Pasca reformasi, melontarkan kritik kepada pemerintah bahkan presiden terasa semakin bebas dan deras. Akan tetapi, tidak jarang kritik yang muncul justru bersifat destruktif, kebablasan, bahkan menjurus menjadi penghinaan hingga harus berakhir di jalur hukum.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan, Presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Sejumlah kewenangan melekat pada jabatan presiden. Kedudukan dan perannya yang sentral dalam sistem pemerintahan presidensial menjadikan lembaga kepresidenan sebagai penanggung jawab terbesar kebijakan pemerintah. Presiden menjalankan pemerintahan, rakyat menilai kinerja pemerintah.
Jajak pendapat kali ini menyoroti bagaimana kritik disampaikan ke lembaga kepresidenan (Presiden Joko Widodo), dalam konteks kebebasan berpendapat serta adanya disrupsi teknologi informasi dan komunikasi.
Secara umum, mayoritas publik (85,6 persen responden) menilai kritik merupakan bentuk upaya perbaikan yang bisa dilakukan terhadap kebijakan dan kinerja pemerintahan/presiden. Ini berarti, kritik kepada presiden dipahami bersifat obyektif sebatas pada tugas dan jabatan yang diemban sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Meski demikian, ada sebagian kecil publik (5,2 persen) yang menilai bahwa kritik bisa pula dilontarkan pada sosok fisik atau kepada keluarga presiden. Ini berarti, ada sebagian kecil publik yang menilai bahwa bentuk kritik tidak harus bermuara pada aspek kinerja dan kebijakan presiden.
Mayoritas publik (85,6 persen responden) menilai kritik merupakan bentuk upaya perbaikan yang bisa dilakukan terhadap kebijakan dan kinerja pemerintahan/presiden. Ini berarti, kritik kepada presiden dipahami bersifat obyektif sebatas pada tugas dan jabatan yang diemban sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara
Selain dari penyikapan demikian, kondisi politik kontemporer menunjukkan kritik tak lagi sekadar masukan dan perbaikan kinerja, tetapi sudah menjadi alat kontestasi politik. Hal ini terkait lanskap politik selepas Pemilihan Presiden 2014 dan hingga saat ini tampaknya belum terjadi perubahan menyeluruh. Kondisi lanskap politik yang cenderung diametral antara publik yang pro dan kontra terhadap pemerintah tampaknya terus berlangsung. Pada level elite partai politik, kondisi memang jauh lebih cair di mana tokoh masyarakat dan DPR sudah tidak lagi dalam kubu-kubu politik (Koalisi Merah Putih versus Koalisi Kerakyatan).
Namun, di level masyarakat, khususnya kelas menengah, mudah ditemukan jejak sikap kompetisi memperebutkan keunggulan narasi setiap pihak. Tak hanya itu, hasil survei nasional yang diselenggarakan berbagai lembaga survei, termasuk Litbang Kompas (April 2018), menguatkan asumsi adanya kondisi yang belum lepas dari kontestasi 2014.
Tokoh yang difavoritkan menjadi presiden pada Pilpres 2019 masih berkisar pada dua tokoh yang muncul tiga setengah tahun lalu, Jokowi dan Prabowo Subianto. Kondisi demikian menjadi konteks dari bagaimana kritik dilontarkan hari-hari ini. Semua problem mulai dari soal kebijakan pembangunan infrastruktur, Nawacita, tenaga kerja asing, hingga soal utang negara diwarnai nuansa kontestasi politik dua tokoh.
Bukan menghina
Hasil jajak pendapat kali ini menunjukkan bagian terbesar publik responden (38,6 persen) menilai lembaga kepresidenan masa kini sebagai hal yang ”biasa”, dalam arti bukan institusi menakutkan dan jauh dari rakyat. Namun, ada pula bagian responden yang masih menilai lembaga kepresidenan sebagai hal yang ”kuat” (25,5 persen) dan ”sakral” (23,7 persen).
Ruang untuk melontarkan kritik ataupun saran pun kini jauh lebih terbuka dan bebas, termasuk di forum-forum pertemuan presiden dengan kelompok-kelompok warga di Istana Negara. Bahkan, Presiden Jokowi menyatakan, pemerintah butuh kritik dengan data yang jelas untuk memperbaiki pemerintahan serta meningkatkan kualitas demokrasi meski harus dapat dibedakan antara kritik dan nonkritik, seperti mencela, mencemooh, dan nyinyir (Kompas 22/3/2018).
Apa yang disampaikan Presiden itu relevan mengingat saat ini banyak penebar berita bohong dan kebencian pada pemerintah. Ruang demokrasi yang sedianya merupakan arena bebas nilai untuk mempertarungkan ide dan mencari solusi, dibajak untuk kepentingan politik dan kelompok.
Kondisi ini tampaknya juga dipahami publik. Terkait aksi kritik yang cenderung menghina, lebih dari separuh responden setuju jika pelakunya dipenjara. Tidak ada perbedaan penyikapan antara responden pemilih Jokowi dan pemilih Prabowo. Kedua kelompok ini setuju, penjara jadi ganjaran bagi pelaku penghinaan. Alasannya, presiden merupakan pemimpin sekaligus simbol negara. Rasa hormat yang disematkan ke lembaga kepresidenan membuat publik merasa perlu digunakannya upaya hukum untuk tindakan ini.
Terkait aksi kritik yang cenderung menghina, lebih dari separuh responden setuju jika pelakunya dipenjara. Tidak ada perbedaan penyikapan antara responden pemilih Jokowi dan pemilih Prabowo
Sebagai catatan, sejak 2017, sudah enam orang diproses hukum atas dugaan penghinaan terhadap presiden.
Soal cara, jika dulu unjuk rasa jadi sarana utama, kini terdapat pergeseran metode di mata publik. Sebanyak 39,1 persen responden memilih seminar atau diskusi sebagai cara terbaik mengkritik. Hanya 8,6 persen yang memilih unjuk rasa.
Boleh jadi karena kini banyak cara dan platform bisa dipakai untuk mengkritik. Antara lain mengkritik melalui unggahan di media sosial (26,9 persen) dan tulisan di media massa (15,8 persen). Perubahan medium ini tentu relevan apalagi di Indonesia dengan 143,26 juta pengguna internet atau sekitar 54,68 persen dari total penduduk (2017). Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2017) juga menunjukkan bahwa 87,13 persen pengguna internet mengakses media sosial.
Apa pun mediumnya, warga berhak berpartisipasi dalam memperbaiki negeri ini melalui kritik dan aspirasi. Namun, kritik perlu dilakukan dalam koridor etika dan hukum.