Dibutuhkan wawasan yang luas dan kemampuan improvisasi untuk menerapkan pola pendidikan demokratis. Guru bisa kreatif jika didukung kepala sekolah dan pengawas.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah berbagai tantangan mewujudkan pendidikan berpola konstruktivistik, sejumlah guru berhasil menerobos budaya guru sebagai sumber ilmu. Terobosan itu muncul di sejumlah daerah.
”Harus diakui, tradisi yang menganggap guru dan orangtua sebagai sumber utama ilmu merupakan kendala terbesar dalam mewujudkan cita-cita guru sebagai fasilitator,” kata Ketua Serikat Guru Indonesia Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Eka Ilham ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/6/2018).
Menurut Eka, pandangan bahwa guru sebagai sumber utama ilmu menjadi penyebab enggannya sebagian guru untuk rajin membaca dan menambah wawasan. Bahkan, pandangan seperti itu memicu penolakan untuk ikut pelatihan, baik yang diadakan oleh pemerintah, organisasi guru, maupun gerakan masyarakat.
Eka menjelaskan, di Bima, setiap tiga kali dalam sebulan para koordinator dari 18 wilayah kerja Serikat Guru berkumpul untuk membahas permasalahan di sekolah. Topik yang terus didiskusikan secara berkesinambungan ialah mengubah sudut pandang guru dari penceramah menjadi fasilitator. Pertemuan tersebut juga melibatkan akademisi-akademisi lokal di bidang pendidikan.
”Salah satu metode paling sederhana yang bisa diterapkan di kelas ialah memperbanyak diskusi,” kata Eka yang juga guru Bahasa Inggris di SMKN 10 Bima.
Guru menawarkan sebuah topik, umumnya peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar sekolah atau dari pemberitaan media arus utama. Walaupun sederhana, melalui metode ini guru dituntut memiliki wawasan yang luas. Artinya, guru harus rajin membaca.
”Penilaian siswa pada proses mereka membangun argumen. Misalnya, rujukan-rujukan yang mereka gunakan, isi argumen, kepercayaan diri mereka saat mengekspresikan pendapat, serta kemampuan mereka menghormati pendapat orang lain dan memberi kritik yang membangun,” tuturnya.
Improvisasi
Galuh Ajeng, wali kelas VI SD Muhammadiyah Sidoaro, Godean, Yogyakarta, mengatakan, guru-guru bisa berimprovisasi dalam mengajar selama ada kepala sekolah dan pengawas yang mendukung. Selain itu, keterlibatan orangtua murid juga sangat penting.
”Pembelajaran abad ke-21 yang mengutamakan penalaran dan kemampuan membangun jejaring sosial tidak akan maksimal tanpa campur tangan orangtua,” kata Galuh.
Ia melakukan advokasi pengasuhan demokratis kepada orangtua, yakni pengasuhan yang tidak menggunakan pola instruktif pada anak. Segala aturan di sekolah dan kelas dalam tahap pembuatannya melibatkan masukan dari perwakilan siswa. Harapannya, cara ini juga bisa diadaptasi di rumah.
”Salah satu metode advokasinya ialah memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan artikel dan penelitian terkait pendidikan demokratis kemudian mendiskusikannya,” ujarnya.
Galuh mengikuti pelatihan yang diadakan Gerakan Sekolah Menyenangkan atas inisiatif sendiri. Ilmu yang ia dapat dari pelatihan tersebut diterapkan di sekolah. Kepala sekolah melihat perubahan yang positif sehingga meminta Galuh membagikan kompetensi tersebut kepada rekan-rekan guru.
Metode yang diterapkan untuk merangsang semangat belajar siswa ialah menanyakan cita-cita mereka. Setelah itu, guru meminta siswa membuat esai mengenai alasan mereka memilih cita-cita tersebut; merencanakan peta pendidikan berkelanjutan, seperti perguruan tinggi yang akan dituju yang memiliki program studi yang mendukung; serta mencari tahu cara agar cita-cita tersebut bisa membangun bangsa.
Siswa antusias melakukan penelitian kecil-kecilan demi menulis esai tersebut. Sekolah juga memanfaatkan orangtua untuk memperkenalkan berbagai jenis profesi. (DNE)