Banyak Pemilih yang Bersikap Pragmatis dan Transaksional
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemilih diimbau agar tidak bersikap pragmatis atau memilih calon tertentu demi keuntungan pribadi pada Pemilihan Kepala Daerah yang digelar pada 27 Juni 2018. Pemilih harus memilih berdasarkan rekam jejak, kompetensi, dan program yang dimiliki setiap calon demi kemajuan bangsa dan negara. Namun sayangnya banyak pemilih yang dinilai masih pragmatis dan cenderung memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan transaksional.
Ketua Prodi Ilmu Administrasi Pascasarjana Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang, Ajis Salim Adang Djaha, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (25/6/2018), menyatakan, karakter pemilih Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu visioner dan pragmatis.
“Namun, pengalaman pemilu yang lalu-lalu, baik pilkada, pileg, atau pun pilpres, masih banyak pemilih yang pragmatis yang membuat mereka bersifat transaksional,” tuturnya.
Dengan demikian, pemilih memberikan hak politik mereka terhadap calon tertentu. Pada saat yang bersamaan, mereka berharap calon tersebut akan memenuhi tuntutan mereka ketika terpilih.
Proses itu membuat pemilu menjadi ajang untuk melakukan transaksi politik, bukan sebagai kontestasi kompetensi, rekam jejak, dan program dari calon. Kondisi itu merusak esensi demokrasi dimana pemilih seharusnya memilih calon pemimpin berdasarkan tiga hal tersebut.
Ia mengingatkan, dalam Undang-Undang Dasar 1945, negara bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dalam hal itu, pencapaian hanya diwujudkan melalui kepemimpinan tokoh yang baik. Namun, pemilihan seorang pemimpin secara transaksional tidak akan memilih pemimpin yang mampu mewujudkan hal itu.
“Pemilih harusnya memilih berdasarkan rational choice untuk kepentingan bangsa. Namun, sifat transaksional kini seolah menjadi rational choice bagi mereka,” lanjut Ajis.
Menurut dia, pemilih yang bersifat pragmatis muncul setelah sekian lama kepentingan mereka terabaikan oleh negara. Kepercayaan mereka terhadap proses pemilu pun menurun.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Royke R. Siahainenia menyatakan, selain bersikap pragmatis, masyarakat Indonesia juga rentan dengan politik identitas. Kerentanan itu dimanfaatkan sejumlah calon kandidat dengan memanfaatkan sentimen suku, ras, dan agama demi menarik suara pemilih.
Politik identitas sangat mudah dimainkan di Indonesia, terlepas apakah masyarakat yang terpengaruh berasal dari golongan pendidikan tinggi atau pun rendah. Menurut Royke, hal itu terjadi karena mereka ingin memiliki peran dalam politik.
“Tetapi, pertanyaannya adalah apakah betul mereka ingin berperan memajukan Indonesia? Atau sebenarnya hanya ingin berkuasa?” tuturnya.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Arie Sujito, mengatakan, masyarakat Indonesia membutuhkan pendidikan politik agar demokrasi Indonesia tetap terjaga. Pendidikan dapat diberikan secara formal dan informal.
“Untuk pendidikan informal, dapat dilakukan melalui strategi kebudayaan,” ucap Arie. Pendidikan politik melalui kebudayaan dapat disampaikan pertunjukan wayang, ketoprak, lagu, dan teater. Sedangkan pendekatan melalui dunia daring, seperti media sosial, juga perlu untuk terus dilakukan.
Di saat yang bersamaan, partai juga harus berbenah diri. Partai harus mampu menyediakan kader yang berkompeten sebab merupakan hal yang percuma jika pemilih telah siap tetapi calon kandidat tidak ada yang sesuai.
Pergeseran
Karakteristik pemilih Indonesia telah berubah selama 20 tahun terakhir, pasca-Reformasi pada 1998. Menurut Royke, pada awalnya pemilih Indonesia menginginkan pemimpin dengan latar belakang dari militer.
“Pemimpin dari latar belakang tersebut dinilai mampu menjaga stabilitas politik,” kata Royke. Namun, selang beberapa tahun, muncul isu terorisme yang membuat peta politik Indonesia ikut berubah.
Sentimen terhadap ras, suku, dan agama kian marak terjadi. Kasus terakhir adalah pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Sentimen itu, terus berlanjut hingga sekarang.