JAKARTA, KOMPAS— Pemberian rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi terkait malaadministrasi penyetaraan ijazah S-3 Rektor Universitas Negeri Manado Julyeta Paulina Amelia Runtuwene ditunda. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir tidak hadir pada acara penyerahan rekomendasi, Kamis (7/6/2018).
”Rekomedasi adalah keputusan tertinggi yang bisa diberikan oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Penerima rekomendasi harus kepala lembaga terlapor, dalam hal ini Menristek dan Dikti,” kata Komisioner ORI Ninik Rahayu di Jakarta, Kamis.
ORI memberi waktu hingga Jumat ini kepada Nasir untuk datang dan menerima rekomendasi. Selain Nasir, pihak terlapor lainnya adalah Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Ali Ghufron Mukti dan Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Intan Ahmad. Ketiganya juga berhalangan hadir.
Menurut Ninik, informasi awal yang diterima ORI adalah Nasir tengah mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sebuah acara. Akan tetapi, berdasarkan informasi terakhir yang diterima dari pihak kementerian, Menteri Nasir malah menghadiri acara bincang-bincang di sebuah stasiun televisi swasta.
Ninik mempertanyakan komitmen jajaran Kemristek dan Dikti dalam menangani pelanggaran administrasi dan pelanggaran akademik di perguruan tinggi.
Dua malaadministrasi
Laporan kepada ORI tersebut adalah mengenai malaadministrasi dalam penyetaraan ijazah S-3 dan pengangkatan guru besar Rektor Unima Julyeta Paulina Amelia Runtuwene. Masalah ini sudah dilaporkan kepada ORI sejak pertengahan 2016. Pelapor adalah Stanly Ering, dosen teknik elektro Unima.
ORI menemukan hal mencurigakan pada penyetaraan ijazah S-3 Paulina yang didapat dari Universitas Marne la Valle di Perancis. Tercatat ijazah disetarakan di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional pada Oktober 2010.
”Dalam proses penyetaraan, Julyeta tidak memenuhi persyaratan administrasi, tetapi ijazahnya tetap disetarakan,” kata Stanly. Persyaratan yang tidak dipenuhi itu antara lain disertasi, silabus perkuliahan, transkrip nilai, dan surat pengesahan ijazah dari Kedutaan Besar Indonesia di Paris.
ORI sudah meminta pihak terlapor dan Julyeta menyerahkan bukti-bukti pendukung penyetaraan ijazah. Hingga kini dokumen-dokumen tersebut belum diserahkan kepada ORI.
Selain itu, ORI juga mempermasalahkan pengangkatan jabatan fungsional Julyeta menjadi Guru Besar Teknologi Informasi dan Komunikasi Unima. Surat keterangan pengangkatan guru besar dikeluarkan pada Agustus 2010, sementara ijazah S-3 Julyeta baru disetarakan pada Oktober 2010.
Lebih janggal lagi, berdasarkan penelusuran di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, tercatat pendidikan tertinggi yang diraih Julyeta adalah S-2, bukan S-3. Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38/ KEP/ MK.WASPAN/8/1999 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya yang menjadi landasan aturan saat itu, pendidikan minimal guru besar adalah S-3.
Aturan yang berlaku pada tahun 2010 mensyaratkan dosen harus memiliki gelar doktor minimal selama dua tahun dan memiliki makalah yang diterbitkan di jurnal internasional sebelum boleh diangkat jadi guru besar. (DNE)