Menunggu Kiprah Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Memajukan NTT
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
Peraturan Presiden Nomor 32/2018 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, semakin melambungkan NTT di bidang pembangunan pariwisata. Labuan Bajo menjadi lokomotif pembangunan pariwisata NTT yang akan datang. Jumlah wisatawan ke NTT saat ini mencapai 1,5 juta jiwa, 800.000 wisatawan di antaranya melalui Labuan Bajo.
Komodo (Varanus komodoensis) di Pulau Komodo dan pulau sekitarnya di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, sejak 16 Mei 2012 menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Saat itu pula nama komodo mulai mendunia. Berbagai media massa, cetak, elektronik, media online, dan media sosial melaporkan nominasi komodo sebagai obyek wisata dunia.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Marius Jelamu di Kupang, Jumat (7/6), mengatakan, pembentukan Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo (BOPKLB) melalui Perpres Nomor 32/2018. Badan ini diresmikan pada April dengan Ketua Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wakil Ketua Gubernur NTT, Pelaksana Lapangan Bupati Manggarai Barat, dan beberapa bidang lain.
Saat ini belum ada kantor khusus untuk badan ini. Namun, ke depan akan dibangun kantor khusus untuk BOPKLB sehingga kerja sama dan koordinasi lebih intensif dan efektif. Dengan kondisi yang ada saat ini, kerja sama pembangunan Labuan Bajo tetap jalan dalam rangka meningkatkan pariwisata Labuan Bajo.
Di Indonesia hanya ada tiga badan otorita pariwisata, yakni Danau Toba, Candi Borobudur, dan Labuan Bajo. Ketiganya ditetapkan melalui perpres, April 2018. Presiden ingin agar tiga daerah ini dikembangkan secara lebih spektakuler di bidang kepariwisataan dibandingkan daerah pariwisata lain.
Kehadiran BOPKLB ini semakin memperkuat pariwisata di NTT. Sektor pariwisata semakin digenjot, ekonomi daerah ini pun bakal meningkat. Kemiskinan dan keterbelakangan, yang menempatkan NTT masuk urutan ketiga dari bawah pun, bakal berubah dalam kurun waktu 5-10 tahun.
Ia mengatakan, komodo menjadi terkenal setelah masuk nominasi tujuh keajaiban dunia. Keunggulan ini kemudian digemakan secara nasional dengan festival Sail Komodo 2013 yang diikuti sekitar 15.000 peserta dari dalam dan luar negeri. Sasaran Sail Komodo saat itu ialah mempromosikan komodo ke seluruh wilayah Indonesia, terutama ke luar negeri, melalui berbagai media.
”Hasilnya langsung diperoleh. Wisatawan sebelumnya masuk melalui Labuan Bajo hanya 50.000 orang, tahun 2014 melonjak naik menjadi 100.000 orang. Jumlah wisatawan pun terus naik, sampai 2017 mencapai 800.000 orang melalui Labuan Bajo, dari total NTT 1,5 juta orang. Sebanyak 700.000 wisatawan ke NTT melalui 21 kabupaten/kota lain di NTT,” kata Jelamu.
Sumbangan bagi PDRB melalui sektor pariwisata pun mencapai Rp 2 triliun dari Rp 22 triliun pada 2017. Jumlah Rp 2 triliun ini termasuk sangat besar karena sampai saat ini belum ada sektor pembangunan di NTT yang mencapai angka itu. Pariwisata menjadi lokomotif pembangunan di NTT karena menggenjot sektor lain, seperti hotel, akomodasi, tenaga kerja lokal, makan minum, peternakan, dan industri rumah tangga.
Karena itu, masyarakat NTT tidak boleh menutup diri terhadap kehadiran orang-orang dari luar, terutama pengusaha dan wisatawan. Pengusaha datang ke NTT menanam modal di bidang pariwisata sehingga perlu didukung. Mereka jangan dipersulit karena datang membawa uang untuk orang NTT meskipun pengusaha bersangkutan mendapatkan keuntungan.
Jelamu menyadari, saat ini sarana parasana pendukung pariwisata masih kurang. Jalan-jalan kabupaten dan provinsi yang menghubungkan obyek-obyek wisata belum dibangun, pun dengan air bersih dan MCK di setiap titik destinasi, penginapan di setiap titik destinasi, dan jaringan telekomunikasi.
”Sejumlah daerah di NTT, termasuk pusat destinasi unggulan, belum dibangun jaringan telepon seluler, padahal pengadaan jaringan ini tidak sulit,” katanya.
Mengenai sumber daya manusia, ia mengatakan, kehadiran sekolah internasional perhotelan di Mananga Aba, Desa Karuni Kecamatan Loura, Kabupaten Sumba Barat Daya, sangat menjanjikan. Para lulusan dari sekolah itu langsung diterima di hotel-hotel, restoran, dan biro tur dan travel.
Mereka bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, Korea, dan Jepang dengan sangat fasih. Tahun ini 60 lulusan langsung diterima di sejumlah hotel di Sumba, terutama di Hotel Nihi Watu di Sumba Barat.
BOPKLB akan merekrut lulusan dari sekolah perhotelan ini untuk ditempatkan di sejumlah titik destinasi di Labuan Bajo. Lulusan dari sekolah ini tidak perlu diajari lagi tentang cara menerima tamu, menata kamar hotel, menjadi chef yang baik, dan seterusnya. Tenaga mereka siap pakai di semua bidang kepariwisataan.
Melalui Labuan Bajo akan dipromosikan Flores secara keseluruhan, Sumba, Timor, Rote Ndao, Alor, dan Sabu Raijua. Saat ini Pulau Sumba dan Rote Ndao semakin ramai dikunjungi wisatawan setelah Flores.
”Wisatawan tidak puas kalau hanya sampai di Labuan Bajo kemudian pulang. Mereka akan ke Wae Rebo di Manggarai, kampung adat Bena di Ngada, Danau Kelimutu di Ende, taman laut di Teluk Maumere, Semana Santa di Larantuka, dan tradisi menangkap paus di Lamalera- Lembata,” katanya.
Mendorong wisatawan ke Sumba, Pemprov NTT menggelar festival 1001 Kuda Sumba untuk mempertahankan tradisi adat pasola Sumba, dan festival tenun ikat Sumba yang digelar secara rutin. Kini, wisatawan cukup banyak mulai melirik Sumba.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Wilayah NTT Fredy Ongkosaputra mengatakan, wisata bahari belum menjadi gagasan yang kuat bagi pemprov, pemkab, dan pemkot di NTT. NTT sebagai daerah kepulauan perlu menggagas wisata bahari. Pemprov NTT setiap saat menyebut dengan bangga, ”NTT memiliki 1.192 pulau besar dan kecil”, tetapi tidak punya gagasan mengelola wisata bahari.
Menurut Fredy, NTT memiliki budaya yang sangat unik terutama di Flores dan Sumba. Kekayaan budaya ini pun belum dikelola menjadi event-event wisata yang menarik wisatawan. Padahal setiap event budaya punya keunikan sendiri.
”Hampir semua suku di NTT memiliki event budaya yang digelar secara rutin setiap tahun. Tetapi pemprov dan pemkab belum melakukan pendataan mengenai kalender kegiatan event-event itu untuk dipromosikan kepada wisatawan. Ini rugi,” kata Fredy.