Koresponden Kompas, Harry Bhaskara, dari Brisbane, Australia
·3 menit baca
Para penjaga pantai di bagian utara Australia mengaku kewalahan membersihkan pantai dari sampah plastik yang berasal dari Indonesia. Meskipun mereka mengangkat sampah setiap hari, sampah yang terbawa arus tampaknya tak pernah habis.
Padahal, pantai tersebut nyaris tak berpenghuni atau hampir tak tersentuh oleh manusia. ”Begitu bayangan Anda pada pantai-pantai yang sangat terpencil dan tak tersentuh manusia ini,” kata Luke Playford, penjaga pantai dari Dhimurru Aboriginal Corporation, kepada ABC News, Jumat (22/6/2018).
Pantai di kawasan Arnhem Land itu, seluas Sumatera Selatan, dan hanya dihuni 16.000 orang. Sebagian pantai di kawasan sekitar 600 km sebelah timur Darwin selain terpencil, ada yang terlindungi dan tidak boleh dikunjungi.
Namun, sampah yang dulunya hanya datang dari nelayan sekarang sudah ditambah dengan sampah dari negara lain. ”Sandal yang paling banyak. Sandal yang sudah dibuang, sikat gigi, korek api plastik, dan sebagian limbah kesehatan,” kata Playford.
Sandal yang paling banyak. Sandal yang sudah dibuang, sikat gigi, korek api plastik, dan sebagian limbah kesehatan.
Sampah-sampah itu terlalu banyak untuk ditangani penjaga pantai yang mengawasi garis pantai sepanjang 70 kilometer di kawasan Aborigin yang dilindungi. ”Air sedang surut, tetapi dari permukaan air ke pantai semuanya tertutup sampah dan botol minuman, terutama dari plastik, di mana-mana plastik. Korek api plastik, tutup botol, perangkap cumi, potongan jala ikan—dan banyak lagi,” kata Blue Douglas, penjaga pantai lainnya di Tanjung Arnhem, di Laut Arafura.
Melihat dari dekat potongan-potongan sampah tersebut, mereka mendapatkan bahwa sampah tersebut datang dari negara-negara Indo Pasifik.
Peneliti dari Institut Ilmu Kelautan Australia, Frederieke Kroon, mengatakan, sampah yang masuk ke Teluk Carpentaria, terbawa ke Tanjung Arnhem itu, kemungkinan datang dari Indonesia. Di dalam peta, Teluk Carpentaria terletak di sebelah barat daratan utara Australia yang berbentuk seperti tanduk dan yang berada di selatan Papua.
Frederieke Kroon mengatakan, sampah yang masuk ke Teluk Carpentaria, terbawa ke Tanjung Arnhem itu, kemungkinan datang dari Indonesia.
”Arus dan angin pada bulan ini membawa sampah-sampah itu ke pantai.
Arus di teluk itu berputar dan berputar-putar terus,” kata Kroon.
Playford mengatakan, angin barat laut membawa sampah-sampah itu dari Indonesia pada setiap musim penghujan. ”Apabila musim berganti dan kami memasuki musim kemarau saat di mana angin tenggara bertiup, sampah-sampah itu terdampar di sisi barat Teluk,” katanya. ”Namun, sampah-sampah itu tidak tersapu kembali oleh hujan di awal musim.”
Sampah-sampah itu juga berdampak pada penyu yang beberapa minggu lagi akan mendarat di Tanjung Arnhem untuk bertelur. ”Penyu yang harus berenang di antara tumpukan raksasa sampah plastik yang melayang-layang di laut sebelum kemudian menggali lubang di pantai untuk bertelur di antara sampah yang berserakan menjadi masalah besar,” kata Playford.
Playford berpendapat, banyak ikan yang mati karena menggigit plastik dilihat dari cabikan sampah plastik bekas gigitan ikan. ”Saya pikir kita perlu membereskan soal ini dengan cara membantu negara-negara tersebut menangani sampah dan menghentikan pembuangan plastik ke lautan.
Ini tidak terjadi hanya di Indonesia, tetapi terjadi di seluruh dunia,” katanya.