Penuntasan Sekolah Rusak Meleset dari Target
JAKARTA, KOMPAS — Penuntasan masalah kerusakan ruang kelas sebenarnya ditargetkan selesai pada 2019. Biaya perbaikan ditanggung bersama oleh pemerintah pusat dan daerah. Namun, komitmen memfokuskan anggaran untuk menuntaskan perbaikan sekolah rusak minim.
Hal ini diduga antara lain karena tata kelola anggaran pendidikan yang tidak berpihak kepada penyelesaian hal mendasar dalam peningkatan kualitas pendidikan.
Terdata sebanyak 151.509 ruangan kelas rusak parah atau butuh perbaikan segera. Ada pula ruangan yang rusak sedang dan ringan. Kondisi ruangan kelas yang baik masih di bawah 50 persen.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad, di Jakarta, (22/5/2018), menjelaskan, sejak 2016, Kemdikbud merencanakan merehabilitasi minimal 40.000 ruang kelas rusak berat. Dengan demikian, hingga 2019, perbaikan semua ruang kelas yang rusak berat dapat diselesaikan menggunakan dana APBD, dana alokasi khusus (DAK), dan APBN.
”Namun, dalam perjalanannya, rencana tersebut belum bisa dicapai. Alokasi anggaran untuk perbaikan sekolah tidak tersedia sesuai kebutuhan,” ujar Hamid.
Hamid mengatakan, anggaran rehabilitasi di APBN makin menurun serta tidak semua target DAK bisa diselesaikan. Selain itu, tidak semua daerah mengalokasikan dana untuk rehabilitasi sekolah rusak melalui APBD di luar DAK, sementara jumlah sekolah rusak bertambah 5-10 persen.
”Karena itu, kami mendorong pemerintah daerah lebih banyak mengalokasikan dana APBD di luar DAK untuk merehab sekolah yang rusak. Tahun depan anggaran rehab dari APBN akan semakin berkurang karena perbaikan harus menjadi tanggung jawab daerah. Namun, Kemdikbud lebih memprioritaskan untuk daerah 3T (terluar, terdepan, dan terbelakang),” papar Hamid.
Ia mengatakan, pemerintah daerah harus menunjukkan tanggung jawab untuk memperbaiki sekolah rusak sesuai pembagian kewenangan. ”Seharusnya media mengumumkan kabupaten/kota dan provinsi yang memiliki tingkat kerusakan tertinggi. Biasanya, kalau sudah masuk di media, baru kepala daerah tersadarkan,” kata Hamid.
Sebelumnya, Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika)-ActionAid mengungkapkan, penuntasan perbaikan sekolah rusak sulit terwujud. Anggaran yang dialokasikan dari Kemdikbud makin menurun, sedangkan pemda minim, rata-rata hampir 1 persen dari anggaran pendidikan di APBD.
Kajian Yappika di beberapa kabupaten/kota menunjukkan, anggaran pendidikan daerah meningkat terus mengikuti ketentuan minimal 20 persen. Jika ditelaah penggunaannya, berkisar 80 persen hingga lebih dari 90 persen untuk belanja pegawai, yakni gaji dan honorarium. Akibatnya, sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan yang semakin baik, termasuk ruangan kelas yang layak.
Direktur Eksekutif Yappika-ActionAid Fransisca Fitri mengatakan, Kemdikbud memakai data pokok pendidikan sebagai acuan perbaikan. Namun, kenyataannya, data yang dimasukkan belum sepenuhnya akurat.
”Tidak heran jika bantuan rehab sering salah sasaran. Sekolah yang kondisinya tidak lebih buruk dari sekolah yang seharusnya diprioritaskan yang disetujui proposalnya. Perbaikan sekolah rusak makin butuh waktu lama akibat anggaran dan tata kelola perbaikan yang tidak baik,” tutur Fransisca.
Kepala Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan Kemdikbud Hendarman mengatakan, dari Neraca Pendidikan Daerah, klaim pemenuhan anggaran pendidikan di APBD minimal 20 persen umumnya terpenuhi. Jika dicermati, alokasi dari APBD murni justru sebaliknya, sebagian besar belum mencapai komitmen minimal.
Hendarman mengatakan, alokasi anggaran untuk perbaikan sekolah rusak di daerah umumnya diambil dari DAK atau yang memang sudah menjadi bagian program dari kementerian untuk bantuan rehab.
Secara terpisah, pegiat Sekolah Ramah Anak, Yanti Sriyulianti, mengatakan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memenuhi hak dan melindungi anak-anak di sekolah. Puluhan juta warga negara usia anak menghabiskan sepertiga waktunya setiap hari di sekolah.
”Fasilitas belajar yang aman jadi salah satu pilar untuk pastikan sekolah aman bagi anak-anak kita,” kata Yanti. (ELN).
Penuntasan masalah sekolah rusak sebenarnya ditargetkan selesai pada 2019. Biaya perbaikan ditanggung bersama oleh pemerintah pusat dan daerah. Namun, komitmen untuk memfokuskan anggaran untuk menuntaskan perbaikan sekolah rusak minim. Hal ini ditengarai salah satunya karena tata kelola anggaran pendidikan yang tidak bwrpihak pada penyelesaian hal mendasar dalam peningkatan kualitas pendidikan.
Terdata sebnyak 151.509 ruangan kelas yamg rusak parah, yang butuh perbaikan segera. Ada pula ruangan yang rusak sedang dan t
ringan. Kondisi ruangan kelas yang baik masih di bawah 50 persen.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid muhammad, di Jakarta (22/5/2018) , menjelaskan sejak 2016, Kemdikbud merencanakan akan merehabilitasi minimal 40.000 ruang kelas rusak berat. Dengan demikian, hingga 2019, semua sekolah rusak berat dapat diselesaikan dengan menggunakan dana APBD, Dana Alokasi Khusus (DAK), dan APBN.
"Namun, dalam perjalanannya rencana tersebut belum bisa dicapai. Alokasi anggaran untuk perbaikan sekolah tidak tersedia sesuai kebutuhan," ujar Hamid.
Hamid mengatakan anggaran rehabilitasi di APBN semakin menurun serta tidak semua target DAK bisa diselesaikan. Selain itu, tidak semua daerah mengalokasikan alokasi dan rehabiliyasi aekolah rusak melalui APBD di luar DAK, sementara jumlah sekolah rusak baru bertambah sekitar 5-10 persen.
"Karena itu, kami mendorong pemerintah daerah untuk lebih banyak mengalokasikan dana APBD, di luar DAK untuk merehab sekolah-sekolah yang rusak. Tahun depan anggaran rehab APBN Kemdikbud akan semakin berkurang karena pwrbaikan harua kadi tanggung jawab daerah. nmun, Kemdikbud lebih memprioritaskan untuk derah 3T," kata Hamid.
Hamid mengatakan pemerintah daerah harus menunjukkan tanggung jawab untuk memperbaiki sekolah rusak sesuai pembngian kewenangan. "Seharusnya media mengumumkan kabupaten/kota dan provinsi yang mempunyai tingkat kerusakan tertinggi. Biasanya kalau sudah masuk di media, baru kepala daerah "siuman"," ujar Hamid.
Sebelumnya, kajian Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)-ActionAid mengungkpkan penuntasan sekolah rusak sulit terwujud. Anggaran yang dialokasikan dari Kemdikbud semakin menurun, sednagkan pemerintah derah minim, rata-rata baru hampir satu persen dari anggaran pendidikan di APBD.
Kajian YAPPIKA di beberapa kabupaten/kota menunjukkan, anggaran pendidikan daerah meningkat terus mengikuti ketentuan minimal 20 petsen. Jika ditelaah penggunaannya, berkisar 80 persen hingga lebih dari 90 persen untuk belanja pegawai, untuk gaji dan honorrium. Akibatnya, sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan yang semkin baik, termasuk ruangan kelas yang layak.
Direktur Eksekutif YAPPIKA-ActoonAid Fransisca Fitri mengatakan Kemendikbud memakai data pokok pensidikan (Dapodik) sebagai acuan untuk perbaikan. Namun, dalm kenyataannya datavyang dimasukkan belum sepenuhnya akurat. "Tidak heran, jika bantuan rehab sering salah sasaran. Sekolah yang kondisinya tidak lebih buruk dari sekolah yang seharusnya diprioritaskan yang disetujui proposalnya. Perbaikan sekolah rusak makin butuh waktu lama akibat anggaran dan tata kelola perbaikan yang tidak baik," ujar Fransisca.
Kepala Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan, Kemendikbud, Hendarman mengatakan dari Neraca Pendidikan Daerah (NPD), klaim pemenuhan anggaran pendidikan di APBD minimal 20 persen umumnya terpenuhi. Jika dicermati alokasi dari APBD murni justru sebaliknya, sebagain besar masih belum mencapai komitmen minimal.
Hendarman mengatakan umumnya alokasi anggaran untuk perbaikan sekolah rusak di daerah diambil dar DAK atau yang memang sudah menjadi bagian program dari kementerian untuk bantuan rehab.
Hendarman mengatakan NPD dibuat sebagai salah satu instrumen bagi pemerintah pusat yang dapat menunjukkan daerah mana yang belum menunjukkan komitmen terhadap pendidikan, yaitu m alokasi APBD murninya yang belum minimal 20 persen.
"Belum dipenuhi ketentuan tersebut menyebabkan belum dapat diatasi berbagai kendala pendidikan di daerahnya. Termasuk perbikan sekolah rusak," kata Hendarman.
Secara terpisah, Pegiat Sekolah Ramah Anak Yanti Sriyulianti mengatakan pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk memenuhi hak dan melindungi anak-anak di sekolah. Puluhan juta warga negara usia anak menghabiskan sepertiga waktunya setiap hari di sekolah.
"Fasilitas belajar yang aman menjadi salah satu pilar untuk memastikan sekolah aman bagi anak-anak kita," tegas Yanti.
Sekolah yang aman, lanjut Yanti, termasuk dari reruntuhan bangunan dengan atau tanpa ada bencana sangat penting dalam mewujudkan suasana dan proses pembelajaran yang membuat peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya. Masih banyaknya ruang kelas yang rusak di tengah kenyataan tingginya risiko bencana gempa dan bencana alam di seluruh Indonesia seharusnya menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk segera mengalokasikan anggaran agar sekolah dapat memperbaiki kelas yang rusak
"Ada PP 48/2008 tentang pendanaan pendidikan, di situbsudah diatur secara rinci tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Jadi harus dipenuhi," kata Yanti. (ELN)