Kisah Mereka yang Pantang Surut Membersihkan Sampah Rinjani
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kendati sampah yang ditinggalkan sebagian besar pengunjung terus menumpuk di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (3.726 meter di atas permukaan laut), Lombok, Nusa Tenggara Barat, komunitas yang peduli pada keasrian wisata alam itu pantang surut membersihkannya. Mereka inilah yang ikhlas menjaga kualitas kebersihan Taman Nasional Gunung Rinjani.
Seiring dengan meningkatnya jumlah pengunjung ke Rinjani, jumlah sampah yang ditinggalkan mereka juga tak berkurang. Budaya kebersihan memang menjadi masalah serius bangsa Indonesia. Banyak wisatawan domestik di banyak tempat di Indonesia, termasuk pengunjung Rinjani, yang belum memiliki kesadaran soal pentingnya tidak membuang sampah sembarangan.
”Sampah di Rinjani, selain mengganggu kenyamanan, juga menjadi sumber penyakit, terutama sampah anorganik yang mengancam organisme pengurai, lama-lama membusuk, melahirkan bau tidak sedap, dan menjadi sumber penyakit,” ujar Ming Mirzoan Ilhamdi dari Satuan Tugas Rinjani Bersih, Rabu (4/7/2018), di Kantor Dinas Pariwisata NTB.
Menurut Ming, banyak komunitas pencinta alam yang bergiliran membersihkan sampah di kawasan Taman Nasional Rinjani seluas 413,3 kilometer persegi. Namun, upaya itu belum efektif tanpa ada kesadaran dari pendaki, porter, dan operator tur selama pendakian. Hal itu terindikasi pada Pos I Pelawangan Sembalun, Pos II Tengengean, Pos III Padabalong, Pos Bukit Penyesalan, dan di seputar Danau Segara Anak (Kaldera Gunung Rinjani Tua).
Pos I dan Danau Segara Anak, kata Hijazi Nuh, anggota Satgas Rinjani Bersih, menjadi tempat menumpuknya sampah karena selain tempat menginap pendaki, juga beberapa pedagang menjual kebutuhan pendaki. Kaleng dan botol plastik bekas wadah air mineral, wadah styrofoam makanan cepat saji, bekas bungkus permen, dan tisu dibuang sembarangan.
Terlebih kunjungan ke Rinjani cenderung meningkat, misalnya selama 2016 terdapat sekitar 89.000 wisatawan atau naik dari sekitar 68.000 orang tahun 2015. Sebanyak 42 persen dari total pendaki adalah wisatawan mancanegara. Sebulan lalu, kunjungan ke Rinjani melebih kapasitas yang jumlahnya sampai 6.000 orang.
”Di Pos I pengunjung seperti membuat pasar, tenda-tenda nyaris berdempetan, dan pasti sampah menumpuk,” ujar Hijazi Nuh.
”Saya pernah menegur seorang turis yang menyembunyikan tisu basah di semak-semak Pos Pelawangan. Saya hampiri, silakan bawa tisu ini kembali buat oleh-oleh,” lanjutnya.
Limbah plastik itu kemudian diolah dengan sistem ecobrick: botol minuman diisi dengan sampah plastik lain yang nantinya bisa dijadikan bahan bangunan.
Sebenarnya komunitas pencinta alam di Lombok rutin membersihkan Rinjani dari sampah. Satgas Rinjani (4 orang per regu) mengangkat sampah selama empat hari seminggu. Sebanyak 4 kuintal sampah mereka bawa turun. Komunitas lain yang melibatkan 40 orang juga dalam sekali aksi bersih bisa mengumpulkan sampah sekitar 10 kuintal yang dikumpulkan di kawasan itu.
Aksi bersih itu tidak didukung kesadaran pengunjung Rinjani. ”Tak jarang kami dicibir. ’Kamu, kan, dapat honor dari pemerintah untuk membersihkan sampah’. Begitu respons para pemandu,” ucap Ming.
Satgas mendapat gaji Rp 1,6 juta per orang per bulan atau di bawah upah minimum regional NTB sebesar Rp 1,8 juta per bulan, dengan tugas utama melakukan edukasi kepada pengunjung.
”Tugas kami seharusnya mengedukasi pendaki, tetapi malah ngangkut sampah juga,” kata Didik Kurniawan, anggota Satgas Rinjani.
”Kalau soal jumlah gaji tidak layak buat kami, tetapi kepedulian melihat kawasan ini bersih, itu membuat kami bersemangat. Apalagi tamu dari luar negeri selalu menanyakan soal kebersihan kawasan Rinjani,” ujar Didik.
Satgas Rinjani Bersih pun kembali melanjutkan pembersihan kawasan taman nasional tersebut pada Minggu (8/7/2018).