JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia yakin kebijakan preemtif yang dilakukan akan mendorong investasi portofolio dan perumahan. Arus modal asing akan kembali masuk dan kebijakan di sektor perumahan akan memberikan efek berganda terhadap pertumbuhan ekonomi dan kredit perbankan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Jumat (22/6/2018), di Jakarta, mengatakan, kebijakan preemtif yang telah diambil BI adalah menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate (RRR) menjadi 4,75 persen. Dalam waktu dekat ini, BI akan merelaksasi rasio kredit terhadap nilai agunan (LTV) sektor properti.
Kenaikan suku bunga acuan membuat aset di pasar keuangan Indonesia menarik bagi investor asing. Mereka akan masuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) atau saham sehingga dapat menambah likuiditas pembiayaan ekonomi di dalam negeri.
”Indikatornya adalah real interest rate (selisih antara suku bunga acuan dan inflasi) serta imbal hasil SBN Indonesia tenor 10 tahun lebih menarik dan cukup besar,” ujarnya.
Perry menjelaskan, BI 7-day RRR saat ini sebesar 4,75 persen dan inflasi pada akhir tahun ini diperkirakan 3,5-3,6 persen. Dengan demikian, real interest rate-nya sebesar 1,2-1,3 persen. Ini menarik bagi investasi.
Dari sisi obligasi, imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun sebesar 7,5 persen, sedangkan obligasi US Treasury 10 tahun sebesar 2,9 persen. Perbedaannya sebesar 4,5 persen sehingga akan menarik bagi investor asing untuk membeli SBN.
Dalam waktu dekat ini, lanjut Perry, BI juga akan merelaksasi LTV sektor properti. Relaksasi itu mulai dari pembayaran uang muka, inden, hingga tenor pembayaran. Melalui relaksasi itu, investor dalam dan luar negeri pasti akan tertarik berinvestasi, sektor-sektor lain yang terkait akan tergerak, dan kredit perbankan bisa tumbuh.
BI optimistis sektor properti akan meningkat karena permintaan cukup tinggi. Permintaan itu berasal dari pembeli mula berusia 36-45 tahun yang berminat terhadap apartemen dan rumah tapak. Relaksasi LTV juga akan membuat investor di dalam negeri menanamkan modal di sektor perumahan.
”Pasca-Lebaran, likuiditas bank akan semakin melonggar. Di sisi lain, kebijakan relaksasi LTV akan mendorong pertumbuhan kredit perumahan bank. Untuk itu, kenaikan suku bunga acuan akibat faktor global tidak perlu diikuti dengan kenaikan suku bunga bank di dalam negeri,” kata Perry.
Sinyal kenaikan
Selasa lalu, BI memberikan sinyal akan menaikkan lagi BI 7-day RRR. Naik atau tidaknya suku bunga acuan itu akan ditentukan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 27-28 Juni. Seusai RDG nanti, BI juga akan mengumumkan relaksasi LTV sektor properti.
Menurut Perry, BI saat ini fokus menstabilkan nilai tukar rupiah. BI juga tengah menyiapkan kebijakan lanjutan yang preemtif, memberikan dampak langsung ke depan, dan selangkah lebih maju dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan Bank Sentra AS, The Fed, dan Bank Sentral Eropa, ECB.
”The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya dua kali dan kemungkinan akan menaikkannya dua kali lagi. ECB juga sudah berkomitmen mengurangi penjualan asetnya mulai September tahun ini,” lanjutnya.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Jahja Setiaatmadja menuturkan, BI perlu menaikkan suku bunga acuan kembali agar depresiasi rupiah tidak semakin dalam. Kenaikan suku bunga acuan BI itu saat ini baru berdampak pada kenaikan suku bunga deposito sebesar 25 basis poin.
Ke depan, ada kemungkinan akan berdampak pada kenaikan suku bunga kredit, terutama kredit konsumsi. Hal itu terjadi karena banyak permintaan terhadap kredit itu, terutama kredit pemilikan rumah.
”Jika beban biaya bank semakin tinggi, mau tidak mau, perbankan akan menaikkan suku bunga kredit guna menjaga margin bunga bersih,” ujarnya.