Masyarakat Adat Rejang Ingin Segera Mendapat Sertifikat
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
BENGKULU, KOMPAS — Masyarakat adat Rejang di Desa Lubuk Kembang dan Seguring, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu berharap segera mendapat segera mendapat sertifikat untuk tanah yang telah dikelola secara turun-temurun. Mereka berpeluang mendapatkan haknya tersebut melalui reforma agraria yang menjadi salah satu program unggulan dari Presiden Joko Widodo.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Yayasan Perspektif Baru pada Selasa (8/5/2018), masyarakat adat di Desa Lubuk Kembang dan Seguring menginginkan tetap dapat mengelola tanah yang menjadi sumber kehidupan bagi keluarganya.
Menurut Kepala Badan Permusyawaratan Desa Lubuk Kembang Nazaruddin, tanah yang ada di Lubuk Kembang merupakan tanah adat. “Tanah di Lubuk Kembang merupakan hak kita karena telah turun-temurun dari nenek moyang,” kata Nazaruddin.
Adapun luas lahan yang diusulkan untuk menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di Lubuk Kembang seluas 125,8 hektar. Lahan tersebut dibagi rata untuk 117 kepala keluarga. Masing-masing kepala keluarga mendapat sekitar 1 hektar.
Kepala Dusun I Desa Lubuk Kembang Sunarta mengatakan, ada 36 kepala keluarga yang telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas tanah yang digarapnya. Sertifikat tersebut telah dikeluarkan pemerintah sejak 1985, sedangkan sisanya hanya memiliki surat jual beli, hibah, dan hak waris.
Kepala Desa Seguring Jumadi Irawan juga mengharapkan hak yang sama agar tanah di Seguring ditetapkan sebagai TORA. Namun, salah satu permasalahan yang dihadapi sebagian masyarakat Seguring, yaitu ada tanahnya yang dijadikan sebagai Taman Nasional Kerinci Seblat.
Sebagian warga kebingungan karena mereka menganggap, tanah tersebut masih milik mereka. Situasi tersebut semakin runyam karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat.
Reforma Agraria
Tenaga Ahli Utama Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis Kantor Staf Presiden Usep Setiawan menjelaskan, Reforma Agraria merupakan salah satu program dari Nawacita dari Presiden Joko Widodo.
Reforma Agraria menjadi prioritas kerja dari Presiden Joko Widodo untuk mengakui hukum adat yang ada di masyarakat. Hal tersebut sebagai bentuk komitmen Presiden Joko Widodo dalam melestarikan masyarakat adat.
Kebijakan Reforma Agraria dilakukan untuk memilih dan menata ulang tanah yang ada di masyarakat sehingga tanah tersebut dapat dimanfaatkan untuk keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.
Sejak 2014, Presiden Joko Widodo telah berkomitmen untuk redistribusi pemilihan tanah dan memberikan hak kepemilikan tanah bagi rakyat. Salah satu bagian dari Reforma Agraria, yaitu memberikan SHM kepada masyarakat yang belum memiliki sehingga dapat diakui secara hukum.
Sebelum memberikan SHM, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akan mengidentifikasi wilayah yang akan menjadi TORA. Selain memetakan wilayah, pemerintah juga mengidentifikasi pemilik dari tanah tersebut. Identifikasi tersebut menyangkut nama, alamat, usia, dan nomor kontak.
Permasalahan yang dialami di Kabupaten Rejang Lebong, yaitu adanya tarik-menarik antara ATR/BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sejak 2016, Balai Pemantapan Kawasan Hutan yang berada di bawah naungan KLHK telah mengidentifikasi sejumlah tanah di Lubuk Kembang dan desa sekitarnya untuk dijadikan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Masyarakat Lubuk Kembang dan sekitarnya yang didukung oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menentang kebijakan HPT karena tidak ingin tanahnya dimiliki oleh pemerintah untuk dijadikan areal Perhutanan Sosial.
“Tanah ini merupakan hak kami karena BPN telah mengeluarkan sertifikat kepada beberapa masyarakat setelah mengurusnya selama dua tahun,” kata Nazaruddin.
Kopi
Sebagian besar tanah di Lubuk Kembang dan Seguring ditanami kopi. Salah satu warga Kampung Pinggir Kuning Desi Magdalena memiliki lahan seluas satu hektar. Seluruh lahannya ditanami kopi.
Masyarakat menjual biji kopi hasil panennya kepada toke atau pengepul dan tengkulak. Dari tengkulak, biji kopi tersebut dijual di Lampung. Biji kopi tersebut dijual antara Rp 10.000 per kilogram hingga Rp 20.000 per kilogram. Harga tersebut ditentukan oleh tengkulak. Dalam setahun, Desi mendapatkan penghasilan sebesar Rp 15 juta.
Sebagian dari penghasilannya tersebut digunakan untuk membayar utang. Masyarakat Lubuk Kembang terbiasa hutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak, dan membeli pupuk. Utang tersebut baru akan dibayar ketika musim panen tiba, yaitu antara bulan April dan Mei.