Kembalikan Pengelolaan Guru ke Pemerintah Pusat
Pengelolaan guru PNS oleh pemerintah pusat dinilai akan dapat mengatasi masalah distribusi dan kualitas guru yang tidak merata di banyak daerah.
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan kewenangan guru di tingkat pemerintah daerah diwacanakan untuk kembali dikelola pemerintah pusat. Pengelolaan guru oleh pemerintah pusat diyakini akan membuat kontrol terhadap peningkatan kualitas guru secara nasional menjadi lebih baik.
Upaya untuk memulai pengelolaan kewenangan guru di tingkat pusat disarankan berfokus pada guru aparatur sipil negara. Para guru milik pemerintah ini seharusnya dapat dipindahkan antarkota/kabupaten maupun provinsi oleh pemerintah pusat untuk pemerataan jumlah dan kualitas guru yang masih menjadi masalah di banyak daerah.
Hal ini terungkap di acara diskusi berjudul Melihat Peluang Tata Kelola Guru di bawah Pemerintah Pusat yang digelar Forum Wartawan Pendidikan dan Biro Komunikasi Layanan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, Senin (28/5/2018). Tampil sebagai pembicara anggota Komisi X DPR Ferdiansyah, pengamat pendidikan Indra Charismiadji, dan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) M Usman Tonda.
Ferdiansyah mengatakan, tata kelola guru oleh pemerintah pusat bisa saja dilakukan. "Pendekatannya bukan pada bidang pendidikan. Sebab, pendidikan kan memang sudah disentralisasikan. Pemerintah pakai saja dengan pendekatan aparatur sipil negara," ujar anggota DPP dari Fraksi Partai Golkar ini.
Menurut Ferdiansyah, para guru pegawai negeri sipil bisa diikat dengan kewajiban bersedia dipindahkan ke seluruh wilayah Indonesia. "Dengan kondisi distribusi guru yang tidak merata, guru PNS yang berlebih di suatu daerah, bisa dipindah ke daerah lain," kata Ferdiansyah.
Persoalan guru yang utama, kata Ferdiansyah, distribusi guru yang tidak merata. Namun, kondisi ini sulit diatasi karena kewenangan guru ada di pemerintah daerah yakni SD dan SMP di bawah pemerintah kota/kabupaten, sedangkan guru SMA/SMK di bawah pemerintah provinsi.
Persoalan guru yang utama, distribusi guru yang tidak merata. Namun, kondisi ini sulit diatasi karena kewenangan guru ada di pemerintah daerah.
"Dengan fokus pada guru PNS, pemerintah pusat, tetap bisa mengelola guru untuk bisa mendistribusikan guru secara merata," ujar Ferdiansyah.
Sementara itu, Usman mengatakan PGRI mendukung agar pengelolaan kewenangan guru berada di pusat. Wacana tersebut sudah digulirkan sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Dengan menjauhkan guru dari jarak yang dekat dengan pemerintah pusat, politisasi guru oleh pemerintah daerah bisa dihindari. Komitmen pada peningkatan kualitas di daerah bergantung pada komitmen pimpinan derah," kata Usman.
Pemda tidak serius
Usman mengatakan, PGRI menilai pemerintah daerah tidak serius mengurus guru dan pendidikan. Hal ini terlihat pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Alokasi dana 20 persen untuk pendidikan, ternyata diambil dari dana alokasi umum (DAU) untuk guru.
"Belum lagi kalau sedang pemilihan kepala daerah (pilkada), guru \'diseret\' ke sana kemari. Jika bersikap netral dimusuhi. Jika berpihak dan ternyata calon pemimpin daerah kalah, guru bisa dimusuhi dan dimutasi tanpa alasan jelas," ujar Usman.
Selain itu, lanjut Usman, akibat lemahnya koordinasi membuat kebijakan pendidikan tidak sampai ke tingkat lokal. Ini berdampak tak hanya pada guru, tetapi kualitas pendidikan di daerah tersebut.
Ferdiansyah mengakui jika kebijakan guru baru sebatas mnis di bibir atau lip service. Padahal guru mengemban fungsi pertahanan, selain mengajar. "Di era digital saat ini, guru memainkan peran sebagai pertahanan agar siswa tidak disusupi faham radikal," ujar Ferdiansyah.
Menurut Indra, pengelolaan guru masih setengah-setengah. Guru di bawah Kemdikbud kewenangan pengelolaannya di bawah pemerintah daerah. Adapun guru di bawah Kementerian Agama di bawah pemerintah pusat (Kemenag).
"Kita ada contoh guru yang dikelola pemerintah pusat, seperti Kemenag. Apakah lebih baik dari guru yang dikelola daerah?Semestinya pemerintah derah tetap melihat bahwa anak didik yang dilayani oleh guru merupakan anak-anak di daerahnya. Jadi, dukungan pada guru memang harus optimal," kata Indra.
Indra berharap pemerintah memanfaatkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) untuk melihat kebutuhan guru yang sebenarnya. Lewat Dapodik tersebut bisa diketahui secara pasti jumlah siswa per sekolah.
"Jika kurang, tarik guru ASN untuk mengajar di sekolah atau daerah yang kurang guru. Dengan demikian, guru terdistribusi dengan baik," kata Indra.
Beberapa waktu lalu ketika memberikan arahan kepada Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur melontarkan wacana penarikan kewenangan guru dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Alasannya agar urusan guru mudah diatur dan ditata.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyambut baik wacana perpindahan kewenangan guru ke pemerintah pusat. Menurut Muhadjir, jika guru berada di bawah kewenangan pemerintah pusat, pengelolaan guru juga makin baik, sehingga bisa dilakukan pendistribusian guru yang lebih tertata sesuai prioritas masing-masing daerah.
Berdasarkan Dapodik Juni 2017, jumlah guru sekitar tiga juta orang (tidak termasuk guru agama). Dari jumlah tersebut, guru honorer sebanyak 719.354 orang atau berkisar 23,8 persen. Adapun guru PNS berkisar 1,4 juta orang atau sekitar 49 persen.
Kekurangan guru PNS di sekolah negeri sebanyak 988.133 orang. Adapun jumlah guru pensiun sebanyak 295.779 orang.