JAKARTA, KOMPAS—Sikap radikal seseorang selalu diawali dengan terjadinya krisis identitas. Padahal, krisis identitas itu umum dialami anak remaja. Sayangnya, banyak orangtua bingung dan tidak tahu bagaimana mendampingi anaknya melalui masa kritis itu hingga mereka terhindar dari radikalisme.
Saat remaja, umur 10-12 tahun, kondisi fisik anak berubah. Kemampuan berpikir atau kognitifnya berkembang. Secara psikologis, anak mulai mengidentifikasi diri dan membandingkannya dengan kelompok lain. Pencarian identitas itu sering menimbulkan kebingungan remaja.
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, di Jakarta, Senin (2/7/2018) mengatakan, saat remaja bingung, mereka sebenarnya mencari pegangan, butuh bantuan dari orang lain.
Namun, mereka gengsi bertanya kepada orangtua hingga mencari sendiri identitasnya. Itu membuat remaja rentan jadi sasaran penjaja ideologi, termasuk intoleransi, kebencian, dan radikalisme.
”Itu akan terjadi meski komunikasi anak dan orangtua baik,” katanya. Karena itu, kerentanan anak terjebak radikalisme makin tinggi jika komunikasi anak dengan orangtua tak baik.
Tak paham
Persoalannya, banyak orangtua tak paham cara mendampingi remajanya. Protes atau pertanyaan anak kerap ditanggapi orangtua dengan kemarahan, tuduhan, merendahkan, bahkan ancaman.
”Orangtua seharusnya lebih banyak mendengar atau bertanya, bukan menasihati mereka,” kata Anna. Diskusi itu untuk mengajak anak berpikir sehingga kebingungan yang mereka hadapi menemukan titik terang.
Orangtua seharusnya lebih banyak mendengar atau bertanya, bukan menasihati mereka.
Kenyataannya, banyak orangtua sulit mengembangkan diskusi dengan anaknya. Kemalasan belajar dan membaca pengasuhan anak membuat orangtua tak sanggup menghadapi pertanyaan kritis anak.
Padahal, setiap perkembangan psikologis anak memengaruhi perkembangan keluarga hingga menuntut orangtua terus belajar jadi orangtua. ”Banyak orangtua tak paham tujuan berkeluarga dan membesarkan anak,” katanya.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar mengatakan orangtua adalah pendidik pertama dan utama. Namun, mereka kerap tak siap jadi orangtua karena kurang pengetahuan pengasuhan.
Ketidaktahuan itu membuat banyak orangtua menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya pada sekolah. Akibatnya, pengasuhan anak tak optimal karena kerja sama keluarga, sekolah, dan lingkungan atau warga tak terwujud. ”Orangtua menganggap anaknya kecil dan lugu hingga tak siap dengan kenyataan fisik dan psikis mereka tumbuh dan berkembang,” kata Harris.