Penghayat Kepercayaan Butuh Kepastian Status di KTP-el
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Para penghayat kepercayaan membutuhkan kepastian status dalam kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Hal tersebut bertujuan untuk menguatkan posisi penghayat kepercayaan demi mendapatkan hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat serta mencegah konflik sosial.
Pada akhir tahun 2017, penghayat kepercayaan seolah mendapat angin segar dengan dikeluarkannya putusan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Dalam putusan itu, MK menyatakan, mereka dapat mencantumkan status sebagai penghayat kepercayaan tanpa harus merinci nama alirannya pada kartu keluarga (KK) dan KTP-el.
Samsul Maarif, Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin (23/7/2018), mengatakan, masih ada hambatan dalam pencantuman status mereka sebagai penghayat kepercayaan tersebut. Mereka terkendala oleh belum adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) pencantuman status di KTP-el.
“Saat hendak mengubah KTP-el, kendalanya justru ada pada juklak dan juknis yang belum dibuat. Ada keterlambatan untuk aturan tindak lanjutnya,” kata Samsul, dalam jumpa pers tentang Pemenuhan Hak Pelayanan Publik bagi Penghayat Kepercayaan di Indonesia, di Yayasan Satunama, Yogyakarta, Senin.
Pihak Kementerian Dalam Negeri memang merespons putusan MK itu dengan menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register, dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil. Namun, Samsul beranggapan, mereka masih terlambat dalam mengeluarkan aturan tindak lanjut.
Perintah untuk memulai pelayanan terhadap penghayat kepercayaan yang ingin mengubah kolom agama pada kartu keluarganya baru diterbitkan pada 25 Juni 2018 melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 471.14/10666/Dukcapil tentang Penerbitan KK bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam surat itu, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil diperintahkan pula untuk segera menerbitkan KK bagi penghayat kepercayaan, menyosialisasikan putusan MK tentang pengakuan terhadap penghayat kepercayaan, serta mendata jumlah para penghayat kepercayaan itu.
Menurut Samsul, hal yang dikhawatirkan dengan tidak adanya pengakuan secara adminsitratif itu adalah munculnya kembali pertanyaan-pertanyaan tentang status penghayat kepercayaan. Hal itu dinilainya mampu memicu terjadinya konflik sosial.
“Hal ini bisa dipertanyakan lagi bagi mereka yang menolak pencantuman status penghayat kepercayaan itu,” ujar Samsul. Namun, ia bersyukur, putusan itu telah dikeluarkan. Hal tersebut merupakan penegasan bagi diakuinya penghayat kepercayaan untuk dilayani oleh negara.
Dalam riset aksi yang dilakukan bersama Yayasan Satunama, Samsul menemukan, setelah diterbitkannya putusan itu, ada peningkatan kesadaran dari aparatur sipil negara untuk melayani penghayat kepercayaan. Begitu pula sebaliknya, para penghayat kepercayaan juga memiliki kesadaran serta kepercayaan diri yang lebih dalam menuntut pelayanan.
Riset itu dilakukan di empat kabupaten atau kota, yaitu Kulon Progo, Brebes, Medan dan Sumba. Jumlah respondennya adalah 331 orang. Adapun metode yang digunakan adalah diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam kepada aparatur sipil negara, tokoh masyarakat, dan penghayat kepercayaan.
Temuan lainnya adalah pemberian stigma terhadap penghayat kepercayaan sudah mulai berkurang. Di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, salah satu tetua penghayat kepercayaan Marapu, sudah dilibatkan dalam Forum Kerukunan Umat Beragama.
Namun, masih ada kekhawatiran dari penghayat kepercayaan untuk menyatakan diri sebagai kepercayaan dengan pencantuman status di KTP-el itu. Ketua Persatuan Warga Sapta Darma DIY Bambang Purnama mengatakan, mereka khawatir akan dikucilkan dari lingkungan sosialnya apabila menunjukkan diri sebagai penghayat kepercayaan.
“Nanti yang ditakutkan itu mereka tidak dilibatkan lagi dalam kegiatan-kegiatan sosial. Tetapi, selama kita berlaku baik dan aktif secara sosial, sebetulnya itu tidak apa-apa dan masyarakat mau menerima. Hanya saja pikiran-pikiran seperti itu masih muncul di kalangan kami,” kata Bambang.