JAKARTA, KOMPAS - Perilaku koruptif masih menjadi momok menakutkan dalam upaya reformasi kultural Kepolisian Negara RI. Hukuman, yang belum efektif menghasilkan efek jera, dianggap sebagai penyebab tetap terulangnya perilaku korup yang dilakukan oknum kepolisian.
Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Inspektur Jenderal Martuani Sormin menuturkan, pihaknya masih mengumpulkan barang bukti dan keterangan dari para saksi terkait dugaan penyalahgunaan dana pengamanan Pilkada Kalimantan Barat 2018 oleh Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Rachmat Kurniawan. Apabila terbukti, lanjutnya, hukuman tegas baik secara etik maupun pidana akan dijatuhkan kepada Rachmat.
”Kami pasti tangani kasus itu seadil-adilnya,” ujar Martuani, di Jakarta, Selasa (24/7/2018).
Kasus itu terungkap ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya dugaan Rachmat sebagai Kepala Kepolisian Resor Sanggau, Kalimantan Barat, memotong anggaran keamanan yang seharusnya diberikan kepada anggotanya. Kasus itu pun diserahkan sepenuhnya kepada Polri.
Atas dasar itu, Divisi Propam Polri melakukan penyidikan. Untuk mempermudah proses penyidikan, Rachmat dimutasi menjadi perwira menengah di Kepolisian Daerah Kalimantan Barat.
Terus berulang
Dalam kurun waktu setahun terakhir, perilaku koruptif juga dilakukan penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri, AKBP Raden Brotoseno. Akibat kasus itu, ia dipidana lima tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi pada Juni 2017. Selain itu, Brotoseno diberhentikan dengan tidak hormat dari keanggotaan Polri.
Masih pada 2017, Ajun Komisaris Polisi Longser Sihombing juga dijatuhi hukuman penjara satu tahun. Ia terbukti menerima gratifikasi sekitar Rp 200 juta ketika menjabat sebagai kepala Kepolisian Sektor Sukaramai, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mengatakan, meskipun pidana telah diberlakukan kepada sejumlah oknum kepolisian yang korupsi, hukuman itu terbukti belum memberikan efek jera. Peristiwa anggota kepolisian yang berperilaku koruptif masih terulang setiap tahun.
”Polri jangan ragu terhadap oknum yang koruptif. Para oknum itu harus dipecat dan diproses tindak pidana korupsi serta tindak pidana pencucian uang,” kata Poengky.
Untuk memutus mata rantai perilaku koruptif dalam waktu singkat, Poengky menekankan, perlu ada penguatan pengawasan internal dan eksternal. Khusus sistem di internal, lanjutnya, harus meliputi pengawasan dari atasan, bawahan, serta dari jajaran inspektorat dan propam.
”Menghilangkan perilaku koruptif adalah bagian dari reformasi kepolisian. Untuk itu, diperlukan kerja keras dan kemauan semua pihak untuk membenahi dan mengubah budaya itu,” ujarnya.