Pelaku usaha tekstil dan garmen tengah memasuki masa ”lampu kuning”. Berkembang pesatnya jual-beli online dan daya beli sebagian masyarakat yang tergerus membuat mereka ketar-ketir. Namun, mereka terbukti liat berkelit atasi segala tantangan.
Lesunya transaksi dikeluhkan oleh banyak pedagang Pasar Tasik di seputaran Tanah Abang. Pasar Tasik ini ada di empat titik, yaitu di Jalan Cideng Timur tepat di seberang SD Negeri Kampung Bali 1, Jalan KH Mas Mansyur dan Jalan Jati Baru Raya di lahan di belakang Roti Bakar 88, di Jalan Jati Baru Raya di depan Stasiun Tanah Abang, serta di lantai dasar 1 dan lantai 5 Thamrin City.
Produk yang mendominasi dagangan di Pasar Tasik adalah gamis, kebaya, dan baju koko. Ciri khas menonjol adalah penggunaan bordiran khas Tasikmalaya, Jawa Barat, yang menghiasi sebagian produknya. Para pedagang awalnya didominasi perajin baju muslim dan bordiran asli Cicalengka, Tasikmalaya, dan Bandung.
Di era kekinian, ketika nyaris semua hal bisa dilakukan lewat online alias dalam jaringan (daring), menjadi tantangan tersendiri bagi pedagang Pasar Tasik. Mereka terbiasa bertransaksi secara tradisional dengan menggelar lapak, bertatap muka, dan tawar-menawar di tepi jalan atau di tanah lapang berdebu. Tiba-tiba kini dipaksa cepat beradaptasi, melek teknologi.
Daiwani (49), pemilik Butik Bordir Daiwani di Pasar Tasik, Cideng Timur, Jakarta Pusat, masih setia menggelar lapak setiap hari Senin dan Kamis. Setiap Minggu tengah malam ia dan beberapa pekerjanya harus bersiap dari Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kawalu, Tasikmalaya, ke Cideng.
Namun, seiring dengan itu, ia memperbanyak kanal penjualan produknya berupa pakaian bordir khas Tasikmalaya dengan mengelola toko digital. Ia bergabung dengan sejumlah situs belanja hingga memasarkan via media sosial.
Ia menjual produknya melalui akun Instagramnya, @daiwani_tasik.
”Lewat toko online, saya dan anak-anak saya bisa jualan. Harganya memang lebih mahal dibandingkan harga di pasar ini (Pasar Tasik, Cideng) karena dijual eceran, bukan harga grosir seperti di sini,” kata Daiwani, Senin (21/5/2018).
Di Pasar Tasik, Daiwani menjual kain lilit bordir payet dan mutiara dengan harga grosir Rp 100.000 per potong. Sementara melalui @daiwani_tasik, ia menjual produk serupa seharga Rp 130.000 dan di salah satu situs belanja lain dibanderol Rp 145.000 per potong.
Ia juga memiliki satu toko fisik permanen di Kelurahan Tanjung, Tasikmalaya. Dengan cara ini, ia menghemat biaya operasional toko. Apa yang dilakukan Daiwani cukup umum dipraktikkan oleh sebagian pedagang di empat lokasi Pasar Tasik di sekitar Tanah Abang.
Mahalnya bahan baku
Brown Hermanto (45), pedagang mukena bordir dari butik Syifa Pasar Tanah Abang merasakan penurunan omzet cukup besar dibandingkan bulan Ramadhan tahun lalu. Namun, menurut dia, hal itu tak hanya karena tren jual-beli daring. Faktor utama justru karena meningkatnya harga bahan kain ataupun bordir, tarif listrik, dan bahan bakar minyak serta penurunan daya beli masyarakat.
”Mereka (pembeli) sekarang pilih produk yang lebih murah dari produksi kami,” katanya.
Hal senada dikatakan Heru (32), pedagang di Toko Tujuh Saudara Moslem Wear, lantai dasar 1 Thamrin City.
”Sekarang, pendapatan di bawah Rp 10 juta per hari. Ketika masih jaya-jayanya, tiga atau empat tahun lalu, pendapatan minimal Rp 20 juta per hari,” kata penjual kerudung untuk anak-anak itu.
Meski demikian, Heru memilih tetap berdagang di salah satu kios di sudut sisi timur lantai dasar 1 menunggu keberuntungan dari pembeli yang datang.
Wiwin (32), pedagang kerudung syar’i di lantai yang sama, mengatakan, naiknya harga sewa toko kian membuat pedagang terjepit. Ia harus melepaskan salah satu tokonya. Kini, tersisa satu kios Wiwin yang terletak bukan di jalur arus masuk utama pengunjung, melainkan di bagian belakang lantai tersebut.
Pasar di luar pasar
Untuk toko-toko di dalam gedung-gedung pasar, dari blok A hingga blok F, keberadaan pasar-pasar, seperti Pasar Tasik yang tidak di dalam gedung dan lokasi pedagang kaki lima yang makin luas, menggerogoti omzet mereka. Pelanggan dan calon pembeli mereka pun sebagian beralih.
”Ramadhan tahun lalu, rata-rata ada 120.000 pengunjung per hari ke blok A. Tahun ini sekitar 90.000 pengunjung per hari,” kata Manajer Promosi Blok A Pasar Tanah Abang Hery Supriyatna.
Turunnya jumlah pengunjung ini, kata Hery, tentunya mengurangi omzet pedagang di sana. Padahal, a pedagang di dalam gedung sebenarnya memberi kontribusi pajak daerah dan menuruti peraturan demi ketertiban kawasan. Permasalahan ini sudah berkali-kali disampaikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Tantangan memang tidak datang sekali ini saja. Sekitar sepuluh tahun lalu, sebelum jual-beli daring marak, serbuan produk asal China sempat melemahkan denyut produk lokal di Tanah Abang. Namun, kondisi itu bisa dilewati dengan menguatkan produksi busana muslim yang kini sangat ngetren.
Tanah Abang, kawasan pusat perdagangan tekstil yang resmi dibuka pemerintah Hindia Belanda pada 30 Agustus 1735 ini, memang selalu dinamis, selalu bergejolak. Selama ini, semua tantangan bisa dilewati dengan berbagai siasat para pedagang yang turut mengubah wajah Pasar Tanah Abang. Mereka liat beradaptasi, berkelit dari ancaman nasib buruk sembari mempertahankan identitasnya sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara.