Korupsi, satu-satunya kutukan terbesar masyarakat kita saat ini. Olusegun Obasanjo, Presiden Nigeria (1999-2007)
Indonesia bukan Nigeria. Akan tetapi, apa yang disampaikan mantan Presiden Nigeria Obasanjo itu seakan menggambarkan realita negeri ini. Sulit menampik bahwa Tanah Air ini terbebas dari kutukan terbesar: korupsi. ”Kutukan” itu bermakna menyengsarakan: laknat, nista, bencana, buruk, celaka. Dominasi diksi- diksi negatif itu membuat atmosfer langit negeri ini selalu dirundung gegana kelabu, kemurungan, ketidakgairahan, tiada asa. Inilah cerita negeri yang tiap waktu ada saja pemimpinnya ditangkap KPK. Terakhir, Rabu (4/7/2018) malam, KPK menangkap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.
Penangkapan Irwandi menambah daftar hitam kepala daerah korup. KPK sudah menangkapi belasan gubernur. Dalam setengah tahun 2018 ini dua gubernur ditahan KPK: Gubernur Jambi Zumi Zola dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Dan, sudah ratusan bupati atau wali kota yang masuk bui karena kasus korupsi. Sepanjang Januari-Juni 2018 ini, sedikitnya 12 bupati diciduk KPK. Artinya dalam sebulan ada dua bupati/wali kota yang digelandang KPK.
Perang melawan korupsi saat reformasi 20 tahun silam, mungkin bakal menjadi catatan saja, tidak mengubah sejarah negeri ini. Sikap peme- rintah dan parlemen patut dipertanyakan tatkala begitu resistan dengan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. Padahal, aturan KPU itu terobosan penting, tetapi malah mendapat perlawanan. Masalahnya, aturan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU itu, syarat caleg disebutkan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih, kecuali terbuka dan jujur mengakui sebagai mantan terpidana.
Memilih dan dipilih memang hak asasi. Akan tetapi, warga negara juga punya hak asasi untuk hidup di negeri yang bersih. Dan, itu menjadi kewajiban semua warga negara untuk membersihkan negeri ini dari mental bobrok dan perilaku curang. Meminta mereka sadar diri, tahu diri, dan mengakui kesalahan, di sini belum ada sejarahnya. ”Waktu yang tepat untuk berlindung dari korupsi dan tirani adalah sebelum mereka menangkap kita. Lebih baik menjaga serigala di luar kandang daripada kita percaya dapat menarik gigi dan cakarnya ketika ada di dalam,” kata Thomas Jefferson (1743-1826), pendiri dan presiden ketiga bangsa Amerika (1801-1809).
Ada pikiran usil lain. Semestinya disadari ada yang ”bolong” dalam UU Pemilu. Di UU itu tidak terlihat gerakan pembasmian korupsi yang betul-betul serius. Jangan-jangan jadi jalan tengah yang kompromistis. Jangan-jangan memang disengaja agar ada celah seorang napi korupsi bisa comeback ke politik. Kalau tidak benar-benar strict, pemberantasan korupsi, ya, akan begini-begini saja. Ibarat obat sudah tak mujarab lagi, sebaliknya virus korupsi semakin kebal dan malah menumbuhkan gen-gen baru.
Ketika akhirnya Kementerian Hukum dan HAM mengundangkan Peraturan KPU itu sehari sebelum dimulainya pendaftaran caleg pada 4-17 Juli 2018, semoga saja bukan sekadar menghindari keruwetan teknis pemilu, tetapi menjadi titik balik agar panggung politik benar-benar bersih dari watak-watak bobrok. Selama libido kekuasaan para politikus begitu tinggi, segala daya upaya dikerahkan dengan menempuh segala cara. Watak-watak Machiavellis yang menghalalkan segala cara tumbuh bermekaran.
Semestinya, Pilkada 2018 menjadi pelajaran terbaru. Pada pilkada serentak yang digelar 27 Juni 2018 itu sedikitnya sembilan calon bupati/wali kota/gubernur ikut manggung, walaupun mereka berstatus tersangka korupsi dan ditahan KPK. Bahkan, ada yang menang pilkada, seperti calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus dan calon bupati Tulungagung Syahri Mulyo. Mereka pun bangga.
Lebih parah lagi, ada pengurus parpol yang juga ikut membanggakan kemenangan calon yang diusungnya, walaupun si calon ditahan KPK. Inilah ironi di panggung politik. Kalau sudah soal kekuasaan, mereka lupa diri. Jangan sampai seperti kata Aesop (620-564 SM), pendongeng pada zaman Yunani, ”Kami menggantung pencuri kecil, tetapi malah menunjuk pencuri besar ke kantor-kantor publik.” Dan, ”Orang yang memilih politikus korup, penipu, pencuri dan pengkhianat, bukan korban, tetapi antek-anteknya,” kata novelis George Orwell (1903-1950).
Soal korupsi dan pilkada sudah menjadi cerita usang. Ada ambiguitas dalam perang melawan korupsi. Misalnya, ungkapan ”ambil uangnya, jangan pilih orangnya” begitu sering terdengar. Belakangan ungkapan semirip itu dilontarkan Prabowo, orang nomor satu di Partai Gerindra. Sepekan sebelum pilkada serentak lalu, Prabowo menyarankan agar masyarakat mengambil uang suap. ”Tidak mungkin uang itu uang halal, tidak mungkin, mustahil. Itu pasti berasal dari uang bangsa Indonesia. Karena itu, saya anjurkan kalau rakyat dibagi sembako, diberi uang, terima saja karena itu hak rakyat,” kata Prabowo di akun Facebook seraya mengimbau agar tidak terpengaruh memilih kandidat meski menerima suap (CNNIndonesia.com, 26/6/2018).
Bawaslu pun bereaksi bahwa seruan itu tidak mendidik rakyat. Kalau banyak politikus berkata begitu, terkutuklah negeri ini! Karena, ”Korupsi itu membuat hal terbaik pun menjadi sangat buruk,” kata filsuf David Hume (1711-1776). Kita harus bangkit melawan kutukan itu!