Perekonomian Sekarat
28 Mei 1998
”Perekonomian Sekarat”. Demikian judul berita utama Kompas, Kamis, 28 Mei 1998. Term ”perekonomian sekarat” tampaknya sangat tepat menggambarkan situasi saat itu. Perekonomian Indonesia ketika itu bisa dikatakan tengah berada pada puncak kondisi terburuk, sebagai dampak krisis finansial Asia 1997, yang kemudian meluas ke negara-negara berkembang lain di berbagai belahan dunia.
Dalam catatan pemerintah dan Bank Indonesia, krisis finansial 1997 telah mengguncang sendi-sendi ekonomi dan politik nasional.
Nilai tukar rupiah terus merosot tajam. Untuk membendung tekanan dan spekulasi terhadap rupiah, pemerintah melakukan pengetatan moneter lewat kenaikan tajam suku bunga serta pengalihan dana badan usaha milik negara (BUMN) atau yayasan–dari yang semula disimpan di bank-bank menjadi disimpan di BI dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pemerintah juga dipaksa melakukan pengetatan anggaran pemerintah.
Kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang melambung tinggi dan perbankan mengalami kesulitan likuiditas luar biasa. Masyarakat yang dilanda kepanikan dan krisis kepercayaan, kemudian beramai-ramai menarik dana simpanannya dari bank. Sistem pembayaran terancam macet akibat krisis likuiditas yang melanda seluruh sistem perbankan.
Kondisi ini memaksa BI sebagai lender of last resort melakukan injeksi modal segar untuk membuat bank tetap solvent sekaligus mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional.
Demonstrasi besar-besaran yang disertai perusakan berbagai fasilitas umum juga melumpuhkan sentra-sentra bisnis dan perdagangan. Pasokan barang menurun tajam karena kegiatan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu.
Baca juga: Jejak-jejak ”Hantu” Kerusuhan Mei
Akibatnya, harga-harga barang melonjak, perusahaan-perusahaan gulung tikar, angka pengangguran meningkat tajam dan daya beli masyarakat kian terpuruk. Perekonomian memburuk dengan cepat.
Masyarakat yang dilanda kepanikan dan krisis kepercayaan kemudian beramai-ramai menarik dana simpanannya dari bank.
Memasuki 1998, keadaan ekonomi nasional semakin memburuk. Nilai tukar rupiah terjun bebas hingga Rp 16.000 per dollar AS atau terdepresiasi hingga 600 persen dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, dari Rp 2.350 menjadi Rp 16.000 per dollar AS. Sementara itu, suku bunga antarbank sempat mencapai 60 persen per tahun.
Berbagai kebijakan yang ditempuh BI–termasuk melalui pelebaran rentang batas intervensi (band) oleh BI terhadap nilai tukar rupiah, pengetatan likuiditas perbankan, dan moral situasi kepada para pelaku pasar–gagal membendung laju penurunan rupiah.
Untuk menyelamatkan cadangan devisa, pemerintah pada 14 Agustus 1997 terpaksa harus melepas rentang batas intervensi dan memberlakukan sistem nilai tukar mengambang dengan membiarkan nilai tukar rupiah ditentukan oleh pasar.
Dampak ke sektor riil
Depresiasi tajam rupiah serta melonjaknya suku bunga pinjaman dan modal usaha juga mengakibatkan tekanan berat pada sebagian besar sektor riil. Sektor dunia usaha yang babak belur terutama adalah yang struktur produksinya sangat bergantung pada bahan baku impor dan pembiayaan non-rupiah, mengandalkan pada segmen pasar yang terbatas dan cenderung pasar domestik, serta memiliki manajemen yang inefisien.
Sektor-sektor penyumbang utama produk domestik bruto (PDB), seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan, dan keuangan, semuanya mengalami kontraksi.
Baca juga: Glodok, Dahulu dan Sekarang
Situasi kritis perekonomian dalam negeri ini memaksa pemerintah mengibarkan bendera putih dan meminta dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober 1998 dalam rangka memulihkan ekonomi dari krisis.
Sektor-sektor penyumbang utama produk domestik bruto, seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan, dan keuangan, semuanya mengalami kontraksi.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Bambang Wiyogo, dikutip Kompas, Kamis (28/5/19987), mengemukakan, dunia usaha ibarat ”mati suri”. Bahan baku yang diperlukan untuk proses bisnis terhenti. Jaringan distribusi macet total karena berbagai kekhawatiran tentang keamanannya di jalan.
Kucuran dana dari sistem perbankan kalau tidak berhenti, dibumbui suku bunga ekstra tinggi. Tanpa ada langkah segera penyelamatan, dunia usaha di ambang kebangkrutan massal.
”Dunia usaha membutuhkan kepastian. Kita mengharapkan agar anggota Kabinet Reformasi Pembangunan bisa meyakinkan IMF untuk segera mengucurkan dana bantuan karena itulah harapan agar perekonomian bisa bergulir kembali,” ujar pengusaha Nirwan Dermawan Bakrie seperti beritakan Kompas, Kamis (28/5/1998). Kucuran dana segera dari IMF itu pula yang diharapkan bisa menggerakkan kembali dunia usaha.
Pentingnya upaya pemulihan segera kondisi ekonomi disadari betul oleh pemerintahan Presiden BJ Habibie yang mengambil alih kekuasaan dari Soeharto. Habibie menginstruksikan untuk segera memulihkan kawasan-kawasan serta sarana dan prasarana yang rusak dan terbakar pada kerusuhan di Jakarta pada medio Mei 1998. Presiden juga memerintahkan langkah-langkah untuk membantu mereka yang kehilangan pekerjaan.
Penegasan Habibie itu merupakan salah satu hasil rapat khusus kabinet di Bina Graha untuk menindaklanjuti kerusuhan, yang juga dihadiri oleh Mendagri Syarwan Hamid, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menkeu Bambang Subianto, Mensos Justika Baharsjah, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, dan Menteri Koperasi Pembinaan Pengusaha Kecil (Menkop PPK) Adi Sasono.
Adi Sasono menjelaskan, upaya pemulihan itu perlu dilakukan sekaligus untuk membangun citra bahwa bangsa Indonesia bisa mengatasi masalah secara efektif. ”Sebab, kalau gedung itu dibiarkan bertahun-tahun hangus, akan menimbulkan kesan seolah-olah kita tidak efektif menangani masalah yang timbul akibat musibah yang lalu,” katanya.
Jusuf Kalla, sebagai pengusaha, saat itu juga mengingatkan, meskipun reformasi politik telah membuahkan hasil dengan lengsernya Soeharto, kondisi perekonomian nasional masih genting dan akan mencapai puncaknya tiga bulan kemudian.
Baca juga: Pemilu Secepatnya Jadi Solusi atas Krisis
Rusaknya keseimbangan makro
Melemahnya nilai tukar rupiah yang berkepanjangan juga mengakibatkan beban pembayaran utang luar negeri meningkat. Sektor swasta kesulitan mendapatkan persetujuan perpanjangan (roll over) utang yang jatuh tempo dan terjadilah krisis masif utang swasta yang memaksa pemerintah turun tangan dalam negosiasi dan penyelesaian dengan kalangan kreditor.
Secara keseluruhan, parahnya dampak krisis termanifestasi pada kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 13,7 persen pada 1998. Jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, menurut Bank Dunia, juga melonjak menjadi sekitar 45 juta atau 21 persen dari total penduduk.
Sri Mulyani Indrawati, sebagai ekonom Universitas Indonesia, mengungkapkan, masalah besar yang dihadapi perekonomian Indonesia ketika itu adalah ialah rusaknya keseimbangan perekonomian makro, baik internal maupun eksternal.
Singkatnya, perekonomian makro jauh dari kondisi stabil. Hal itu tecermin dari angka dan perkembangan nilai tukar mata uang rupiah, meroketnya inflasi, serta pertumbuhan ekonomi negatif yang memunculkan pengangguran tinggi. Padahal, tanpa adanya stabilitas perekonomian, mustahil terjadi pemulihan ekonomi.
Parahnya dampak krisis termanifestasi pada kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 13,7 persen pada 1998. Jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan melonjak menjadi sekitar 45 juta atau 21 persen dari total penduduk.
Lebih jauh Sri Mulyani mengatakan, upaya stabilisasi ekonomi makro bisa dilakukan melalui instrumen-instrumen moneter dan fiskal. Dari sisi moneter meliputi, antara lain, bagaimana membantu sektor perbankan lewat injeksi likuiditas ke bank-bank yang sakit tanpa harus menyebabkan ekspansi moneter secara terus-menerus. Sementara dari sisi fiskal, bagaimana menekan defisit anggaran pemerintah dengan menjaga defisit tetap terkendali.
Langkah lain yang bisa ditempuh adalah melalui kebijakan sisi penawaran (supply-side policies). Ini berkaitan dengan pengadaan bahan baku dan distribusi yang rusak. Namun, cadangan devisa pemerintah yang sudah banyak terkuras membuat ruang gerak pemerintah juga sangat terbatas.
Kendati demikian, upaya stabilitas ekonomi hanya bisa terjadi jika ada stabilitas politik. Pengamat ekonomi Pande Radja Silalahi berpendapat, dalam situasi seperti saat itu, tidak banyak yang bisa ditempuh pemerintah di bidang ekonomi sebelum masalah politik bisa diselesaikan. Meskipun ada keinginan untuk berbuat sesuatu, pilihan yang ada sangat terbatas. Alasannya, antara lain, karena kepercayaan asing belum pulih.
Pandangan sama diutarakan pengusaha Sofjan Wanandi. Menurut dia, sulit berbicara tentang rehabilitasi ekonomi manakala tidak ada kestabilan politik. Karena itu, pemerintah mesti bergegas menuntaskan masalah ini jika masih memiliki keinginan kuat menyehatkan ekonomi yang sedang sakit parah. Yang diperlukan adalah jaminan konkret pemerintah bahwa semua investor bisa leluasa berbisnis sesuai hukum. Investor tidak dijarah, tidak diperas, tidak dipungli, tidak mendapat perbedaan perlakuan, dan tidak dihina karena berasal dari etnis tertentu.
Krisis finansial Asia 1997 yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi negara berkembang di berbagai belahan dunia pada 1998 telah 20 tahun berlalu. Banyak pelajaran penting yang bisa dipetik untuk mencegah terulangnya krisis serupa di kemudian hari.
Keberhasilan memetik pelajaran penting dari krisis itu membuat fondasi dan fundamen ekonomi makro negara-negara yang dilanda krisis finansial Asia, termasuk Indonesia, menjadi lebih baik dan kuat, tetapi kegagalan memetik beberapa pelajaran lainnya membuatnya kita tetap dalam posisi rentan untuk terjerumus atau terimbas pada krisis serupa.