Tak banyak sekolah yang memiliki ruang kelas yang dilengkapi dengan tank, simulator jet tempur, dan peluncur granat. Namun, Sekolah Revolusi Mangyongdae di Korea Utara yang dikhususkan bagi anak laki-laki bukan sekolah biasa. Koridor sekolah itu dipenuhi poster bergambar aneka senjata. Satu ruangan penuh dengan senjata kecil, ruang yang lain terdapat sebuah tank.
Sekolah tersebut didirikan oleh pendiri Korut, Kim Il Sung, untuk mendidik anak-anak yatim piatu yang orangtuanya tewas dalam perang melawan Jepang. Saat ini sekolah itu berevolusi menjadi sekolah favorit di Korut dan menjadi salah satu institusi yang menghasilkan barisan elite penguasa Korut.
Di sekolah tersebut terdapat patung perunggu Kim Il Sung dan putranya, Kim Jong Il, yang menghadap ke lapangan bermain. Itu lah tempat menggembleng sebanyak 1.000 anak laki-laki berkepala plontos, mengenakan seragam militer rancangan istri Kim, Kang Pan Sok, dengan garis merah di celana mereka, melambangkan pengabdian mereka pada revolusi.
Setelah lulus mereka akan masuk militer, lembaga penting di Korut sebagaimana filosofi Kim Jong Il: ”militer adalah yang utama”. Separuh dari kurikulum sekolah itu dikhususkan untuk politik dan ideologi, serta seperempat dari berbagai mata pelajaran yang diberikan adalah pelajaran militer. Sore hari disediakan waktu untuk aktivitas fisik seperti berlatih taekwondo.
Mereka juga secara teratur membersihkan dan memelihara perkebunan di dekat area Kim Il Sung dilahirkan. Area itu sekarang menjadi situs ziarah yang terkenal.
Selain Sekolah Revolusi Mangyongdae, keluarga Kim juga mendirikan sekolah khusus perempuan dengan nama, Kang Pan Sok. Sekolah itu didirikan di pinggiran Chilgol, Pyongyang, tempat Kang Pak Sok dilahirkan.
Sekolah-sekolah itu adalah proyek keluarga Kim. ”Pemimpin Tertinggi Kim Jong Un adalah orangtua bagi semua murid-murid di sekolah revolusioner kami,” kata Letnan Choe Su Gyong, pemandu museum Sekolah Mangyongdae.
Foto-foto yang dipajang di museum itu antara lain foto diktator Zaire, Mobutu Sese Seko, dan Nicolae Ceausescu dari Romania, dan Presiden Benin Mathieu Kerekou. Barang yang dipamerkan di museum termasuk senapan yang dipegang Kim Il Sung. Choe mengatakan, putra dan putri kaum revolusioner harus tumbuh menjadi bunga revolusi, mengikuti jejak orangtua mereka.
Karena masa kolonial Jepang sudah terjadi puluhan tahun lalu, yang boleh masuk ke sekolah tersebut kini diperluas. Tidak hanya untuk anak-anak yang orangtuanya tewas dalam perang melawan Jepang, kini sekolah itu dibuka untuk mereka yang memiliki setidaknya satu orangtua atau kakek-nenek yang dinilai telah menjadi pelayan negara yang setia.
”Kami memilih putra dan putri patriot yang berjuang untuk partai, pemerintah, negara, tanah air, dan seluruh rakyat Korut,” kata Kolonel Kim Yong Ho, Wakil Direktur Departemen Pendidikan.
Kelas penguasa
Jaringan pertemanan dan pengaruh yang dihasilkan dapat bertahan seumur hidup. Di luar keluarga Kim, eselon teratas masyarakat Korut adalah kelas penguasa.
”Para elite Korut sangat tertutup bagi orang luar. Para elite Korut merupakan keturunan elite-elite sebelumnya. Sistem ini tak ada di negara komunis lainnya,” kata Andrei Lankov dari Korea Risk Group. Mayoritas pejabat tinggi Korut saat ini adalah anak-anak pejabat tinggi sebelumnya.
Pyongyang mengatakan, kedudukan warganya setara, tetapi mengklasifikasikan mereka dengan latar belakang sosial politik berdasarkan sistem yang terperinci dan turun-temurun yang dikenal sebagai songbun. Loyalitas kepada penguasa Korut merupakan faktor penting. Mereka yang leluhurnya adalah kapitalis atau pernah bekerja sama dengan Jepang berada di peringkat rendah. Hanya mereka yang memiliki songbun yang baik akan kuliah di universitas terkemuka atau memperoleh izin untuk tinggal di Pyongyang.
Ketika Sekolah Revolusi Mangyongdae didirikan pada masa awal berdirinya Republik Rakyat Demokratik Korut, pendirian sekolah itu sebenarnya meniru sekolah militer Suvorov milik Uni Soviet yang ditujukan untuk anak-anak yatim piatu. Namun, menurut Lankov, fungsi sekolah itu berubah. Ia mengaitkan keunggulan sekolah tersebut dengan ”militerisasi masyarakat Korut pada tahun 1960-an dan pengultusan Kim Il Sung”.
Meski begitu, Lankov menilai militansi siswa Mangyongdae saat ini berbeda dengan pendahulu mereka. ”Mereka lebih suka belajar bahasa asing dan pemrograman komputer daripada pistol dan cara membunuh manusia dengan pisau pendek,” ujarnya.
Namun, Kolonel Kim Yong Ho tidak memiliki keraguan. ”Kami harus mendidik anak-anak sekolah kami sebagai pasukan inti Tentara Rakyat Korut,” katanya. (AFP)