Hidup Kita Terbatas, tetapi Indonesia Harus Tetap Ada
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Amelia Bianca (15), siswi kelas X dari Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi di Jakarta Barat, bertukar pendapat dengan cukup alot bersama M Alif (15), siswa kelas X SMK Negeri 2 Kabupaten Tangerang. Sementara teman-teman mereka sesekali mengangguk dan mengikuti arahan keduanya.
Bianca dan delapan temannya sedang bermain traffic jam, permainan dalam kegiatan outbond bertema ”Petualangan bagi Persaudaraan” di Tangerang, Sabtu (12/5/2018). Kegiatan itu diselenggarakan Kawal Nusantara, komunitas masyarakat yang bertujuan mempromosikan kebangsaan dan kebinekaan. Komunitas tersebut menggandeng Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Provinsi Banten dan Bosscha Training Partner untuk turut terlibat.
Dalam permainan itu, delapan siswa berdiri berjajar di atas kertas karton merah muda, sedangkan satu bertugas untuk menulis laporan. Delapan siswa itu lalu dibagi menjadi dua kelompok, empat orang berbaris menghadap empat orang lainnya dalam satu garis lurus. Di tengah mereka terdapat sebuah kertas karton hijau.
Mereka harus memikirkan cara bagaimana berpindah dari satu titik ke titik yang lain sehingga seluruh anggota setiap kelompok berada di sisi yang berbeda. Hanya saja, syaratnya, mereka harus tetap menjaga agar arah tubuh yang menghadap tidak berubah. Selain itu, satu orang hanya boleh berpindah satu kali dan tidak boleh melewati dua orang sekaligus.
”Lumayan mengasah otak,” kata Alif, setengah frustrasi karena lebih dari 10 kali kelompoknya gagal. Sebagai ketua kelompok, ia kembali mengatur pergerakan teman-temannya. Bianca pun tidak ketinggalan memberikan usulnya, disambut dengan usulan teman-teman lainnya. Suasana pun menjadi cukup riuh.
Bianca dan Alif merupakan peserta dari 70 siswa kelas X-XII dari tujuh sekolah yang mengikuti kegiatan outbond itu. Sekolah-sekolah itu adalah SMA Perguruan Setia Bhakti, SMK Negeri 2 Kabupaten Tangerang, SMK Garuda Teknologi Pantura (Gatra), Madrasah Aliyah Negeri Tigaraksa, dan Madrasah Aliyah Al-Marwah di Tangerang. Sekolah yang lain adalah Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi di Jakarta Barat dan SMA Kanisius Jakarta di Jakarta Pusat.
Kegiatan outbond itu bertujuan mengajarkan nilai kebangsaan, kebinekaan, kebersamaan, kekompakan, kemandirian, dan pantang menyerah melalui sejumlah permainan di alam. Setelah kegiatan, mereka diharapkan dapat menjadi duta dalam mempromosikan toleransi atas keberagaman dan kebinekaan di Indonesia.
”Anak-anak membutuhkan akses untuk bertemu, kegiatan outbond dapat menjadi salah satu jembatan,” kata person in charge dari outbond bertema ”Petualangan bagi Persaudaraan” dan anggota Kawal Nusantara, Lucky Rose Sitohang.
Ia mencontohkan, siswa yang belajar di sekolah di bawah pengelolaan sebuah yayasan agama tertentu kerap jarang bertemu dengan siswa yang beragama lainnya. Akibatnya, mereka jarang berinteraksi dan mengenal agama satu sama lain.
Menurut Lucky, anak-anak adalah calon pemimpin bangsa. Mereka harus diajak berbaur dengan anak lain dengan latar belakang suku, agama, ras, dan budaya yang berbeda.
Tujuannya adalah agar mereka semakin mencintai sesama dan Tanah Air. Apalagi, Indonesia saat ini dilanda isu intoleransi dan terorisme yang membuat resah seluruh masyarakat.
Hidup kita terbatas, tetapi Indonesia harus tetap ada.
”Hidup kita terbatas, tetapi Indonesia harus tetap ada,” kata Lucky. Menurut dia, orangtua harus menjadi pendamping dan fasilitator bagi generasi muda untuk menciptakan sebuah upaya melawan paham intoleransi yang sedang berkembang. Generasi muda merupakan masa depan bangsa Indonesia.
Anak-anak dinilai membutuhkan sebuah pengalaman nyata berinteraksi langsung dengan teman dari berbagai latar belakang. Mereka tidak mampu menerapkan konsep hidup toleransi di kehidupan sehari-hari hanya setelah membaca ajakan bertoleransi melalui spanduk atau nasihat.
Course Director Bosscha Training Partner, Laurentius Rahutomo, menambahkan, dalam kegiatan outbond kali ini, ia menerapkan delapan jenis permainan bertema kebangsaan agar anak-anak merasakan langsung praktik nilai kebangsaan. Permainan traffic jam, misalnya, mengajarkan anak-anak untuk pantang menyerah ketika menghadapi masalah.
Lalu, permainan human rope mengajarkan tentang tali kasih antarmanusia. Permainan itu mensyaratkan agar setiap anak memegang tali yang terhubung ke tangan teman lainnya. Mereka kemudian harus berusaha melepaskan simpul yang ada di tali tanpa melepaskan tali yang dipegang.
Alif menambahkan, kelompoknya belajar mengenai Sila Ketiga dari Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia, setelah bermain human rope. ”Kami belajar, ikatan persatuan bangsa harus kuat untuk menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Ia mengakui memiliki konsep yang salah terkait orang dengan agama yang berbeda sebelum kegiatan. Namun, pertemuan dengan teman yang beragama lainnya kini membuka wawasan yang lebih luas bahwa mereka adalah satu bangsa.
Berkelanjutan
Lucky menambahkan, kegiatan menanamkan nilai kebangsaan dan kebinekaan tidak dapat dilakukan hanya sekali. Anak-anak perlu ditanamkan nilai-nilai tersebut secara berkelanjutan.
”Hasilnya pun tidak akan terlihat dengan seketika,” ucapnya. Hubungan pertemanan diharapkan tetap terus terjalin setelah kegiatan selesai. Misalnya, peserta seminar dianjurkan membuat grup Whatsapp agar terus berkomunikasi dan diajak terlibat kegiatan berikutnya.
Siti Sarah (16), siswa kelas XI SMK Gatra, selama ini belum pernah memiliki teman berbeda agama sebelum mengikuti kegiatan itu.
Kegiatan bertema kebangsaan dan kebinekaan tersebut disambut positif oleh Siti Sarah (16), siswa kelas XI SMK Gatra. Selama ini, ia tidak menemukan kegiatan yang membuatnya dapat bertemu teman lintas agama. Sebagai akibatnya, ia belum pernah memiliki teman berbeda agama sebelum mengikuti kegiatan itu.