Dokumen Rahasia AS Ungkap Peristiwa Seputar Kejatuhan Soeharto
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — National Security Archive (The Archive), lembaga non-pemerintah yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat, memublikasikan 34 telegram rahasia di situs berita internalnya terkait interaksi antara Indonesia dan AS menjelang dan selama Reformasi 1998.
Dalam dokumen yang diterbitkan pada Selasa (24/7/2018) waktu Washington DC itu terungkap antara lain sejumlah catatan komunikasi antara Pemerintah AS dan Kedutaan Besar AS di Jakarta, serta laporan oleh Badan Pertahanan Intelijen (Defense Intelligence Agency/DIA).
Evan A Laksamana, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (25/7/2018), mengatakan, tidak ada informasi yang luar biasa dari dokumen-dokumen yang dirilis The Archive itu.
Catatan komunikasi Washington dengan Kedubes AS di Jakarta itu terkait peristiwa seputar kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998.
Dalam kata pengantar publikasi itu tertulis, Pemerintah AS mencoba menjaga hubungan dekat dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ketika masa kekuasaan Presiden Soeharto mulai runtuh pada 1998.
Kebijakan itu dilakukan meskipun pejabat AS mengetahui bahwa TNI terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Washington menilai TNI penting dalam menjaga stabilitas politik di Indonesia.
Sejumlah informasi yang digarisbawahi dalam publikasi itu adalah adanya pernyataan Mayor Jenderal Prabowo Subianto (ketika menjabat Komandan Kopassus), yang tidak lain adalah menantu Soeharto saat itu, bahwa Presiden Soeharto sebaiknya mengundurkan diri.
Ada pula dorongan dari Presiden AS ketika itu, Bill Clinton, bahwa Indonesia perlu menerima kebijakan yang diusulkan Dana Moneter Internasional (IMF).
Publikasi oleh organisasi nonpemerintah yang berbasis di Washington DC, AS, itu dimulai dengan telegram per 26 Agustus 1997 hingga 4 Mei 1999.
Publikasi diawali sejumlah dokumen yang mencatat hasil komunikasi di antara kedua negara melalui telegram mengenai kebijakan IMF. Laporan itu melibatkan sejumlah catatan percakapan antara Soeharto dan Clinton.
Dokumen atau telegram itu selanjutnya menyangkut siapa tokoh di balik kasus penculikan para aktivis di Jakarta saat itu.
Di dalam dokumen itu disinggung dugaan keterlibatan Prabowo Subianto, yang saat itu memimpin Group 4 Kopassus dengan pangkat mayor jenderal, dalam kasus hilangnya sejumlah aktivis.
Telegram lain mengungkapkan adanya laporan dari Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, sejumlah kerusuhan lain yang terjadi setelahnya, dan meningkatnya tuntutan masyarakat untuk reformasi politik dan pengunduran Soeharto sebagai presiden.
Kedutaan Besar AS di Jakarta juga melaporkan bagaimana proses reformasi berlangsung. Ada pula laporan mengenai tindak lanjut sejumlah kasus pelanggaran HAM, seperti Tragedi Trisakti, dan tuntutan oleh Komisi Nasional HAM mengenai kasus kekerasan di sejumlah daerah yang melibatkan TNI.
Selain itu, dalam arsip pada 8 Mei 1998 menyebutkan tentang perpecahan di tubuh militer Indonesia terkait cara menghadapi para pengunjuk rasa.
Laporan ini menyebutkan, Jenderal Wiranto yang kala itu sebagai Panglima TNI diperintahkan Soeharto agar bersikap tegas terhadap para demonstran.
Wiranto kemudian memperingatkan para mahasiswa agar tidak menggelar demonstrasi di jalan-jalan. Akan tetapi, ia juga mengatakan kepada mereka bahwa militer tidak sedang berkonflik.
”Saya lihat, tidak ada yang ground breaking dari informasi yang dirilis itu. Informasi versi AS itu mengonfirmasi apa yang kita sudah tahu. Dokumen itu juga belum memberi gambaran besar mengenai apa yang terjadi pada masa reformasi itu. Namun, dokumen itu tetap menarik untuk menambah pengetahuan kita soal kejadian pada 1998,” kata Evan, ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (25/7/2018).
Baginya, semua informasi itu tetap harus diperiksa ulang dengan informasi dari sumber lain. ”Selain dari Kedutaan Besar AS di Jakarta, ada sejumlah informasi lain yang dikutip dari media lokal. Arsip itu tetap harus di-crosscheck dengan sumber lain dan tidak bisa dianggap dengan solid,” ucap Evan.
The Archive adalah lembaga nonpemerintah yang didirikan pada 1985 oleh jurnalis dan akademisi untuk menjauhi Pemerintah AS dari tindakan tidak transparan. Sejumlah fungsi yang mereka jalani dalam lembaga itu adalah jurnalisme investigatif, penelitian, dan sebagai ”penyimpan” dokumen rahasia.