Orangtua di Indonesia ternyata memiliki optimisme yang sangat tinggi terhadap masa depan anak-anak mereka, jauh melebihi negara maju seperti Jepang, Jerman, Perancis, atau Korea Selatan. Mereka yakin bahwa pendidikan yang didapatkan di sekolah saat ini telah memberi bekal yang cukup untuk menghadapi tantangan dunia.
Optimisme itu tergambarkan dari survei global yang dilakukan oleh Varkey Foundation terhadap 27.500 orang tua murid di 29 negara. Dalam survei daring yang dilakukan pada Desember 2017 - Januari 2018 dan diluncurkan pekan ini, orang tua di Indonesia menempati posisi kedua setelah India yang paling optimis tentang masa depan anak-anak mereka menghadapi tantangan dunia di tahun 2030 dan sesudahnya.
Sebanyak 86 persen responden di Indonesia mengaku optimis dengan masa depan anak mereka dan hanya 7 persen yang tidak yakin. Sedangkan di India, sebanyak 88 persen responden yang optimistis.
Optimisme orangtua di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan Finlandia sebesar 78 persen dan Singapura yang hanya 69 persen. Bahkan, jika dibandingkan orang tua di negara-negara maju lainnya, optimisme orang tua di Indonesia terlihat jauh lebih tinggi, misalnya di Jepang tingkat optimismenya yang hanya 48 persen, Perancis 47 persen, dan Korea Selatan 37 persen. Padahal, pendidikan di Finlandia dan Singapura dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Setidaknya, dari survei terhadap kemampuan siswa global (Programme for International Student Assessment/PISA) 2015, Singapura menempati peringkat pertama negara dalam hal sain, matematika, dan membaca. Sedangkan Finladia di urutan kelima.
Orangtua di Indonesia, masih menurut survei ini, sepertinya meyakini bahwa kualitas pendidikan terhadap anak-anak mereka sudah baik. Setidaknya sebanyak 86 persen responden di Indonesia menganggap demikian, dan menempatkan Indonesia di peringkat delapan, lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 78 persen. Sementara itu, orang tua di Korea Selatan hanya 43 persen yang menganggap mutu pendidikan anak mereka sudah baik--merupakan yang paling rendah--, disusul Rusia 48 persen, Jerman 57 persen, dan Jepang 61 persen.
Data lain yang menarik dari survei ini adalah, orang tua di Indonesia ternyata tergolong sangat mendukung dengan penyelenggaraan pendidikan oleh organisasi keagamaan. Indonesia menempati peringkat ketiga (68 persen) setelah Kenya (88 persen) dan Uganda (82 persen). Sedangkan orang tua di Jepang paling tidak setuju dengan hal ini (9 persen), disusul Estonia (14 persen), dan Jerman serta Rusia (19 persen).
Selain itu, jika dilihat dari partisipasi dalam membantu anaknya mengerjakan pekerjaan rumah (PR), orang tua di Indonesia tergolong paling aktif. Orang tua di Indonesia rata-rata menghabiskan 18,6 jam per minggu untuk membantu anaknya mengerjakan PR. Ini merupakan peringkat kelima terlama setelah India, Vietnam, Turki, dan Kolombia. Sedangkan orang tua di Jepang yang paling jarang membantu anak-anaknya mengerjakan PR, yaitu hanya 2,6 jam per minggu, disusul Finlandia 1,1 jam per minggu, dan Inggris 3,6 jam per minggu.
Ironis
Namun demikian, optimisme orang tua di Indonesia ini jauh berbeda dengan kualitas produk sekolah kita jika dibandingkan dengan negara lain yang orang tuanya masih gamang dengan masa depan anak mereka. Hasil survei terhadap kemampuan siswa global (Programme for International Student Assessment/PISA) 2015 oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) misalnya menyebutkan, ranking Indonesia untuk sains 62, matematika 63, dan membaca 64 dari 70 negara.
Indonesia termasuk sepuluh besar negara dengan kualitas pengetahuan warganya di bidang ilmu dasar paling buruk. Peringkat Indonesia ini jauh di bawah negara-negara lain di ASEAN seperti Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand.
Sedangkan survei tingkat kecakapan orang dewasa (Programme for the International Assessment of Adult Competencies/PIAACC), Indonesia di peringkat bawah pada semua jenis kompetensi dasar: kemampuan literasi, berhitung, dan memecahkan masalah. Skor lebih dari separuh responden kurang dari level 1 (kategori paling bawah) dalam hal kemampuan membaca.
Ironisnya, survei terhadap 7.229 orang dewasa dari umur 16 tahun-65 tahun pada 1 April 2014-31 Maret 2015 ini dilakukan di ibu kota Jakarta yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 78,99, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional 69,55 (BPS, 2016). Bagaimana dengan daerah lain yang fasilitas dan akses terhadap pendidikannya jauh lebih rendah?
Salah satu pangkal persoalan buruknya kualitas pendidikan kita adalah rendahnya kompetensi guru. Sekalipun secara formal telah memiliki sertifikat pendidik, banyak guru yang kompetensi pedagogik dan profesionalnya tidak memadai. Kompetensi mereka hanya sedikit di atas skor minimal kelulusan Uji Kompetensi Guru (Kompas, 30/4/2018).
Menanggapi hasil survei ini, aktivis pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jimmy Paat mengatakan, orang tua di Indonesia cenderung tidak kritis dengan kualitas pendidikan, sebaliknya di negara maju justru terus menuntut perbaikan kualitas pendidikannya. "Banyak orangtua menerima begitu saja pendidikan yang ada di sekolah-sekolah kita yang sebenarnya biasa-biasa saja, bahkan butuk," kata dia.
Menurut Jimmy, hasil survei ini seharusnya bisa menjadi refleksi kritis bagi dunia pendidikan kita. Optimistis tentu boleh-boleh saja, tetapi kita tetap harus lebih realistis untuk mengejar ketertinggalan mengingat tantangan global ke depan akan semakin kompleks dan membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas....