22 Tahun Tragedi 27 Juli, PDI-P Minta Penyelidikan Dilanjutkan
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melakukan penyelidikan lanjutan dalam penyelesaian peristiwa 27 Juli 1996. Hingga saat ini, belum ada tindakan hukum untuk mengadili pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab.
Sekretaris Jenderal PDIP-P Hasto Kristiyanto mengatakan, berbagai peristiwa yang menyebabkan korban jiwa seharusnya dapat diungkap melalui jalur hukum.
Hasto meyakini adanya keterlibatan pemerintahan Orde Baru dalam peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai Kudatuli. Dengan adanya penyelesaian jalur hukum, dapat tercapai rekonsiliasi antara negara dan para korban.
”Peristiwa Kudatuli adalah tonggak reformasi kita menuju demokrasi. Apa yang terjadi di masa lalu yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan pemerintah otoriter tidak boleh terjadi lagi. Karena itu, kedatangan kami ke Komnas HAM adalah untuk berdialog demi menemukan langkah-langkah politik, hukum, dan penanganan bagi para korban,” kata Hasto, Kamis (26/7/2018), di kantor Komnas HAM.
Peristiwa Kudatuli melibatkan bentrokan dan kekerasan antara kubu Megawati Soekarnoputri yang ditetapkan sebagai Ketua Umum PDI hasil kongres partai di Surabaya dan kubu Soerjadi sebagai ketua umum versi kongres di Medan. Kubu Soerjadi saat itu menyerbu kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Terjadi bentrokan antara kedua kubu.
Hasil penyelidikan Komnas HAM, peristiwa itu menyebabkan lima orang meninggal, sedangkan 149 orang luka-luka. Sebanyak 124 orang ditahan, sedangkan 23 orang lainnya dihilangkan secara paksa. Pada 2015, bukti-bukti yang telah ditemukan Komnas HAM telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung, tetapi belum ada tindak lanjut.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan, kepercayaan PDI-P dalam bentuk kunjungan dan dialog menjelang 22 tahun peristiwa Kudatuli merupakan kebanggaan bagi Komnas HAM. Artinya, Komnas HAM masih dipercaya untuk menegakkan hukum HAM.
Ahmad menambahkan, penyelidikan terhadap kasus ini telah dilaksanakan sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibuat.
”Kalau kasus-kasus ini mau dipelajari lagi, kami harus membuka dokumen-dokumen yang dibuat oleh para komisioner saat itu, seperti Pak Baharuddin Lopa dan Pak Asmara Nababan,” katanya.
Ahmad juga berharap Komnas HAM mendapat dukungan dari masyarakat, partai politik, hingga DPR dalam menyelidiki berbagai kasus pelanggaran HAM. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)