JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum punya kebijakan khusus untuk pengaturan ojek dalam jaringan (online). Di beberapa lokasi, sudah dilakukan pengaturan lokasi ojek daring untuk menunggu penumpang, namun belum ada pengaturan lainnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, keputusan Mahkahmah Konstitusi terkait ojek online akan ditaati. Namun, sejauh ini belum ada catatan khusus terkait keputusan tersebut. “Pokoknya kita taati dulu putusan MK sambil kita lihat. Belum ada catatan khusus,” katanya di Balaikota DKI Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Pengaturan kantong parkir ojek online sudah dilakukan di beberapa titik di DKI Jakarta, seperti di Stasiun Tanah Abang dan di depan Balai Kota DKI Jakarta. Namun, masih ada titik ojek online ngetem yang memicu kemacetan, seperti di Stasiun Palmerah.
Selain pengaturan lokasi di beberapa lokasi, belum ada aturan daerah khusus di DKI Jakarta yang mengatur ojek online. Mereka hanya bisa dikenai sanksi seperti sepedamotor pribadi, baik karena pelanggaran lalulintas maupun ketertiban umum.
Peneliti Laboratorium Transportasi dan Staf Pengajar Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno, mengatakan, untuk sementara waktu, penyelenggaraan ojek online seharusnya diatur oleh pemerintah daerah, baik wilayah operasi maupun waktu operasinya.
Sembari pemerintah daerah menciptakan layanan transportasi umum yang terintegrasi dan menggapai setiap kawasan pemukiman dan perumahan. “Kepala daerah harus mulai memikirkan ini bukan sekedar janji saat kampanye, tetapi segera diwujudkan,” ujarnya.
Dari hasil sidang yang diadakan pada hari Kamis (28/6), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memutuskan menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum. Putusan ini diambil oleh MK terhadap uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018, yang diputuskan siang tadi dengan suara bulat.
Menurut Djoko, kehadiran layanan angkutan yang berbasis teknologi telah menjadi alternatif kendaraan idaman bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di perkotaan. Namun dalam perkembangnnya membuat lalulintas kian tak tertata.
Maraknya transportasi berbasis teknologi ini berakar dari pemerintah yang belum bisa memberikan transportasi umum yang andal dan terjangkau biayanya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah memberikan perintah kepada pemerintah dan pemda untuk mengembangkan dan menyediakan angkutan umum massal dengan menggunakan mobil penumpang dan bus (Pasal 139 dan 158 UU LLAJ).
Namun dalam perkembangannya, kondisi angkutan umum kurang dan tidak sama sekali dilirik kepala daerah untuk dikembangkan. Akhirnya, munculah sepeda motor sebagai pengganti angkutan umum. (IRE)