Perlindungan TKI Jangan Lagi Retorika
Jika benar-benar ingin memberikan perlindungan, pemerintah harus menjamin penerbitan paspor bagi TKI tak lagi mudah diintervensi calo.
Manipulasi identitas TKI pada paspor dapat diminimalkan lewat penerbitan dokumen kependudukan yang benar. Tak perlu lagi beretorika dengan serangkaian kebijakan yang justru memberi akses eksploitasi terhadap TKI.
Pembukaan Terminal Selapajang, Bandara Soekarno-Hatta, pada 2010, yang dijadikan terminal khusus kedatangan TKI, cukup menjadi pelajaran. Bagaimana upaya pemerintah memberikan perlindungan bagi TKI itu malah menjerat TKI dalam eksploitasi. Di terminal itu TKI malah dibebani biaya di luar regulasi oleh oknum instansi tertentu.
Pada 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan agar terminal itu ditutup dan TKI tak lagi perlu melalui terminal itu. Rekomendasi itu dikeluarkan setelah KPK menemukan ada banyak loket dari lembaga dan institusi pemeritah yang harus dilalui TKI sebagai alasan untuk pendataan dan di setiap loket itu TKI ditarik pungutan liar.
Selama terminal itu dioperasikan untuk pemulangan, TKI diwajibkan menggunakan jasa layanan angkutan yang disediakan BNP2TKI untuk pulang kampung ke rumah mereka. Keharusan ini membuat TKI kembali dijerat pungutan liar oleh kalangan sopir kendaraan yang disediakan BNP2TKI.
Baca juga: Eksploitasi TKI sejak Membuat Paspor
Juwarih, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Buruh Migran Indonesia, mengungkapkan, dia pernah dimintai uang imbalan tambahan oleh sopir minibus yang mengangkut istrinya pulang dari Terminal Selapajang ke rumahnya di Indramayu. Padahal, istrinya telah membayar biaya angkutan itu.
”Zaman itu, sopir minibus yang disediakan BNP2TKI itu malah semena-mena. Mereka meminta bayaran tambahan seenaknya,” jelasnya.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno pun tak menampik bahwa selama dioperasikannya Terminal Selapajang, KPK malah menemukan ada banyak pungutan liar yang dilakukan oknum pemerintah kepada TKI.
”Akhirnya dihitung-hitung, besarnya dana yang berputar di sana bisa triliunan rupiah dan itu melibatkan sejumlah oknum di instansi terkait. Akhirnya KPK simpulkan ada mafia di balik tata kelola penempatan dan kepulangan TKI,” katanya.
Demikian pula proses pembuatan paspor bagi TKI, diakui Soes, sampai saat ini penerbitan dokumen perjalanan sarat campur tangan calo. Biaya paspor khusus untuk TKI yang disubsidi pemerintah seharga Rp 55.000 bisa membengkak jadi Rp 500.000 hingga Rp 600.000.
”Setelah 3-4 tahun ini enggak rampung-rampung dan ternyata TKI yang SMP ke bawah itu butuh pendampingan ke kantor apa pun. Pendamping ini yang semula berbuat baik tetapi ujung-ujungnya sebagai rentenir terselebung. Itu sebabkan cost (biaya) TKI menjadi meledak, menjadi over charge,” ujarnya.
https://youtu.be/qEIqX2Ka_kI
Sudah jamak di perdesaan di Indramayu, Banyuwangi, dan beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, yang menjadi kantong TKI, warganya tak memiliki dokumen kependudukan yang lengkap. Jarang sekali ditemui mereka memiliki akta kelahiran. Banyak keluarga tak memiliki kartu keluarga. Umumnya mereka hanya memiliki kartu tanda penduduk.
Tiga macam dokumen itu menjadi dasar penerbitan paspor. Namun, ketiadaan salah satu dokumen tersebut bukan jadi soal bagi pemberangkatan TKI keluar negeri selama ada calo yang mengurusnya.
Biaya paspor khusus untuk TKI yang disubsidi pemerintah seharga Rp 55.000 bisa membengkak jadi Rp 500.000 hingga Rp 600.000.
Nyaris semua pemberangkatan TKI di Indonesia belum bebas dari praktik percaloan. Hal ini tak terlepas dari buah regulasi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan cukup besar bagi perusahaan tenaga kerja dalam menempatkan TKI di luar negeri.
Kewenangan itu dimulai dari merekrut, memberikan pelatihan, pengurusan dokumen keberangkatan, hingga penempatan TKI di luar negeri. Namun, dalam praktiknya, 447 perusahaan tenaga kerja yang memperoleh izin menghimpun TKI itu umumnya sangat bergantung kepada calo.
Peran calo tak hanya merekrut calon TKI, tetapi juga mengurus penerbitan akta kelahiran calon TKI ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Alih-alih menjamin hak kependudukan warganya terpenuhi, tak sedikit pemerintah daerah di sejumlah kantong TKI itu malah membiarkan pemenuhan hak administrasi kependudukan warganya itu kepada calo ataupun petugas perusahaan tenaga kerja.
Praktik percaloan ini dengan sendirinya membuat biaya pemberangkatan TKI ke luar negeri menjadi besar. Sesuai struktur biaya pemberangkatan TKI yang diterbitkan pemerintah tahun 2009, batas atas biaya pemberangkatan calon TKI ke Taiwan itu sebesar Rp 17 juta. Namun, pada kenyataannya, biaya itu bisa mencapai Rp 35 juta dan harus diganti secara mengangsur oleh TKI lewat pemotong separuh gajinya setiap bulan selama 7-8 bulan.
Batas atas biaya pemberangkatan calon TKI ke Taiwan sebesar Rp 17 juta. Namun, pada kenyataannya, biaya itu bisa mencapai Rp 35 juta.
Dalam pembuatan paspor, data kependudukan TKI pun dapat dimanipulasi oleh calo sehingga memenuhi syarat untuk bekerja di negara tujuan. Manipulasi data itu, pada satu sisi, menguntungkan TKI karena dapat mempermudah memperoleh pekerjaan di negara tujuan. Namun, di sisi lain, manipulasi data itu dapat membahayakan TKI karena TKI dapat terancam kehilangan hak-haknya jika dia menghadapi masalah.
Vonis hukuman mati oleh pengadilan Malaysia terhadap Wilfrida Soik, TKI asal Nusa Tenggara Timur, pada 2011, itu cukup jadi contoh manipulasi identitas paspor yang berdampak hilangnya hak TKI. Wilfrida divonis membunuh majikannya di Malaysia, Puan Yeap (65). Sesuai data di paspor, pada tahun itu, Wilfrida dinyatakan berusia 20 tahun. Padahal, saat itu usianya masih belasan tahun.
Soes pun mengungkapkan, saat itu Pemerintah Indonesia telah berusaha maksimal untuk melindungi Wilfrida. Beruntungnya, kata Soes, majelis hakim di mahkamah pengadilan Malaysia meminta akta kelahiran Wilfrida sebelum mereka memutuskan untuk eksekusi pada 2013. Sebab, ada dugaan saat pembunuhan terjadi pada 2011 usia Wilfrida masih di bawah umur.
Setelah ditelusuri ke kampung halamannya di Belu, NTT, ternyata Wilfrida tak memiliki akta kelahiran. Pemerintah pun, kata Soes, menerbitkannya saat itu juga untuk memenuhi permintaan majelis hakim di Malaysia. Namun, karena majelis hakim masih ragu terkait tahun kelahirannya, majelis hakim pun meminta surat baptis Wilfrida.
”Surat baptis itu juga akhirnya keluar pada 2013. Ini kok orang enggak punya surat kependudukan apa pun,” kata Soes menunjukkan keheranannya.
Karena dokumen yang diserahkan masih diragukan, menurut Soes, majelis hakim Malaysia pun memutuskan untuk mendatangkan ahli tulang dari Belanda untuk memeriksa usia tulang Wilfrida.
Dari pemeriksaan itu diketahui, saat pembunuhan terjadi Wilfrida masih berusia 16 tahun atau masih tergolong anak. ”Saya mau bicara, orang-orang kita ini belum lengkap dokumen kependudukannya. Apalagi di NTT,” ucap Soes.
Baca juga: Calo, Pemalsuan Data, dan Modus Perdagangan Manusia
Untuk mengatasi permasalahan ini, Soes mengatakan, kerja Kementerian Ketenagakerjaan untuk menjamin perlindungan bagi TKI pun tak bisa lepas dari peran kementerian lain. Dalam proses pembuatan KTP, contohnya, karena dokumen itu dibutuhkan untuk penerbitan paspor, maka itu perlu ada peran Kementerian Dalam Negeri.
”Sementara kita tahu, KTP elektronik, nomor induk kependudukan tunggal, itu juga masih ribet di KPK (kasus korupsi pengadaan KTP elektronik 2011-2012),” terangnya.
Hingga kini, berdasarkan data Kemnaker, ada 161 juta jiwa angkatan kerja yang menempati 62 persen dari total penduduk Indonesia sebesar 258 juta jiwa. Dari seluruh angkatan kerja itu, 60 persennya berpendidikan SMP ke bawah dan mereka tersebar di daerah terpinggir, seperti NTT, NTB, dan Sukabumi (Jawa Barat).
Soes membayangkan jika semua sistem dari sejumlah kementerian terkait sudah terintegrasi, itu dapat mengatasi permasalahan praktik percaloan pada paspor, termasuk kerawanan manipulasi identitas TKI pada paspor.
”Diharapkan semua sistem sudah terintegrasi, dari Kemendagri, dengan menerapkan NIK, hingga penerbitan paspor, hingga akses kredit usaha rakyat untuk membiayai calon TKI berangkat ke luar negeri. Itu harapannya. Tapi kapan, itu kan menunggu,” jelasnya.
Namun, Soes juga memberikan harapan bahwa dengan diterbitkannya UU No 18/2017 sebagai pengganti UU No 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI, itu dapat mengubah tata kelola pemberangkatan ke luar negeri yang selama ini merugikan TKI. Hanya memang, katanya, saat ini yang dibutuhkan adalah mengubah cara pandang kalangan birokrat hingga TKI itu sendiri.
Sesuai UU No 18/2017, TKI harus dibebaskan dari biaya pemberangkatan. Pemerintah pun, kata Soes, berupaya agar seluruh persyaratan pemberangkatan TKI itu diberikan secara gratis, termasuk paspor.
Perekrutan TKI juga dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menampung mereka di balai latihan kerja. Selama di BLK, mereka akan dilatih hingga mahir terkait pekerjaan yang diminati.
”Peran perusahaan tenaga kerja menyediakan tenaga kerja. Sementara pelatihan hingga pemenuhan dokumen keberangkatan TKI itu disiapkan oleh pemerintah, yakni pemerintah daerah,” katanya.
Untuk itu dibutuhkan sistem yang terintegrasi terkait jumlah calon TKI, termasuk TKI yang berangkat keluar negeri. Sementara hingga saat ini, kata Soes, baik data jumlah TKI yang dimiliki Kementerian Luar Negeri, Kemnaker, ataupun BNP2TKI, itu jumlahnya berbeda-beda.
”Sebelumnya data TKI di Kemlu itu sebanyak 4,5 juta di seluruh negara. Tanya Kemnaker, 6 juta jiwa. Data di BNPTKI itu hampit 7 juta jiwa. Padahal, satu nyawa saja memengaruhi. Namun, saya optimistis niat baik semua instansi (dapat melakukan perubahan),” katanya.
Hanya masalahnya sampai saat ini, kata Soes, banyak TKI masih mengandalkan calo untuk pengurusan keberangkatan mereka ke luar negeri. ”Dibutuhkan juga perubahan pola pikir di kalangan TKI. Hal itu harus didorong dari desa,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyampaikan, pihaknya pun sepakat jika pemberangkatan TKI untuk selanjutnya itu ditangani pemerintah. Dia pun berharap agar pemerintah dapat membuat pemberangkatan TKI itu bagian layanan publik sehingga TKI dapat langsung mengaksesnya secara mandiri tanpa melalui perusahaan tenaga kerja lagi.
Hanya kini, menurut Wahyu, dibutuhkan peran aktif perangkat hingga kepala desa untuk menjamin seluruh data kependudukan TKI itu benar. Pemberdayaan pun harus dilakukan di perangkat desa sehingga TKI tak mudah lagi terjerat praktik percaloan.
”UU yang baru mengamanatkan tidak hanya pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah bahkan sampai tingkat desa punya tugas dan kewenangan memberikan perlindungan kepada buruh migran,” jelasnya.
Wahyu meyakini, peningkatan peran desa itu dapat dimulai lewat pembentukan institusi di desa yang peduli terhadap proses pemberangkatan TKI. Hingga sekarang, pemerintah telah membetuk Desa Migran Produktif di banyak tempat dan Migrant Care juga membentuk Desa Peduli Buruh Migran di sejumlah tempat.
”Makanya, kita dorong pemda, desa, punya kesadaran yang signifikan dalam melihat bahwa soal buruh migran itu kewenangannya. Kita dorong juga punya rasa memiliki (terhadap buruh migran),” katanya.
Baca juga: Desa Didorong Lindungi TKI
Terbitnya UU No 18/2017 tak hanya mengatur kembali tata kelola pemberangkatan TKI ke luar negeri. Namun, sejumlah nomenklatur terkait TKI juga diubah. Nomenklatur TKI, contohnya, diubah menjadi pekerja migran Indonesia.
Kemudian, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang sebelumnya telah diubah menjadi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), itu diubah lagi menjadi Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
Tentunya perubahan yang diharapkan itu bukan hanya pada nomenklatur, melainkan perubahan yang nyata pada tata kelola pemberangkatan TKI ke luar negeri. Dengan demikian, beban biaya keberangkatan TKI ke luar negeri dapat ditekan dan perlindungan terhadap TKI dapat berjalan maksimal. (FIKRI ASHRI/ANGGER PUTRANTO)