Jalan Berputar Jenderal (Polisi) Iriawan
Hanya 102 hari, Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan menjabat Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), menggantikan Komjen Arif Wachjunadi. Per 18 Juni 2018, ”Iwan Bule”—demikian Mochamad Iriawan sering dipanggil—dilantik sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Iriawan tergolong perwira tinggi Polri berprestasi. Dia pernah menjadi Kapolda Nusa Tenggara Barat, Kapolda Jabar, Kepala Divisi Hukum Polri, Kepala Divisi Propam Polri, Kapolda Metro Jaya, Asisten Operasi Kapolri, dan Sekretaris Utama Lemhannas. Karena rekam jejaknya, sangat dipahami ketika Iriawan ditempatkan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat.
Gubernur Lemhannas Agus Widjojo ketika ditanya soal penunjukan Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat mengatakan, penunjukan Iriawan adalah adalah tugas Presiden Joko Widodo. Dalam perspektif ini, penunjukan ini tak bisa ditolak. ”Ini adalah keputusan presiden. Kami tak berada pada lingkup kewenangan menjawab alasan politik,” kata Agus seperti dikutip harian Kompas, Selasa, 19 Juni 2018.
Ini adalah keputusan presiden. Kami tak berada pada lingkup kewenangan menjawab alasan politik.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melantik Sekretaris Utama Lemhannas Komjen M Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat. Penjabat Gubernur ditunjuk setelah masa jabatan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan habis masa jabatannya, sementara gubernur definitif belum terpilih.
Pemilihan Gubernur Jawa Barat baru akan ditentukan pada Rabu, 27 Juni 2018. Ada empat kandidat yang bertarung memperebutkan kursi Jawa Barat Satu, yakni Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum, Tubagus Hasanudin-Anton Charliyan, Sudradjat-Achmad Syaiku, serta Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi. Sesuai dengan tahapan pilkada KPU, penetapan calon terpilih pada 7-9 Juli 2018 ditambah kemungkinan sengketa ke MK. Sampai gubernur jabar terpilih ditetapkan, Iriawan akan menjadi Penjabat Gubernur Jabar.
Kekosongan kursi gubernur dalam setiap pilkada adalah hal biasa. Ada 17 pemilihan gubernur pada 27 Juni 2018. Namun, tidak semua gubernur membutuhkan penunjukan penjabat gubernur. Sebut saja, Jawa Timur tetap dijabat Soekarwo sebagai gubernur yang sudah memimpin Jatim dua periode. Nusa Tenggara Barat tetap dijabat Muhammad Zainul Majdi.
Di Jawa Tengah, Penjabat Gubernur Jawa Tengah adalah Wakil Gubernur Heru Sudjatmiko karena Ganjar Pranowo ikut dalam kontestasi pilkada. Di Sulawesi Selatan, Soni Sumarsono ditetapkan sebagai Penjabat Gubernur Sulsel. Soni adalah salah seorang direktur jenderal di Kementerian Dalam Negeri.
Sejak Januari 2018, penunjukan Iriawan yang kala itu menjabat Asisten Operasi Kapolri sebagai Penjabat Gubenur Jawa Barat sudah memicu resistensi. Ada kecurigaan politik. Di Jawa Barat, ada tiga pensiunan perwira tinggi TNI dan Polri ikut dalam kontestasi. Mayjen (Purn) Tubagus Hasanuddin dan Irjen Anton Charliyan yang diajukan PDI-P serta Mayjen (Purn) Sudrajat yang diajukan Gerindra dan PKS.
Resistensi terhadap penunjukan Iriawan sebagai penjabat gubernur terekam dalam pemberitaan harian Kompas seperti di bawah ini. Dalam berita Kompas, 26 Januari 2018 ditulis berita ”Citra Polri Dipertaruhkan”.
Dalam berita itu disebutkan, ”Stabilitas keamanan menjadi pertimbangan utama Kementerian Dalam Negeri mengusulkan dua perwira tinggi aktif kepolisian sebagai penjabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Dua perwira tinggi yang diusulkan itu adalah Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal M Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Martuani Sormin sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara. Mereka akan menjabat setelah gubernur di dua provinsi itu mengakhiri jabatannya pada Juni mendatang. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Kamis (25/1/2018) di Jakarta, mengatakan, pengajuan itu adalah kebijakan yang lumrah. Kemendagri, katanya, pernah menempatkan Soedarmo, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri yang sebelumnya Deputi Bidang Ideologi Badan Intelijen Negara, sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh saat pilkada lalu. Irjen Carlo Brix Tewu juga pernah menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi Barat pada akhir 2016. Saat dilantik sebagai Penjabat Gubernur Sulbar, Carlo bertugas sebagai Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.”
Berita tersebut adalah kontroversi pertama soal penunjukan Iriawan sebaagai penjabat gubernur.
Kontroversi masih berlanjut pada berita harian Kompas keesokan harinya, Sabtu, 27 Januari 2018, dalam berita berjudul, ”Usulan Mendagri Pancing Kerawanan”.
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mengusulkan dua perwira tinggi Polri menjadi penjabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara sebaiknya diurungkan. Selain mengancam netralitas Polri dalam pilkada, usulan yang dilakukan dengan pertimbangan keamanan tersebut justru berpotensi memancing kerawanan.
Kerawanan ini dapat muncul terutama karena ada bakal calon berlatar belakang Polri dan TNI di Jabar dan Sumut. Mereka adalah Inspektur Jenderal (Irjen) Anton Charliyan yang jadi bakal calon wakil gubernur mendampingi TB Hasanuddin yang merupakan seorang purnawirawan TNI di Jabar. Pasangan ini diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Di Jabar juga ada purnawirawan TNI yang jadi bakal calon gubernur, yaitu Sudrajat, yang diusung Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Sementara itu, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Edy Rahmayadi menjadi bakal calon gubernur di Sumatera Utara. Edy didukung Partai Golkar, Gerindra, PKS, PAN, Hanura, dan Nasdem.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengingatkan, penunjukan dua perwira tinggi Polri untuk jadi penjabat gubernur Jabar dan Sumut dapat menimbulkan persepsi berbeda di masyarakat. ”Apalagi di Sumut ada (kandidat dengan latar belakang) militer yang ikut pilkada. Nanti yang militer protes kenapa harus polisi. Itu juga jadi masalah,” ujar Riza, Jumat (26/1), di Jakarta.
Riza mengusulkan, penjabat gubernur ditunjuk dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS) eselon I dari Kemendagri atau pemerintah daerah. PNS akan lebih memahami persoalan dan aturan terkait pemerintahan dibandingkan anggota TNI-Polri.
Sebelumnya, dengan alasan, terutama pertimbangan keamanan, Mendagri mengusulkan Asisten Operasi Kepala Polri Irjen M Iriawan sebagai penjabat gubernur Jabar serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Martuani Sormin sebagai penjabat gubernur Sumut. Mereka dijadwalkan mulai bertugas pada Juni mendatang.
Netralitas
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, TB Ace Hasan Syadzily, juga berharap Mendagri mengurungkan kebijakan menunjuk dua perwira tinggi Polri menjadi penjabat gubernur di Jabar dan Sumut. ”Bukan hanya regulasi atau aturan perundang-undangan yang menjadi alasan menunjuk penjabat gubernur, melainkan juga sensitivitas publik terhadap persoalan yang disorot, yaitu netralitas kepolisian. Jangan menyeret institusi negara yang seharusnya netral untuk kepentingan politik pilkada,” kata Ace.
Pengajar Universitas Indonesia, Edy Prasetyono, mengatakan, kepala daerah merupakan pemegang otoritas politik di daerah. Terkait hal itu, penunjukan perwira aktif sebagai penjabat kepala daerah bertentangan dengan asas netralitas. Pasalnya, aparat keamanan harus bersikap netral dalam politik.
”Prinsip dan regulasi dalam reformasi sektor keamanan adalah menegakkan netralitas aparat keamanan,” ujar Edy. Ia menambahkan, menjauhkan aparat keamanan dari politik adalah hal penting dalam bernegara.
Dalam pilkada, lanjutnya, penunjukan perwira aktif sebagai penjabat kepala daerah juga membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Menanggapi kontroversi pejabat Polri menjadi pelaksana tugas gubernur, harian Kompas dalam Tajuk Rencana pada 29 Januari 2018 menulis:
Tajuk Rencana: Tak Perlu Menambah Gaduh
Wacana penempatan dua perwira tinggi Polri sebagai pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara telah memicu kegaduhan baru.
Semangat persaingan dan kecurigaan yang tinggi akan bermainnya kekuasaan telah membuat situasi politik menjelang pilkada kurang nyaman. Disebutkan, Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan akan ditunjuk menjadi pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat dan Irjen Martuani Sormin akan menjadi pelaksana tugas Gubernur Sumatera Utara.
Di berbagai grup percakapan, bakal ditunjuknya Iriawan dan Martuani sebagai wujud implementasi ”dwifungsi Polri”. Pada satu sisi, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian beberapa kali menegaskan netralitas Polri dalam pilkada. Sementara Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Syafruddin menilai penunjukan perwira tinggi Polri sebagai pelaksana tugas gubernur masih berupa wacana.
Pilkada serentak berlangsung di 171 wilayah, 17 di antaranya pemilihan gubernur yang akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018. Untuk Provinsi Jawa Barat, masa jabatan Ahmad Heryawan akan habis pada 13 Juni 2018, sedangkan masa jabatan Gubernur Sumatera Utara Erry Nuradi habis pada 16 Juni 2018. Heryawan sudah menjabat dua periode. Adapun Erry tidak lagi diusung partai politik sehingga dia tak maju lagi dalam pilkada.
Sesuai dengan undang-undang, Kementerian Dalam Negeri harus mengisi 17 penjabat pelaksana tugas gubernur yang akan habis masa jabatannya, termasuk yang cuti. Peraturan Mendagri Nomor 74 Tahun 2016 mengatur, ”Pelaksana tugas gubernur berasal dari pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau pemda provinsi”.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan, tidak mungkin hanya eselon I Kemendagri yang menjabat pelaksana tugas gubernur karena eselon I di Kemendagri juga terbatas. Memahami realitas itu, pernah ditunjuk Irjen Carlo Brix Tewu sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Sulawesi Barat pada 2016. Meski Tewu adalah perwira tinggi polisi, saat menjalankan tugas itu, Tewu adalah pejabat Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Dalam Pasal 20 UU Aparatur Sipil Negara disebutkan, ”Jabatan Aparatur Sipil Negara tertentu dapat diisi dari prajurit TNI atau anggota Polri. Namun, penunjukan anggota Polri dan TNI untuk menjabat sebagai Aparatur Sipil Negara tunduk pada UU Polri dan TNI”. Dalam UU Polri disebutkan, ”Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”. Hal serupa diatur dalam Pasal 109 UU ASN.
Jadi, seandainya memang Kemendagri tetap akan menunjuk Iriawan dan Martuani sebagai pelaksana tugas gubernur, UU Polri harus dipatuhi. Artinya, Iriawan dan Martuani harus mengundurkan diri atau pensiun. Padahal, Iriawan masih berusia 56 tahun dan Martuani berusia 55 tahun.
Kontroversi wacana itu sebaiknya segera diakhiri. Kita memahami realitas yang ada di Kemendagri. Namun, kita tetap yakin Mendagri akan bijak mengambil langkah untuk mengakhiri kegaduhan dengan tetap menjaga netralitas TNI/Polri dan semangat Reformasi.
Pemerintah mengalah
Tekanan yang begitu keras dan kecurigaan politik membuat pemerintah mengalah. Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, usulan penunjukan penjabat gubernur dari kepolisian bisa didiskusikan lagi. Saat ini, usulan itu masih wacana dan belum secara resmi diterima Sekretariat Negara.
”Jika ada perdebatan publik, akan didiskusikan. Diskusi seperti itu biasa terjadi antarmenteri,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Senin (29/1), di Jakarta.
Langkah mundur pemerintah kian tecermin dalam pernyataan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian. Seperti dikutip Kompas, Sabtu, 24 Februari 2018, Kapolri mengatakan, pemerintah membatalkan rencana menunjuk pejabat Polri sebagai pelaksana tugas gubernur.
PILKADA 2018
Pemerintah Batal Tunjuk Pati Polri
BATAM, KOMPAS — Rencana pemerintah menunjuk perwira tinggi Kepolisian Negara RI sebagai penjabat gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara dibatalkan. Keputusan pembatalan tersebut telah diambil pada awal Februari lalu.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Jumat (23/2), ditemui di Batam, Kepulauan Riau, mengatakan, pihaknya telah mengetahui pembatalan rencana penunjukan perwira tinggi (pati) Polri sebagai penjabat gubernur. Keputusan tersebut, menurut dia, didasari hasil komunikasinya dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
Sebelumnya, wacana tersebut mengemuka pada rapat pimpinan Polri, 25 Januari lalu, di Jakarta. Kala itu, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin sempat menyebut Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal M Iriawan dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Martuani Sormin sebagai kandidat penjabat gubernur Jabar dan Sumut.
Permintaan nama kedua perwira tinggi itu didasari surat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kepada Tito yang meminta Polri menyiapkan sosok yang dapat dicalonkan sebagai pengganti sementara Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dan Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi yang akan mengakhiri masa jabatannya pada pertengahan Juni 2018. Selain Polri, Tjahjo juga menyurati kementerian/lembaga lain untuk menyiapkan pejabat eselon satu sebagai calon pelaksana harian kepala daerah di masa Pilkada 2018.
Isu penempatan pejabat Polri sebagai pelaksana tugas gubernur meredup. Pada 9 Maret 2018 muncul berita mutasi di tubuh Polri. Asisten Operasi Kapolri Irjen Muchammad Iriawan dimutasikan sebagai Sekretaris Utama Lemhannas.
Apakah penunjukan Iriawan sebagai Sekretaris Utama Lemhannas sebagai jalan memutar agar pemerintah bisa menempatkan Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, tidak ada yang bisa memastikan.
Apakah penunjukan Iriawan sebagai Sekretaris Utama Lemhannas sebagai jalan memutar agar pemerintah bisa menampatkan Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, tidak ada yang bisa memastikan.
Namun Mendagri Tjahjo mengatakan, dalam sebuah diskusi di grup Whatsapp yang beranggotakan sejumlah menteri dan pemimpin redaksi menulis, ”Iriawan tidak bekerja di institusi kepolisian, tetapi sebagai Sestama Lemhannas.”
Tjahjo kemudian menjelaskan hal serupa juga terjadi ketika Kementerian Dalam Negeri menunjuk Irjen Carlo Brix Tewu sebagai Gubernur Sulawesi Barat. Carlo pada waktu itu adalah polisi aktif yang menjadi pejabat di Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan.
Pelantikan Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat kembali memicu kontroversi. Pemerintah dituduh ingkar janji. Kecurigaan politik kembali mencuat. Lawan politik dan sejumlah pengamat mempersoalkan penunjukan Iriawan. Gagasan membentuk hak angket digulirkan. Namun, apa pula yang menilai penggunaan hak angket berlebihan. Pihak Kementerian Dalam Negeri merasa tidak ada yang salah dengan penunjukan Iriawan.
”Tidak ada pula undang-undang yang dilanggar. Kalau pelantikan ini melanggar hukum, saya siap tanggung jawab kepada Presiden,” kata Tjahjo Kumolo seperti dikutip Kompas, 19 Juni 2018.
Bagaimana undang-undang mengatur soal itu? Pasal 109 Ayat 2 UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara menulis, ”Jabatan pimpinan tinggi dapat diisi prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.”
Pasal 28 Ayat 3 UU No 2/2002 tentang Polri menyebut, ”Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
Dalam penjelasan ditulis, yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan Kapolri?’
Pasal 47 Ayat 1 UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Soal duduknya anggota Polri dan TNI di jabatan di luar kepolisian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 21/2002. Dalam PP itu antara lain disebutkan:
Pasal 9
Selain oleh pegawai negeri sipil, jabatan struktural tertentu pada instansi sipil:
a. Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan;
b. Departemen Pertahanan;
c. Sekretariat Militer Presiden;
d. Badan Intelijen Negara;
e. Lembaga Sandi Negara;
f. Lembaga Ketahanan Nasional;
g. Dewan Ketahanan Nasional;
h. Badan SAR Nasional;
i. Badan Narkotika Nasional,
dapat diduduki anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tanpa dialihkan statusnya menjadi pegawai negeri sipil berdasarkan peraturan pemerintah ini.”
Dalam pasal itu jelas Sekretaris Utama Lemhannas masuk dalam lingkup PP No 21/2002 dan tidak diharuskan pensiun dari jabatannya. Artinya, ketika Iriawan dilantik sebagai Sestama Lemhannas statusnya sebagai anggota Polri. Penafsiran lain dibutuhkan ketika Iriawan yang Sestama Lemhannas kemudian diangkat sebagai penjabat gubernur yang tidak berada dalam lingkup PP dan UU Polri
Pelantikan Iriawan sebagai penjabat gubernur memang menimbulkan kontroversi dan kompleksitas hukum yang melingkupinya. Realitas sosiologi menunjukkan sudah ada beberapa perwira polisi menduduki jabatan di luar kepolisian, seperti Irjen Ronny Sompie sebagai Dirjen Imigrasi, Irjen Suhardi Alius sebagai Sestama Lemhannas kemudian ditarik lagi sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Artinya, penugasan Suhardi sebagai Sekretaris Utama Lemhannas tidak mengharuskan dirinya pensiun dari dinas kepolisian.
Perdebatan soal pensiun dan mundur dari dinas kepolisian inilah yang menjadi pangkal persoalan. Apakah menjalankan tugas sebagai penjabat gubernur yang bersifat sementara harus dikenai Pasal 28 Ayat 3 UU Kepolisian yang berarti harus mundur dari dinas kepolisian. Iriawan masih berusia 56 tahun. Dia kelahiran 31 Maret 1962.
Namun, yang memicu resistensi lain adalah ketidakkonsistenan pemerintahan Presiden Joko Widodo sendiri. Setelah dinyatakan penunjukan dua perwira tinggi polisi sebagai penjabat gubernur dibatalkan, sebagaimana diberitakan harian Kompas, Sabtu 24 Februari 2018, mengapa kemudian sekarang dihidupkan lagi.
Peristiwa ini memang tidak biasa. Biasanya, Presiden Jokowi akan menghindari berhadapan dengan opini publik sehingga ketika kontroversi terjadi pada Januari dan Februari 2018 merebak, pemerintahan mundur dan membatalkan.
Namun, ketika Juni 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melantik Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, bisa dibaca sebagai dinamika politik sedang terjadi di seputar istana sampai akhirnya Presiden Jokowi melawan opini publik. Apakah ini pertanda konsolidasi politik sudah selesai atau malah belum terkonsolidasi sehingga muncul putusan itu, waktu yang akan menjawab.
Saya di Polri sejak 1984 dan sekarang sudah di pengujung karier. Apa mungkin saya hancurkan karier saya yang saya titi hampir 34 tahun. Saya pun ingin mengukir nama baik dan sukses sebagai Pjs Gubernur
Namun Iriawan sendiri ketika ditanya tanggapan soal netralitas dirinya, menjawab, ”Saya di Polri sejak 1984 dan sekarang sudah di pengujung karier. Apa mungkin saya hancurkan karier saya yang saya titi hampir 34 tahun. Saya pun ingin mengukir nama baik dan sukses sebagai pjs gubernur,” ucapnya.
** BUDIMAN TANUREDJO, Pemimpin Redaksi Harian Kompas