Konsumen Menjerit, Tarif Taksi Bandara Baru Semarang Mencekik
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sejumlah penumpang yang tiba di Bandar Udara Internasional Ahmad Yani, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (12/6/2018), mengaku sangat kecewa atas layanan taksi bandara yang mengenakan tarif sangat mencekik. Semua taksi yang ada menolak penggunaan argometer untuk layanan taksi kepada penumpang dengan alasan mereka menggunakan sistem sendiri, yakni zona tarif yang sudah disusun oleh pihak operator taksi bandara.
”Ini layanan taksinya masih katrok. Sangat katrok. Saya naik taksi untuk tujuan hotel di kawasan Simpang Lima Semarang, hanya berjarak kurang 8 kilometer dikenai tarif Rp 100.000. Padahal, kalau taksi itu mau menggunakan argometer, saya hanya dikenai Rp 45.000,” ujar Rohadi, penumpang yang hendak ke Salatiga, tetapi menginap lebih dulu di hotel Semarang.
Keluhan atas layanan taksi bandara yang main pukul tarif taksi juga datang dari Samidjo, penumpang mudik yang hendak ke kota Demak. Dia hampir ditolak sopir taksi karena tujuannya berjarak terlalu jauh. Tarif untuk jarak jauh itu tidak murah. Saat memesan taksi, ia langsung divonis dengan tarif Rp 450.000 dan tidak menggunakan argometer sebagai pengukur umumnya taksi bandara di mana pun.
”Saya baru tahu kalau taksi itu pakai zona tarif. Artinya, sopir lebih suka jarak dekat karena bisa cepat kembali ke bandara untuk ambil penumpang. Kalau jarak jauh, dia rugi, waktunya terbuang banyak,” ujar Samidjo.
Terhadap keluhan layanan taksi bandara di Bandara Internasional Ahmad Yani, Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Kota Semarang Ngargono mengatakan sudah lama keluhan atas layanan taksi bandara di Semarang yang menggunakan pola zona tarif. Taksi bandara selama ini menolak menjadikan argometer sebagai ukuran penetapan tarif bagi tujuan penumpang. Padahal, hal itu lazim digunakan untuk layanan taksi di bandara di belahan bumi mana pun.
Pola zona tarif artinya pihak pengelola taksi bandara telah menetapkan jarak tujuan penumpang dari bandara dengan sistem zonasi. Bandara di Semarang barat itu terbagi berdasarkan zonasi, misalnya untuk tarif dari bandara ke Gunungpati yang berjarak kurang dari 20 kilometer, penumpang langsung dimintai Rp 165.000. Tarif ini terlalu mahal dibandingkan apabila taksi itu menggunakan argometer, dengan jarak yang sama tarifnya hanya berkisar Rp 70.000.
Praktik tarif zona ini juga melanggar aturan. Masalahnya, dengan pengenaan tarif zona, layanan taksi itu hanya satu arah, satu destinasi saja. Sekiranya penumpang hendak mampir ke toko oleh-oleh atau ke rumah saudara lebih dulu, tidak bisa karena tarif destinasi sudah dikunci. Taksi lain yang berbasis argometer tentu bisa multidestinasi asal biaya disesuaikan dengan tarif akhir.
Ngargono mengatakan, pihaknya sudah lama menyampaikan keluhan penumpang, antara lain dikenai tarif mencekik, ke pihak PT Angkasa Pura I dan pengelola Bandara Ahmad Yani, Semarang. Namun, hingga saat ini, pola penetapan tarif taksi bandara itu tidak berubah.
”Celakanya, praktik pelanggaran tarif zonasi itu ternyata masih diadopsi oleh pengelola bandara meski sudah pindah ke bandara baru. Tidak ada perubahan, tentu sangat mengecewakan. Bandara sudah baru, konsepnya sudah bagus, yakni bandara terapung, diklaim ramah lingkungan, ternyata layanan transportasi sangat monopoli,” tuturnya.
Pengamat transportasi Fakultas Teknik Unika Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, mengemukakan, pihak manajemen bandara baru masih melarang layanan taksi berargometer beroperasi di dalam bandara. Mereka menguasai dan mempertahankan taksi bandara yang biayanya berdasarkan zona, tidak sesuai dengan aturan resmi.
Menurut dia, kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak penumpang telantar, sementara layanan taksi daring atau taksi berargometer tidak diizinkan masuk bandara.
”Banyak penumpang telantar mengingat jumlah taksi bandara kurang dari 150 unit, sementara jumlah penumpang bisa mencapai 4.000 orang, bahkan saat arus mudik seperti ini bisa sampai sekitar 15.000 orang. Kondisi ini harus dibenahi supaya layanan taksi untuk penumpang menjadi prima,” lanjutnya.
Djoko menyatakan, pihak manajemen seharusnya tidak membiarkan praktik illegal ini berlangsung di bandara baru. Kondisi ini juga harus menjadi perhatian Gubernur Jawa Tengah. Pasalnya, bukan soal terbatasnya taksi yang kerap menjadi keluhan dan membuat penumpang telantar, melainkan praktik tarif zona ilegal itulah yang menyebabkan taksi resmi lain, terutama yang menggunakan argometer, tidak bisa masuk bandara.
Praktik tarif mahal sesuai zona yang ditetapkan itu jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha dan Antimonopoli.
Beberapa sopir taksi daring dan taksi resmi nonbandara menyebutkan, mereka harus kucing-kucingan dengan petugas di bandara jika hendak mengantar penumpang ke bandara. Mereka juga tidak boleh mengambil penumpang saat hendak keluar dari bandara meskipun penumpang itu saudaranya sendiri.
”Kalau kami ketahuan menaikkan penumpang, hukumnya tidak main-main. Di samping penumpang dipaksa turun dari taksi saya, taksi juga disandera dan saya dihukum membersihkan toilet bandara dengan dikawal petugas keamanan,” demikian pengakuan sopir taksi yang pernah dihukum gara-gara mengambil penumpang yang mau ke Banyumanik, Semarang.
Kepala Hubungan Masyarakat Bandara Ahmad Yani, Semarang, Dian Permata Sari, ketika diminta konfirmasinya, hanya menjelaskan singkat bahwa saat ini proses layanan taksi masih menggunakan sistem pola lama, yakni tarif zonasi. Apabila ada perubahan, pihaknya akan menyampaikan secara resmi.