Waspadai Penyebaran Radikalisme di Masjid Lingkungan Pemerintah
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 41 masjid di lingkungan pemerintah terindikasi menjadi wadah penyebaran radikalisme. Hal ini menjadi ironi karena seharusnya masjid di lembaga pemerintahan bisa menjadi cerminan Islam yang moderat dan jauh dari khotbah yang provokatif.
Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan, dari 41 masjid tersebut, ada 17 masjid dengan penyebaran radikalisme tingkat tinggi dan 17 masjid dengan penyebaran radikalisme tingkat menengah.
”Kami mengklasifikasi berdasarkan isi khotbah. Kalau radikalisme tingkat menengah, khatib setuju dengan adanya paham khilafah di Indonesia. Adapun yang tingkat tinggi, khatib tersebut tidak hanya setuju dengan paham khilafah, tetapi juga memprovokasi dan mengajak agar sistem khilafah bisa diterapkan,” ujar Ketua Dewan Pengawas P3M Agus Muhammad di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Jakarta Pusat, Minggu (8/7/2018).
Agus menjelaskan, survei dilakukan pada periode 29 September-21 Oktober 2017 di 100 masjid yang berada di lingkungan kantor BUMN, kementerian, dan lembaga pemerintahan.
”Sistem survei, ada 100 relawan yang disebar di setiap masjid. Kemudian mereka merekam isi khotbah di setiap shalat Jumat dengan medium video dan suara,” ujarnya.
Menurut Agus, pelaksanaan survei tersebut dilakukan setelah enam bulan Pilkada Jakarta dan menjelang pengesahan UU Ormas. ”Selain itu, sifatnya masih indikasi karena metodenya hanya melakukan perekaman video dan suara, tidak ada metode tanya jawab. Mungkin sekarang jumlahnya sudah berkurang atau bisa jadi malah bertambah,” ujarnya.
Peneliti dari Rumah Kebangsaan, Erika Widyaningsih, mengatakan, hasil survei ini belum pernah dirilis karena menunggu stabilitas situasi sosial dan politik. Selain itu, penyebaran radikalisme ini juga bisa menjadi ancaman jika nanti para pegawai menjadi terdoktrin dan membawa pemahaman ini ke dalam sistem pemerintahan.
”Namun, beberapa pihak, khususnya di lingkungan lembaga dan kementerian, sudah kami imbau dan beri tahu terkait adanya kasus ini,” ucapnya.
Selain topik tentang ajakan untuk khilafah, para khatib juga menyampaikan ujaran kebencian dengan menunjukkan sikap negatif terhadap perempuan pemimpin, umat minoritas, dan berbeda agama.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Takmir Masjid dan Lembaga Dakwah NU Abdul Manan mengatakan, masjid seharusnya menjadi sarana untuk meningkatkan ketakwaan terhadap ajaran agama.
”Masjid menjadi sarana tonggak ibadah bagi umat beragama. Seharusnya, isi khotbah di dalam masjid harus jauh dari nilai-nilai arogansi serta provokasi,” ujarnya.
Menurut Abdul, seharusnya isi khotbah di masjid lingkungan pemerintah bisa memotivasi para pegawai pemerintah untuk menjauhi hal-hal yang dilarang di agama Islam, seperti korupsi. Abdul menambahkan, seharusnya masjid di lingkungan pemerintah bisa menjadi cerminan untuk perkembangan ajaran Islam yang moderat dan dapat ditiru oleh masyarakat lain.
”Selain itu, bagi para khatib, jika tidak setuju dengan kinerja pemerintah, sebaiknya mereka bisa mendoakan para penguasa agar bisa memperbaiki sikapnya,” katanya.
Agus menjelaskan, kurangnya pengawasan dan kepedulian dari para pengurus masjid menjadi salah satu penyebab munculnya paparan radikalisme ini. ”Oleh sebab itu, kami mengimbau kepada para pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) agar bisa melakukan pengawasan terhadap para khatib yang terindikasi menyebarkan paham radikal di masjid-masjid lembaga pemerintahan,” ujarnya.