Prabowo Subianto Dicopot
23 Mei 1998
Hari-hari kemelut panjang pada 1998 dipenuhi desas-desus dan informasi yang serba simpang siur. Setelah berhari-hari dilanda keraguan apakah Soeharto benar-benar turun dari kursi presiden yang didudukinya selama 32 tahun atau tidak, akhirnya terjawab saat Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998.
Kekuasaan pun berpindah kepada Presiden BJ Habibie yang sebelumnya wakil presiden. Suksesi presiden ke tangan Habibie terjadi ketika situasi politik kacau balau sejak krisis ekonomi setahun sebelumnya dan kerusuhan massal pada pertengahan Mei. Problem yang dihadapi Presiden Habibie begitu besar dan sangat sulit. Barangkali butuh ”keajaiban” untuk mampu membawa negeri yang bangsanya tengah dibakar amarah ini keluar dari kemelut.
Baca juga: Terungkapnya Penculikan Aktivis
Baca juga: Saatnya Keluar dari Bayang-bayang Soeharto
Berpacu dengan waktu, Habibie segera melakukan konsolidasi dan melakukan tindakan nyata untuk memulihkan keadaan. Presiden Habibie berkonsentrasi membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan. Tentu bukan tanggung jawab yang kecil dan normal mengingat situasi negara yang penuh kemelut dan desas-desus yang mengerikan. Semuanya serba cepat. Karena terlalu banyak yang harus ditangani, sampai-sampai Presiden Habibie terlambat satu jam tiba di Istana Merdeka, sehari setelah ia dilantik. Ketika sampai di depan gerbang Istana, sudah menunggu Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam)/Panglima ABRI (Pangab) Jenderal TNI Wiranto, yang meminta untuk bertemu.
Prabowo juga diduga mengetahui tentang kerusuhan yang melanda ibu kota Jakarta.
Saking ketiadaan waktu, Habibie meminta Wiranto agar mengikutinya ke ruang kerja presiden. Di ruang kerja presiden itulah, Pangab melaporkan situasi terkini. Pangab melaporkan bahwa ada pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dari luar Jakarta yang bergerak menuju Ibu Kota. Dilaporkan juga ada konsentrasi pasukan yang ”mengepung” di sekitar kediaman Presiden Habibie di Kuningan dan Istana Merdeka. Berdasarkan laporan itu Habibie pun berkesimpulan bahwa Pangkostrad bertindak tanpa sepengetahuan Pangab Wiranto.
Kala itu Pangkostrad adalah Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto. Nama Prabowo memang begitu santer terdengar tahun-tahun itu. Dia dikaitkan berada di balik banyak kasus yang membuat situasi panas, misalnya kasus penculikan dan orang hilang yang dilakukan oleh Tim Mawar Kopassus. Prabowo menjadi komandan jenderal (danjen) pasukan baret merah Kopassus sejak 1 Desember 1995 sampai 20 Maret 1998 sebelum menjadi Pangkostrad. Prabowo juga diduga mengetahui tentang kerusuhan yang melanda Ibu Kota. Sebab pada 14 Mei—saat hari-hari Jakarta dilanda kerusuhan—ada pertemuan di Markas Kostrad. Waktu itu semua akses ke sekitaran Kostrad sulit ditembus. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan juga merekomendasikan agar pertemuan itu diusut untuk mengungkap kerusuhan yang melanda Jakarta pada 1998.
Baca juga: Amuk Massa yang ”Menyebar” di Jabotabek
Baca juga: Jejak-jejak ”Hantu” Kerusuhan Mei
Dengan kondisi terkini dan adanya pasukan yang bergerak ke Jakarta, Presiden Habibie pun langsung memerintahkan Pangab Wiranto, ”Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing” (Habibie, Detik-detik yang Menentukan, 2006). Habibie bahkan mengulangi frase ”sebelum matahari terbenam” ketika Pangab Wiranto mengulangi pertanyaan untuk penegasan proses pergantian ”sebelum matahari terbenam” itu.
Penggantian itu tentu kabar amat buruk buat Prabowo.... Itu artinya membutuhkan keberanian untuk mencopot Prabowo.
Penggantian itu tentu kabar amat buruk buat Prabowo. Nama Prabowo memang berkibar. Ia adalah the rising star di militer, bahkan sejak perwira menengah. Ia adalah putra begawan ekonomi Profesor Sumitro Djojohadikusumo. Apalagi sebagai menantu Presiden Soeharto. Dengan jejaring kekuasaan yang begitu kuat dan temperamennya yang dikenal keras, Prabowo memang ”ditakuti”. Itu artinya membutuhkan keberanian untuk mencopot Prabowo. Menjelang proses penggantian itu, Prabowo meminta waktu untuk bertemu Presiden Habibie. Kata Prabowo, “Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto, Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad.”
Baca juga: BBM dan Blunder Politik Soeharto
Baca juga: DPR Prakarsai Reformasi Politik
Presiden Habibie berusaha tenang menyatakan, ”Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda diganti.” Jabatan Pangkostrad sangat strategis. Ingat tahun 1965 ketika terjadi tragedi mengerikan, Pangkostrad Jenderal Soeharto kemudian mengendalikan situasi kemelut setelah sejumlah jenderal angkatan darat (AD) gugur dibantai. Soeharto kemudian menggantikan posisi Presiden Soekarno.
Kembali soal pertemuan Habibie dan Prabowo, terjadi dialog seru di antara keduanya. Bahkan, Prabowo meminta untuk memegang jabatan di Kostrad untuk tiga bulan, tetapi Presiden Habibie bergeming. Prabowo mengulangi untuk tetap dapat menguasai pasukannya untuk tiga minggu atau tiga hari saja. ”Yang saya kehendaki adalah pasukan saya,” kata Prabowo. Namun, Habibie tak goyah. ”Itu tidak mungkin, Prabowo” kata Presiden Habibie. Prabowo tetap dicopot dari jabatan Pangkostrad.
Pangab Wiranto mengusulkan penggantinya adalah Panglima Kodam III/Siliwangi Mayor Jenderal TNI Djamari Chaniago. Namun, karena situasi serba cepat, diangkatlah pejabat Pangkostrad, yaitu Letjen Johny Lumintang, Asisten Operasi Kepala Staf Umum (Asops Kasum) ABRI. Presiden Habibie menyetujui. Pada Jumat, 22 Mei 1998, sekitar pukul 17.30, tongkat komando Pangkostrad diserahterimakan dari Letjen TNI Prabowo kepada Mayjen TNI Johny Lumintang. Prabowo kemudian ditugaskan sebagai Komandan Sekolah Staf Komando ABRI menggantikan Letjen TNI Arie J Kumaat. Dan, Johny Lumintang mengemban tanggung jawab itu hanya 17 jam. Berita itu muncul di halaman pertama harian Kompas, edisi 23 Mei 1998, sebagai berita utama dengan judul ”Prabowo Subianto Diganti”.
Baca juga: Lengsernya Soeharto Babak Baru Demokrasi Indonesia
Baca juga: Habibie Butuh Rakyat setelah Hari-hari Kelam
Biasanya dalam acara serah terima jabatan di militer, apalagi posisi Pangkostrad, selalu diadakan upacara yang meriah dengan atraksi dan defile militer. Namun, kali ini acara serah terima dari Prabowo kepada Johny Lumintang berbeda dengan acara-acara biasanya. Upacara militer tersebut berlangsung sangat sederhana dan tertutup tanpa kehadiran wartawan. Bahkan, informasi proses pergantian itu diperoleh melalui Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen TNI I Dewa Putu Rai semalam (Kompas, 23 Mei 1998). Artinya serah terima jabatan Prabowo kepada Johny Lumintang diketahui setelah acaranya berlangsung. Bisa jadi karena darurat dan agar tidak menimbulkan turbulensi politik pascasuksesi presiden. Namun, itulah cara Presiden Habibie untuk memotong simpul-simpul kemelut dalam upaya untuk menyelesaikan problem besar negeri ini pada hari-hari yang amat menentukan itu.