JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menambah anggaran subsidi energi tahun ini tanpa melalui mekanisme APBN Perubahan dikhawatirkan menimbulkan masalah dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Subsidi energi diusulkan ditambah dari semula Rp 94,5 triliun menjadi Rp 163,5 triliun. Berubahnya sejumlah asumsi makro menjadi alasan perlunya penambahan tersebut.
Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, tanpa mekanisme APBN Perubahan, itu sama saja pemerintah menempuh cara yang tak transparan dan akuntabel. Ia memaklumi apabila cara tersebut (tidak melalui mekanisme APBN Perubahan) sebagai upaya menghindari defisit anggaran yang dapat memberi ekspektasi negatif bagi pasar.
"Namun, cepat atau lambat, pasar akan tahu bahwa cara-cara itu tidak transparan dan tidak akuntabel. Kekhawatiran yang lebih jauh adalah hal itu dapat menurunkan kepercayaan pasar kepada pemerintah," kata Pri Agung saat dihubungi, Minggu (22/7/2018), di Jakarta.
Pri Agung menambahkan, tanpa mekanisme APBN Perubahan pula, pemerintah dinilai mengabaikan persoalan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. BBM jenis ini, kendati menurut pemerintah sudah tak lagi disubsidi, tetapi selisih harga jualnya ditanggung Pertamina selaku badan usaha. Harga jual premium saat ini sebesar Rp 6.450 per liter masih jauh di bawah harga keekonomian sehingga menimbulkan bebas fiskal bagi Pertamina.
"Di samping itu, dengan rencana penambahan subsidi harga solar menjadi Rp 2.000 per liter, berarti akan ada sekitar Rp 23 triliun yang disuntikkan ke Pertamina. Kalau tak melalui mekanisme APBN Perubahan, itu sangat tak transparan. Penambahan subsidi itu juga belum mampu menutup beban keuangan Pertamina yang menjual rugi premium," ucap Pri Agung.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Demokrat Herman Khaeron mengatakan, rencana penambahan subsidi tersebut tetap memerlukan payung hukum karena berdampak pada berubahnya postur APBN 2018. Apalagi, seluruh perubahan anggaran harus mendapat persetujuan DPR. Ia sulit memahami seandainya pemerintah tidak menempuh mekanisme APBN Perubahan.
"Kalau mengubah semaunya, sama saja melanggar undang-undang, dong. Apalagi asumsi makro APBN 2018 sudah berubah jauh," kata Herman.
Sebelumnya, dalam rapat bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Badan Anggaran DPR, pekan lalu di Jakarta, pemerintah menyampaikan usulan penambahan subsidi energi tahun ini sebanyak Rp 69 triliun menjadi Rp 163,5 triliun. Tambahan subsidi energi itu akan dialokasikan dari belanja non-kementerian dan lembaga. Menurut Sri Mulyani, subsidi mendesak ditambah karena harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam asumsi dasar makro APBN 2018 jauh dari kondisi riil saat ini.
”Keputusan menambah subsidi energi ini untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional,” kata Sri Mulyani.
Dalam asumsi makro APBN 2018, nilai tukar rupiah Rp 13.400 per dollar AS. Sementara harga minyak diasumsikan 48 dollar AS per barrel. Berdasar kurs referensi Bank Indonesia pada Jumat (20/7/2018), posisi rupiah sudah menyentuh Rp 14.520 per dollar AS. Adapun harga minyak mentah, menurut laman Bloomberg, pada Minggu siang adalah 68 dollar AS per barrel untuk jenis WTI dan 73 dollar AS per barrel untuk jenis Brent.