JAKARTA, KOMPAS-Mahkamah Konstitusi menyarankan pemohon uji materi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold agar memperkuat alasan dan argumentasi hukum pengajuan kembali uji materi ke MK.
Pada putusan sebelumnya, MK menyatakan ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Sesuai dengan ketentuan hukum acara di MK, suatu permohonan uji materi yang sudah pernah diputus oleh MK dinyatakan nebis in idem atau tidak bisa diterima jika tidak ada alasan atau argumentasi hukum yang berbeda.
Dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin oleh hakim konstitusi Saldi Isra, dan dua anggota, yakni Wahiduddin Adams dan I Dewa Gede Palguna, Selasa (3/7/2018), MK mengingatkan hal itu kepada dua kelompok pemohon uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dua kelompok pemohon mengajukan uji materi atas ketentuan yang sama, kemarin, yakni Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pemohon pertama terdiri atas 12 aktivis dan akademisi, dan pemohon kedua adalah warga negara perseorangan, Nugroho Prasetyo.
”Jauh lebih sederhana kalau dibuat matriks, apa alasan permohonan uji materi sebelumnya dan apa alasan berbeda yang diajukan dalam permohonan sekarang. Sebab, kalau tidak ada alasan baru, mahkamah akan lebih mudah memutuskan karena berpatokan pada alasan formal saja (menggunakan patokan nebis in idem). Oleh karena itu, coba pemohon menelaah putusan sebelumnya terhadap Pasal 222. Alasan-alasan apa saja yang sudh pernah muncul. Yang perlu ditunjukkan kepada kami adalah alasan-alasan atau argumentasi hukum yang berbeda dari pemohon,” ujar Saldi. (REK)
Dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin oleh hakim konstitusi Saldi Isra, Selasa (3/7/2018), mahkamah mengingatkan hal itu kepada pemohon. Dua kelompok pemohon mengajukan uji materi atas ketentuan yang sama, kemarin, yakni Pasal 222 Undnag-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pemohon pertama terdiri atas 12 aktivis dan akademisi, dan pemohon kedua adalah warga negara perseorangan, Nugroho Prasetyo.
“Jauh lebih sederhana kalau dibuat matriks, apa alasan permohonan uji materi sebelumnya, dan apa alasan berbeda yang diajukan dalam permohonan sekarang. Sebab kalau tidak ada alasan baru, maka mahkamah akan lebih mudah memutuskan, karena berpatokan pada alasan formal saja (menggunakan patokan nebis in idem). Oleh karena itu, coba pemohon menelaah putusan sebelumnya terhadap Pasal 222. Alasan-alasan apa saja yang sudh pernah muncul. Yang perlu ditunjukkan kepada kami adalah alasan-alasan atau argumentasi hukum yang berbeda dari pemohon,” ujar Saldi.
Palguna juga mengingatkan penguatan kedudukan hukum atau legal standing pemohon, supaya mahkamah bisa memeriksa pokok permohonan mereka. Alasan pembayar pajak semata dianggap tidak cukup kuat untuk memiliki kedudukan hukum bila ternyata tidak ada kerugian konstitusional yang telah atau berpotensi dialami oleh pemohon.
Penambahan syarat
Kedua pemohon dalam sidang kemarin secara singkat menjelaskan alasan pengajuan uji materi kepada MK. Kelompok pemohon yang terdiri atas 12 akademisi dan aktivis diwakili oleh Feri Amsari, Hadar N Gumay, dan Titi Anggraini. Mereka mengatakan, ambang batas pencalonan presiden itu bukan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) sebagaimana telah diputuskan MK dalam permohonan sebelumnya, yakni putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017.
“Bahwa yang diperintahkan konstitusi itu bukan syarat pengajuan calon, tetapi tata cara pengajuan calon. Pasal 222 UU Pemilu itu isinya penambahan syarat, bukan tata cara, sehingga bertentangan dengan konstitusi,” katanya.
Ambang batas pencalonan presiden itu juga memperbesar risiko terjadinya calon tunggal. Padahal, dalam Pemilu harus ada calon lebih dari satu.
Adapun pemohon Nugroho Prasetyo, yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Heriyanto, merasa hak konstitusionalnya seagai warga negara terkendala dengan adanya ketentuan dalam Pasal 222 tersebut. Sebagai warga negara, pemohon berhak untuk maju sebagai capres, tetapi karena ada aturan itu, pemohon yang mengklaim telah berkomunikasi dengan sejumlah partai baru menjadi tidak bisa dicalonkan.
Kedua pemohon menerima saran dari mahkamah. Mereka paling lambat harus menyerahkan perbaikan permohonan pada 16 Juli 2018. “Kami akan memperbaiki permohonan sebagaimana saran mahkamah, terutama untuk memperjelas alasan konstitusional baru yang diajukan pemohon yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.
Dalam putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017, ambang batas pencalonan presiden itu dinyatakan tidak bertentangan dengan konstitusi. Pertimbangannya, ketentuan yang diatur di dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu mendorong penguatan sistem presidensial yang menjadi ruh atau semangat dalam konstitusi.