JAKARTA, KOMPAS - Indonesia berada pada posisi dilematis dalam menangani pengungsi dan pencari suaka yang datang ke negara ini. Indonesia sebenarnya hanya sebagai negara transit dan bukan negara tujuan, sementara hak-hak para pengungsi dan pencari suaka dalam penghidupan juga perlu untuk dipenuhi.
Berdasarkan data Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Indonesia menampung sekitar 13.840 pengungsi dari 49 negara. Lebih dari 50 persen berasal dari Afghanistan, lainnya dari Somalia, Myanmar, Iran, Irak, dan berbagai negara lainnya. Mereka lari dari negara asal karena berbagai faktor, seperti keamanan, politik, dan bencana alam.
“Pada prinsipnya, Indonesia menerima berdasarkan alasan kemanusiaan,” ujar Kepala Seksi Deportasi Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Perdemuan Sebayang, di sela diskusi terkait pengungsi perkotaan, di Jakarta, Selasa (10/7/2018).
Adapun diskusi itu diselenggarakan oleh Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) dan Kantor Bantuan Kemanusiaan Komisi Eropa (European Commission Humanitarian Aid Office/ECHO), sebuah divisi Komisi Eropa untuk bantuan kemanusiaan dan perlindungan sipil luar negeri.
Indonesia adalah negara transit bagi pengungsi dan pencari suaka yang akan menuju ke Australia karena belum meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. Dalam konvensi tersebut, terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi negara untuk melindungi mereka.
Oleh karena itu, para pengungsi yang berada Indonesia selama ini hidup dari bantuan dunia internasional. Namun, tidak menutup kemungkinan ada pengungsi yang dapat mengklaim diri mampu hidup mandiri sehingga tidak bergantung dari bantuan. Selama pengungsi berada di sini, mereka tidak diperbolehkan bekerja, mengenyam pendidikan formal, dan memeroleh asuransi kesehatan.
Perdemuan melanjutkan, dari 13.840 pengungsi yang ada, kehidupan dari sekitar 9.000 orang difasilitasi oleh Organisasi Internasional bagi Migrasi (IOM). Sementara 5.000 lainnya mengklaim dapat hidup sendiri, dengan dana yang diperkirakan berasal dari tabungan dan uang kiriman keluarga dari negara asal.
Namun, per 15 Maret 2018, negara pendonor melalui IOM mulai mengurangi bantuan kepada pengungsi, khususnya Australia. Selama ini, Australia adalah salah satu pendonor terbesar pengungsi dan pencari suaka yang berada di Indonesia.
Jumlah dana bantuan kini menjadi momok, sedangkan hukum Indonesia tidak memperbolehkan mereka bekerja dan bersekolah. “Ada Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur anggaran. Tetapi, mengenai empat hal, yaitu penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan,” kata Perdemuan.
Ia melanjutkan, kebutuhan pengungsi masih sulit untuk dipenuhi karena anggaran yang terbatas, sedangkan jumlah pengungsi cukup banyak. Selain itu, Indonesia sendiri masih bergelut untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya akan pekerjaan dan pendidikan yang layak.
Sejumlah pengungsi menyuarakan keinginan mereka untuk bekerja dan bersekolah.
Sejumlah pengungsi menyuarakan keinginan mereka untuk bekerja dan bersekolah. Liaqat, seorang pengungsi asal Pakistan, misalnya. Ia datang bersama keluarganya di Indonesia pada 2009.
Liaqat menyatakan kerinduannya untuk berkuliah walaupun tidak tahu akan tinggal berapa lama di Indonesia. Namun, ia tidak memiliki kesempatan tersebut sebab statusnya adalah pengungsi. Pemerintah Indonesia menjamin hak seluruh anak untuk memeroleh pendidikan, Tetapi, hanya sebatas tingkat sekolah dasar.
Representatif UNHCR untuk Indonesia Thomas Vargas mengakui, masih belum menemukan solusi terkait pemenuhan hak penghidupan para pengungsi di Indonesia. UNHCR akan terus berdiskusi dengan pemerintah dan pihak terkait demi membantu mereka.
“Kami mengapresiasi Indonesia yang ikut berbagi tanggung jawab moral dalam menangani pengungsi,” ujarnya.
Jika dibandingkan, jumlah pengungsi yang ditangani Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan Malaysia (241.438 orang) dan Thailand (593.241 orang). Vargas meyakini, pemerintah Indonesia dapat membantu para pengungsi dan pencari suaka yang ada saat ini.
Kondisi sekarang
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktivis HAM Heru Susetyo menyatakan, pengungsi yang telah tinggal di Indonesia saat ini menghasilkan uang melalui pekerjaan informal. “Mereka biasanya bekerja dengan transaksi bawah meja karena melanggar hukum,” ujarnya.
Vargas menambahkan, UNHCR Indonesia telah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melibatkan pengungsi dalam program OKE OCE (One Kecamatan One Center for Enterpreunership). Pengungsi dapat mengajar Bahasa Inggris kepada warga Jakarta.
Pengungsi dapat mengajar Bahasa Inggris kepada warga Jakarta
Terkait pemenuhan hak pengungsi akan pendidikan, Heru menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan organisasi masyarakat, lembaga masyarakat, dan universitas untuk menyediakan tempat dengan akses internet. Pengungsi dapat menggunakan fasilitas tersebut untuk mengikuti kuliah jarak jauh dari negara yang menjamin pendidikan bagi para pengungsi.
Adapun Perdemuan mengatakan, solusi yang dapat diberikan saat ini untuk memenuhi kebutuhan kesehatan pengungsi adalah melalui koordinasi dengan IOM, UNHCR, atau pun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bersedia membantu.