Kualitas Pertumbuhan
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang tergolong moderat, jumlah penduduk miskin dan ketimpangan berkurang. Tak heran banyak keraguan, bahkan gugatan sebagai permainan angka belaka menjelang pemilu 2019. Kita memang selalu bisa berbohong dengan statistik, dan itu terjadi di mana pun dan kapan pun. Namun, apa sebenarnya esensi yang ingin dituju?
Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan, pada Maret 2018, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi sekitar 25 juta orang atau 9,82 persen dari total penduduk Indonesia. Pada periode yang sama, ketimpangan berkurang, yang ditunjukkan dengan rasio gini 0,389.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pencapaian ini yang terbaik sepanjang sejarah. Pada era Presiden Soeharto, tingkat kemiskinan terendah 11 persen, sementara pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tingkat kemiskinan berkisar 14 persen. Bahkan, pada 1999, tingkat kemiskinan melonjak menjadi 24 persen akibat krisis. Sekarang, di era Presiden Joko Widodo, kemiskinan berhasil diturunkan menjadi satu angka atau di bawah 10 persen.
Terlepas dari perdebatan yang muncul kemudian, sebenarnya ada satu pesan pokok yang menonjol, yaitu kualitas pertumbuhan tak serta merta terkait dengan besaran pertumbuhan. Pertumbuhan tinggi tak selalu diiringi perbaikan kualitas, sementara pertumbuhan moderat bisa dimaksimalkan potensinya dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Jika orientasi kebijakan itu yang ditempuh pemerintah sekarang, arahnya sudah benar.
Salah satu faktor penurunan jumlah penduduk miskin adalah kebijakan fiskal melalui alokasi dana yang bersifat transfer langsung dalam berbagai bentuk. Kebijakan ini selalu dicurigai sebagai kebijakan populis untuk meraup suara dalam pemilu 2019. Tak perlu naif, di mana pun, kebijakan fiskal mengandung unsur politis. Menjadi persoalan ketika dosisnya berlebihan, apalagi jika dimanipulasi untuk kepentingan politis belaka.
Prinsipnya harus dipegang, kebijakan fiskal adalah instrumen untuk mencapai kualitas pertumbuhan. Oleh karena itu, harus ada navigasi agar kondisi fiskal kita memadai untuk menopang pertumbuhan, mendistribusi sumber daya ekonomi, sekaligus menjadi penyangga goncangan eksternal.
Tantangan
Selain tingkat pertumbuhan moderat, perekonomian kita juga dibayangi stabilitas global yang makin sulit diprediksi. Akhir minggu lalu, nilai tukar bertengger pada level terendah tahun ini, yaitu Rp 14.520 per dollar AS. Potensi gejolak makin besar dengan peningkatan tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Perang dagang juga menyebar ke Kawasan Eropa dan dampaknya tentu bersifat global. Perang nilai tukar juga tak bisa dihindari, mengingat tiap negara ingin mengamankan kepentingan domestik masing-masing.
Dalam suasana global yang penuh tantangan dan prospek pertumbuhan yang moderat ini, fokus pada perbaikan kualitas pertumbuhan harus terus diupayakan. Pertama, harga pangan yang tinggi akan menghambat percepatan pengurangan angka kemiskinan. Seperti ditunjukkan dalam rilis BPS, peranan komoditas pangan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dari faktor bukan makanan, seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Pada Maret 2018, sumbangan komoditas pangan terhadap garis kemiskinan 73,48 persen atau naik dari perhitungan September 2017. Mengatasi ketersediaan makanan serta menjaga stabilitas harga adalah kunci mengatasi kemiskinan.
Kedua, transmisi alokasi dana langsung dalam mengatasi kemiskinan, khsususnya di daerah perdesaan harus ditingkatkan. Pada 2018, alokasi dana desa pada APBN mencapai Rp 60 triliun dan pada 2019 akan menjadi Rp 85 triliun. Keberhasilan dana desa akan diukur sejauh mana alokasinya mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan. Berdasarkan data BPS, selama 6 bulan terakhir, jumlah peduduk miskin di perdesaan turun dari 16,31 juta orang menjadi 15,81 juta orang. Sementara, di perkotaan turun dari 10,27 juta orang menjadi 10,14 juta orang. Penggelontoran dana desa diharapkan mampu mempercepat pengentasan kemiskinan di perdesaan.
Arah pembangunan melalui kebijakan fiskal guna mendorong perbaikan kualitas pertumbuhan harus dijalankan, bukan sekadar menghadapi momentum politik. Namun, harus menjadi “paradigma pembangunan” yang konsisten dijalankan. Jika arah ini dikawal implementasinya hingga 5 tahun ke depan, harapannya akan tercipta lingkungan ekonomi baru yang menjanjikan.
Jika secara global likuiditas akan semakin menjadi tantangan, sebaliknya dengan pasokan teknologi. Berbagai inovasi di bidang teknologi akan semakin melimpah sehingga pasokan teknologi di negara berkembang akan meningkat. Pertanyaannya, bagaimana kita memanfaatkan kelimpahan teknologi ini sebagai pendorong produktivitas perekonomian domestik di tengah ketatnya likuiditas global dan ketidakpastian masa depan.
Dengan faktor teknologi yang melimpah, maka adaptasi dan absorbsi perlu dipercepat pada aktivitas perekonomian hingga ke daerah. Salah satu kuncinya, peningkatan kapasitas secara masif, agar absorbsi bisa terjadi secara maksimal. Inklusi keuangan, pengembangan industri mikro, kecil, dan menengah, serta peningkatan produktivitas perekonomian domestik merupakan ekosistem yang perlu diperkuat dengan introduksi faktor teknologi dalam ekonomi.
Sebagaimana sudah ditegaskan, arah pengalokasikan fiskal tahun depan masih bertumpu pada pembangunan infrastruktur fisik, pendidikan, dan kesehatan. Pendidikan akan memainkan peran kunci karena berorientasi pada peningkatan kapasitas penduduk. Masalahnya, proses panjang pendidikan terkadang tak mampu memberikan hasil yang konkret dan berorientasi jangka pendek. Untuk itu, perlu dorongan lebih kuat agar inovasi di bidang pendidikan, khususnya yang bersifat vokasional, bisa terus dilakukan.