Sejumlah calon kepala daerah diduga membiayai kegiatan politiknya dari uang hasil suap yang diterima kerabatnya.
JAKARTA, KOMPAS- Tertangkapnya kepala daerah karena menerima suap untuk membiayai kegiatan politik anggota keluarganya menjadi fenomena tersendiri. Saat ini perlu dipikirkan cara untuk meminimalkan korupsi dinasti politik ini.
Sebelumnya, Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota telah melarang adanya konflik kepentingan calon kepala daerah dengan petahana. Namun, ketentuan itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Perbaikan mekanisme pencalonan di internal partai dapat menjadi salah satu alternatif solusinya.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (18/7/2018), Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun (Wali Kota Kendari periode 2012-2017) duduk berdampingan menghadap majelis hakim, mendengarkan dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum. Ruang sidang pun dipenuhi kerabat dan pendukung keduanya.
Adriatma didakwa menerima suap sebesar Rp 2,8 miliar bersama Asrun dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah. Uang itu diduga digunakan untuk membantu biaya kampanye ayahnya yang maju dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara 2018. Sementara itu, Asrun didakwa tidak hanya menerima Rp 2,8 miliar bersama anaknya, tetapi juga Rp 4 miliar melalui staf pribadinya, Fatmawati Faqih, yang berasal dari Hasmun.
Sebagai imbalannya, sejumlah proyek diberikan kepada Hasmun. Proyek itu, antara lain, pembangunan Jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020 yang melibatkan juga anak Fatmawati, yaitu Syamsul Bahri Arifin sebagai Ketua Pokja I Konstruksi. Selain itu, ada pula proyek pembangunan gedung kantor DPRD Kota Kendari 2014-2017 dan pembangunan tambat labuh Zona III Taman Wisata Teluk-Ujung Kendari Beach 2014-2017. Kedua proyek itu diberikan saat Asrun masih menjabat sebagai Wali Kota Kendari.
Adriatma pun didakwa dengan Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Asrun didakwa dengan dua pasal, yaitu Pasal 12 Huruf b dan Pasal 11 UU yang sama.
Saat ini, KPK juga masih menangani perkara suap yang membelit Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat. Agus diduga menerima uang yang kemudian dimanfaatkan untuk membantu ayahnya, Sjafei Kahar, yang hendak maju dalam Pilgub Sulawesi Tenggara 2018. Sebelumnya, ada Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang menggantikan posisi ayahnya Syaukani Hasan Rais. Rita dijatuhi hukuman 10 tahun karena mengumpulkan upeti dari suap perizinan. Syaukani pernah divonis bersalah karena kasus korupsi.
Mekanisme pencalonan
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyampaikan hubungan kekerabatan terus dipelihara dalam konstelasi politik dengan maksud menguasai sumber daya dan melemahkan check and balances dalam pemerintahan.
Ia pun menyoroti peran partai politik untuk mencegah dinasti politik dan hubungan kekerabatan ini terus berlanjut. ”Pencalonan (kepala daerah) seharusnya tidak berada di tangan ketua umum, tetapi diputuskan melalui rapat pengurus lewat mekanisme yang demokratis serta mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon,” kata Ade.