrat menyatakan pemerintah akan menemukan orang yang tidak menggunakan hak pilih.
”Tidak ada dasar hukum yang melarang orang tidak memberikan suara dalam pemilu. Kami tidak tahu mengapa para birokrat bisa berkata seperti ini. Mereka bilang yang tidak memilih akan didenda. Padahal, aturan itu tidak ada di hukum Kamboja,” ujarnya.
Ia merasa pernyataan itu indikasi pemilu akan sulit berjalan dengan prinsip rahasia dan adil.
”Pemilih memberikan suara di bilik tertutup. Bagaimana mereka (birokrat dan aparat) tahu siapa yang tidak mendukung pemerintah? Apakah proses pencoblosan di bilik suara diawasi?” tuturnya.
Sejumlah warga di Phnom Penh menyatakan tidak akan menggunakan hak pilih. Mereka merasa aspirasi mereka tidak bisa diwakili oleh partai-partai peserta pemilu.
”CPP (Partai Rakyat Kamboja yang dipimpin Hun Sen) terlalu kuat. Partai lain tidak punya cukup kekuatan untuk menandingi dominasi CPP. Saya memberikan suara atau tidak, pemenangnya sudah jelas CPP,” kata warga bernama Pheakdei.
Sementara warga lain, Ponlok, mengatakan akan memilih di kampung halaman. Ia tidak bisa memilih di Phnom Penh karena masih terdaftar sebagai warga Provinsi Kandal.
Mereka adalah bagian dari 8,3 juta pemilih yang terdaftar pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kamboja. Suara mereka akan diperebutkan 4.126 calon anggota legislatif dari 20 partai. Dari semua caleg, 4.001 orang dipastikan akan gagal karena pemilu kali ini hanya memperebutkan 125 kursi di parlemen.
Pemerintah dan KPU menyatakan pemilu akan berlangsung adil. Semua partai diberi kesempatan yang sama dan boleh membujuk pemilih.
Kualitas pemilu
Ketua delegasi pemantau asal Indonesia, Agung Laksono, mengatakan, prosedur penyelenggaraan pemilu sudah terpenuhi. Tidak ada tindakan yang dilakukan tanpa ada dasar hukumnya.
”Kami, bersama pemantau dari negara lain, sudah meninjau persiapan. Kami juga sudah menggali keterangan dari KPU dan pemerintah tentang persiapan pemilu,” katanya.
Agung bersama ratusan pemantau internasional, antara lain, menggali keterangan dari Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, sejumlah menteri, dan pengurus partai. Mereka juga meninjau kampanye di sejumlah lokasi.
Ia tidak menampik, sejumlah pihak meragukan kualitas pemilu Kamboja.
”Kita harus menghormati prosedur dan ketentuan hukum di setiap negara. Hal terpenting, tidak ada tindakan yang dilakukan tanpa dasar hukum atau tidak sesuai prosedur sah,” katanya.
Seorang warga, Chanvat, mengatakan, secara prosedural memang pemilu diikuti partai penguasa dan pesaing. Masalahnya, partai lain diragukan akan benar-benar menjadi oposisi.
”Bagaimana kami yakin mereka serius. Kader mereka tidak cukup untuk mengawasi tempat pemungutan suara untuk separuh Phnom Penh. Kalau di
Phnom Penh saja tidak bisa, apalagi untuk mengawasi seluruh Kamboja,” ujarnya.
Kamboja pernah punya oposisi yang memadai. Akan tetapi, serangkaian tindakan pemerintah membuat oposisi tidak berdaya. Oposisi terkuat, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), dibubarkan pada November 2017, pemimpinnya dipenjara, dan pengurusnya dilarang berpolitik selama lima tahun.
Direktur Human Rights Watch (HRW) Asia Brad Adams mengatakan, Pemerintah Kamboja menekan demokrasi. Pembubaran oposisi dan tekanan kepada pemilih membuat pemilu sulit berjalan adil dan jujur.
HRW juga mencatat, pers Kamboja ditekan agar tidak berseberangan dengan pemerintah dan mendukung oposisi. Aparat dan birokrat tidak netral karena berkampanye untuk CPP.
”Selama bertahun-tahun, Pemerintah Kamboja secara sistematis melemahkan oposisi untuk memastikan partai penguasa tidak terhalang untuk mengendalikan politik sepenuhnya. Pembubaran oposisi dan tekanan kepada pers membuat pemilu Kamboja sulit disebut mencerminkan kehendak rakyat Kamboja,” kata Adams dalam rilis yang dikeluarkan HRW.