”Quo Vadis” Status Cagar Budaya Condet?
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat mempertanyakan arah pengembangan kawasan Condet, Jakarta Timur, wilayah yang ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1975.
Koordinator Komunitas Ciliwung Condet Abdul Kodir mengatakan, sejak ditetapkan sebagai cagar budaya, kawasan Condet sudah jauh berubah. Ia ingat betul, saat itu, sisi kanan dan kiri Jalan Raya Condet dipenuhi pepohonan yang rindang, seperti pohon bambu, pohon nangka, dan pohon salak.
Saat ini, di sepanjang Jalan Raya Condet berjajar hunian masyarakat dan berbagai macam toko. Suasana Jalan Raya Condet itu tidak menunjukkan kawasan itu adalah cagar budaya yang terkenal dengan buah salaknya.
Cagar budaya di Condet bukan soal seni dan rumah adat Betawi saja. Condet itu sesungguhnya cagar budaya konservasi buah, terutama salak.
”Maksud Condet sebagai cagar budaya perlu diperjelas lagi. Cagar budaya di Condet bukan soal seni dan rumah adat Betawi saja. Condet itu sesungguhnya cagar budaya konservasi buah, terutama salak. Ini perlu dikaji lagi. Pemerintah perlu melihat substansinya. Sekarang hunian sudah banyak, lalu bagaimana?” kata Abdul, Minggu (22/7/2018).
Abdul menyayangkan Condet yang sudah jauh berubah dan tidak dikelola sebagaimana cagar budaya. Sekitar 100 meter dari bibir Kali Ciliwung di kawasan Condet masih dijumpai rumah penduduk. Padahal, air kali naik hingga ketinggian itu saat terjadi banjir pada Februari dan Maret setiap tahun.
Saat ini, kawasan Condet yang masih ditumbuhi pepohonan hanya sekitar 300 meter dari tepi Kali Ciliwung. Di Gang Goa Monyet, yang juga masuk kawasan cagar budaya, masih ada hunian penduduk.
Setidaknya ada delapan rumah penduduk yang dibangun di lahan sekitar 200 meter dari bibir Kali Ciliwung di Gang Goa Monyet. Beberapa di antara mereka merupakan pendatang dan membeli dengan harga murah pada tahun 1990-an.
Seorang penduduk di Gang Goa Monyet, Marlilin Handayani (56), mengatakan, dirinya membeli tanah di sana pada tahun 1998 dengan harga Rp 100.000 per meter persegi.
Pihak kelurahan pernah mendatanginya untuk memberi tahu bahwa ia disarankan untuk pindah rumah karena kawasan itu akan dioptimalkan sebagai cagar budaya. Sampai saat ini, ia belum memutuskan kapan pindah rumah karena harga tanah yang ditawarkan pemerintah belum sesuai dengan harapannya.
”Saya membeli tanah legal kepada pemiliknya. Suratnya ada. Kalau pindah, belum dapat tempat yang cocok juga. Kalau di sini, sejuk dan tidak bising,” ujarnya.
Di sekitar tempat tinggal Lilin masih ditumbuhi banyak pohon dan tanaman, antara lain bambu, salak, nangka, dan rambutan.
Landasan hukum
Candrian Attahiyyat dari Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatakan, pelestarian Condet terhambat karena belum adanya landasan hukum kuat yang mengatur Condet sebagai kawasan cagar budaya.
Pelestarian Condet terhambat karena belum adanya landasan hukum kuat yang mengatur Condet sebagai kawasan cagar budaya.
Dalam diskusi ”Cerita Soal Condet dan Situs Prasejarah Jakarta” di Pasar Seni Ancol, Minggu, Candrian mengatakan, ketika Condet dijadikan cagar budaya pada 1975, terjadi perdebatan terkait peraturan yang menaunginya.
Saat pertama kali ditetapkan sebagai cagar budaya, setiap rumah di kawasan Condet tidak boleh diubah bentuknya. Tanaman yang tumbuh di sana juga tidak boleh ditebang.
”Pakar tidak setuju dengan hal itu karena masyarakat Condet seperti dikebiri. Jika begitu, perkembangan teknologi akan terhambat di Condet,” kata Candrian.
Berdasarkan data yang dihimpun Litbang Kompas, kebijakan pembangunan di Condet berubah beberapa kali. Pada 1 Januari 1986, Gubernur DKI mengeluarkan instruksi nomor 19 tahun 1986 tentang perizinan kepemilikan tanah di kawasan Condet. Hal ini membuat warga leluasa menjual dan memanfaatkan tanah di Condet untuk dijadikan hunian.
Candrian mengatakan, Condet memiliki nilai penting, baik dari aspek sejarah maupun alamnya. Dari aspek sejarah, di kawasan Condet ditemukan banyak benda prasejarah.
Condet memiliki nilai penting, baik dari aspek sejarah maupun alamnya. Dari aspek sejarah, di kawasan Condet ditemukan banyak benda prasejarah.
”Salah satunya, batu-batuan prasejarah yang berusia 5.000 tahun sebelum Masehi,” katanya.
Alam yang tersisa di Condet juga dianggap penting. Tebing di tepi Kali Ciliwung yang miring, pepohonan, dan tanaman salak menjadi daerah resapan air di sekitar Condet.
Candrian mengatakan, meskipun bentang alam yang tersisa hanya sedikit, hal itu tetap perlu dijaga agar tidak hilang. Terkait kejelasan hukum Condet, lanjutnya, saat ini pemerintah sedang melakukan program percepatan pembenahan Condet.
Namun, ia menilai, tidak sesuai dengan namanya, program itu masih jalan di tempat setahun terakhir karena masih dalam tahap pembahasan.
Hilangnya Condet
Kawasan Condet terdiri dari kelurahan Balekambang, Batu Ampar, dan Kampung Tengah. Nama Condet kini hanya tersisa untuk nama jalan, yakni Jalan Raya Condet.
Padahal, tahun 1990-an, nama Condet di kartu tanda penduduk (KTP) masih tertera pada nama Kelurahan Balekambang sehingga tertulis Condet Balekambang.
”Sekarang sudah tidak ada kata ’Condet’ lagi di KTP, hanya Balekambang,” ucap Asep Setiawan, warga Kampung Tengah.
Sekarang sudah tidak ada kata ’Condet’ lagi di KTP, hanya Balekambang.
Sisa bantaran sungai alami Condet sempat terancam. Tahun 2016, Pemprov DKI Jakarta melakukan program normalisasi Kali Ciliwung dengan membeton tepi kali dan ditargetkan dibuatkan jalan aspal di tepi sungai.
Asep mengatakan, betonisasi tepi sungai itu akhirnya berhenti sebelum semua bagian Ciliwung yang melintasi Condet dibeton. Ia mengatakan, hal itu terjadi karena masyarakat tidak sepakat dengan kebijakan tersebut.
Dalam diskusi ”Cerita Soal Condet dan Situs Prasejarah Jakarta” di Pasar Seni Ancol, Minggu, para pemuda yang peduli nasib sisa lahan hijau Condet dan Kali Ciliwung sepakat tidak mau menunggu pemerintah untuk membuat gerakan merawat Condet.
Gerakan inisiatif warga untuk merawat Condet dan Kali Ciliwung semakin bertumbuh.
Ketua Condet Foundation Lantur Maulana menyebutkan, gerakan inisiatif warga untuk merawat Condet dan Kali Ciliwung semakin bertumbuh. Setiap hari, ada saja kegiatan yang dilakukan warga untuk merawat Condet. Ada yang mengajak anak sekolah wisata Kali Ciliwung sekaligus memunguti sampahnya. Ada yang mengajari anak-anak tentang pengetahuan bercocok tanam. (SUCIPTO)