JAKARTA, KOMPAS —Petani kopi merasakan keuntungan setelah berkelompok untuk membangun ekosistem ekonomi. Peran pemerintah dan masyarakat banyak membantu terwujudnya petani kopi yang berdaya.
Petani kopi dari Wamena, Jayawijaya, Papua, Orgena Kalolik (38), sudah mulai menuai manfaatnya. Ia dan kelompok taninya di Wamena saat ini acap kali tidak bisa memenuhi banyaknya permintaan kopi dari luar Papua.
”Tanah milik saya 2,5 hektar menghasilkan sekitar 1,5 ton kopi beras (green bean). Setelah digabungkan dengan hasil dari anggota kelompok lain, permintaan sering tidak terpenuhi,” kata Orgena, Kamis (19/7/2018), ketika ditemui di acara Festival Kopi Nusantara di Bentara Budaya Jakarta.
Setelah 2011, permintaan kopi Wamena kian meningkat dan harganya semakin tinggi. Hal itu disebabkan kopi Wamena yang semakin dikenal setelah ikut festival kopi di Jepang.
Semula, kopi beras wamena dijual Rp 40.000 per kilogram. Saat ini, harganya sudah mencapai Rp 80.000 per kilogram kopi beras.
Orgena mengatakan, selama tiga tahun terakhir, pemesan kopi Wamena mulai bermunculan dari Jakarta, Bali, bahkan ke Amerika.
Ia mengatakan, hal itu terjadi berkat petani kopi berjejaring dan membuat kelompok tani. Setelah membuat kelompok tani, anggota yang mengalami kendala dalam bertani kopi dibantu oleh anggota lainnya.
Kopi arabika khas Wamena akhirnya memiliki cita rasa yang khas dan bisa dipasarkan dengan baik.
Staf Ahli Bupati Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia Kabupaten Jayawijaya, Paulus Sarira, mengatakan, saat ini pemerintah daerah Wamena sedang membuat program terpadu untuk memenuhi permintaan biji kopi Wamena. Agar pasokan kopi Wamena bisa memenuhi permintaan pasar, pemda akan bekerja sama dengan BUMN untuk membuka kebun baru bagi petani-petani kopi di Jayawijaya.
Hutan kemasyarakatan
Petani kopi di Kabupaten Tanggamus, Lampung, tidak memiliki lahan tetapi tetap bisa bertani kopi. Mereka memanfaatkan hutan kemasyarakatan untuk bertani kopi robusta.
Mereka dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Kota Agung Utara (Korut) untuk mengurus izin penggunaan hutan kemasyarakatan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Mereka yang semula bertani secara ilegal di lahan hutan, saat ini mereka bisa bertani secara legal. Petani juga didampingi untuk membuat gabungan kelompok tani (gapoktan).
Koordinator Program Korut, Fajar Sumantri, mengatakan, saat ini ada 30 gapoktan yang didampingi yang tersebar di 43.900 hektar hutan kemasyarakatan Kabupaten Tanggamus.
”Dari gapoktan itu, dibuat 11 koperasi untuk mengelola skema bisnis yang menguntungkan bagi petani,” kata Fajar.
Pada mulanya, petani kopi di Tanggamus masih ada yang menjemur kopi di tanah. Hal tersebut menyebabkan cita rasa kopi berubah karena sifat kopi mudah menyerap aroma di sekitarnya.
Setelah mendapat dukungan dari pemerintah daerah, Korut melakukan pendidikan untuk mengolah kopi pascapanen. Akhirnya, saat ini petani kopi di Tanggamus bisa mengembangkan produk biji kopinya. Biji kopi hasil gapoktan di Tanggamus kini sudah dikemas dan dipasarkan ke kafe-kafe di Lampung dan Jakarta. (SUCIPTO)