JAMBI, KOMPAS — Para aktivis perempuan di Jambi memprotes masih lemahnya perlindungan hukum bagi anak-anak perempuan. Protes itu menyusul keluarnya vonis penjara 6 bulan bagi WA (15) yang diperkosa hingga delapan kali dan menggugurkan kandungannya.
Direktur Beranda Perempuan Ida Zubaidah menyatakan, tragedi yang dihadapi WA menimbulkan trauma. Yang terjadi WA kini dipenjara. ”Semestinya WA mendapatkan pendampingan dan dukungan atas trauma yang dihadapi. Ia menanggung beban sosial yang berat pada usia yang masih begitu muda,” ujar Ida, Selasa (24/7/2018).
WA divonis 6 bulan penjara dalam sidang putusan Kamis lalu di Pengadilan Negeri Muara Bulian, Kabupaten Batanghari. Vonis dibacakan Ketua Majelis Hakim Rais Toroji. Adapun jaksa menuntut hukuman penjara selama 1 tahun.
Adapun kakak kandung yang memperkosanya hingga delapan kali, AR (18), dihukum 2 tahun penjara. Hukuman itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa selama 7 tahun.
Memidanakan korban sama dengan menempatkan perempuan dalam posisi kesakitan berlapis.
Listyo Arif Budiman dari Humas Pengadilan Negeri Muara Bulian mengatakan, dalam persidangan, WA mengaku berusaha menggugurkan bayinya sejak usia kandungan lima bulan. Itu dengan cara memijat perutnya dengan minyak angin.
Kasus pemerkosaan dan aborsi itu terkuak setelah penemuan mayat bayi di kebun sawit di Desa Pulau, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi, akhir Mei lalu.
WA adalah remaja SMP, sedangkan AR masih SMA. AR memperkosa adik kandungnya setelah menonton adegan-adegan porno di telepon selulernya. Perbuatan itu tidak diketahui ibu mereka.
Listyo menambahkan, vonis hakim lebih untuk membina keduanya. ”Mereka akan ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Muara Bulian. Mereka akan menjalani pelatihan kerja,” katanya.
Atas perbuatannya, WA dinyatakan terbukti melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 77 a Ayat 1 dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun. Adapun AR terbukti bersalah melakukan pemerkosaan.
Jangan dipidana
Dalam rilis 23 Juli 2018 yang diketahui Ketua Pengurus Nasional Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sarsanto Wibisono Sarwono SpOG, PKBI menyatakan, anak yang menjadi korban pemerkosaan seharusnya dilindungi UU Perlindungan Anak, bukan malah dipidana melalui UU itu.
Hakim seharusnya memikirkan proses seorang anak yang mengalami pemerkosaan dalam mengambil keputusan untuk menggugurkan kandungannya. Anak merupakan subyek hukum yang masih dalam perlindungan orangtuanya. Selain itu, faktor psikologis anak tersebut sebagai korban pemerkosaan juga haruslah menjadi pertimbangan pemaafan pidana.
Kedudukan perempuan sebagai korban pemerkosaan seharusnya juga menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak diberlakukan pemidanaan. Belum lagi jika korban pemerkosaan adalah anak, yang sesuai UU Perlindungan anak masih di bawah 18 tahun.
Memidanakan korban sama dengan menempatkan perempuan dalam posisi kesakitan berlapis, yakni korban pemerkosaan sekaligus perempuan dan anak di bawah umur. Untuk itu, PKBI meminta agar PN Muara Bulian membebaskan WA dari segala tuntutan hukum.
Selain itu, para hakim diharapkan memutus perkara dengan perspektif kepada korban, memperkaya literasi, melakukan studi komparasi pengetahuan hukum, dan berpegang pada hak asasi manusia. Lalu, Kepolisian Negara Republik Indonesia menjamin keberlangsungan hukum yang tidak mencederai hak-hak anak ataupun perempuan dengan tidak menolerir segala bentuk kekerasan seksual.
Fenomena perdesaan
Menurut Ida, selain lemahnya keberpihakan pada korban remaja perempuan, pemerkosaan pada remaja di daerah, khususnya di pedalaman, berpotensi lebih mudah terjadi dibandingkan di perkotaan.
Penyebabnya, minimnya pengetahuan menyaring informasi. Orangtua pun tidak mengawasi anak-anaknya dalam kehidupan sosial. Pada kasus WA dan AR, keduanya hampir sepanjang hari ditinggalkan oleh ibunya untuk bekerja semenjak bercerai. (MZW/*)