Paham radikalisme di kampus tak hanya cukup ditangkal dengan pemahaman bela negara dan wawasan kebangsaan. Perlu dikembangkan pola pikir kritis.
JAKARTA, KOMPAS— Perguruan tinggi perlu memperkuat strategi untuk melawan radikalisme. Mahasiswa tak hanya cukup dibekali nilai dasar kebangsaan dan Pancasila, tetapi juga perlu digiatkan pemikiran kritis untuk membentengi diri dari pengaruh radikalisme.
Pengamat pendidikan, Doni Koesoema, menilai, kemampuan berpikir kritis lebih dibutuhkan di level mahasiswa. ”Kritis berarti mampu menyeleksi informasi yang diterima, memperkaya informasi dari berbagai sudut pandang, dan kemudian bisa menarik kesimpulan berdasarkan data yang tepat,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Menurut dia, dibutuhkan lebih banyak proyek yang ditugaskan ke mahasiswa dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.
Yulius Brahmantyo (21), mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengaku, mata kuliah terkait Pancasila yang ia terima masih sebatas teori. ”Pancasila yang diajarkan tidak dimaknai secara mendalam. Seharusnya materi yang diberikan disesuaikan dengan pola pikir yang dibutuhkan mahasiswa. Misalnya, dari paham filsafat Pancasilanya, apa substansi dan dasar dari nilai Pancasila yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita,” katanya.
Hal serupa diungkapkan Anggita Risang (20), mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara. ”Lebih baik di kelas ada workshop yang menarik soal persatuan. Jadi, pemahaman tentang Pancasila bisa disampaikan secara menarik dan relevan,” ujarnya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta Suyatno menyampaikan terobosan di kampusnya. Mahasiswa baru diminta berbaur dengan masyarakat dan komunitas umum. Selanjutnya mahasiswa ditugasi melihat permasalahan yang ada di sekitar lalu memberikan solusi.
Kritik ke UGM
Sementara itu, dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Bagas Pujilaksono, dalam surat terbuka mengkritik pimpinan UGM karena dinilai tidak serius mengatasi penyebaran paham radikal di kampus. Surat itu menyebar melalui aplikasi percakapan Whatsapp. ” Ini masalah serius karena sudah merusak kehidupan akademik di kampus,” kata Bagas saat dihubungi Kompas, Selasa, di Yogyakarta.
Dia mengingatkan sejarah dan tujuan berdirinya UGM sebagai universitas kebangsaan sehingga sivitas akademika harus memiliki semangat kebangsaan dan mengamalkan nilainilai Pancasila. Paham keagamaan radikal yang tidak sesuai Pancasila tak boleh dibiarkan berkembang di kampus itu.
Bagas mengusulkan pemberian sanksi kepada dosen atau karyawan yang terbukti menyebarkan paham keagamaan radikal yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Pendidikan Pancasila dan budi pekerti juga perlu diperkuat.
Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM Iva Ariani menyatakan, UGM menghormati kebebasan berpendapat. Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan UGM Djagal Wiseso menyatakan, UGM berkomitmen mengembangkan iklim akademik yang sehat guna mencegah penyebaran radikalisme.
Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Selasa, mengingatkan, lembaga pendidikan harus mengajarkan pemahaman agama yang benar. Penting pula menanamkan pemahaman mengenai bela negara kepada para mahasiswa.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, di Universitas Lampung, kemarin, berharap sivitas akademika berperan mengawasi kelompok yang terindikasi menyebarkan paham radikal di lingkungannya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengingatkan agar mimbar akademik tak disalahgunakan untuk menyebarkan paham radikalisme. Pemerintah menyiapkan sanksi bagi siapa saja yang terbukti memanfaatkan mimbar kampus untuk kepentingan itu.