Aksi Menolak Bandara, Menggugat Aturan Pertanahan DIY
Kobaran api terlihat di dalam pos polisi lalu lintas di pertigaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (1/5/2018) sore. Tak jauh dari sana, puluhan orang berkumpul di tengah Jalan Laksda Adisucipto sehingga menyebabkan lalu lintas di salah satu jalan utama di Yogyakarta itu lumpuh.
Beberapa orang yang mengenakan kaus hitam dan penutup wajah tiba-tiba merusak sejumlah rambu lalu lintas, lalu berusaha merusak pos polisi lalu lintas yang sudah terbakar sebelumnya itu. Tak lama kemudian, seorang lelaki yang mengenakan kemeja hitam melemparkan bom molotov ke arah pos polisi. Api pun menyala dengan hebat.
Suasana mencekam itu terjadi saat puluhan orang yang menamakan diri Gerakan Satu Mei tengah berdemonstrasi. Saat demonstrasi yang dilakukan bertepatan dengan peringatan Hari Buruh itu berlangsung, sejumlah pengunjuk rasa tanpa alasan jelas tiba-tiba membakar dan merusak pos polisi serta merusak sejumlah fasilitas umum lain di lokasi tersebut. Selain itu, di lokasi aksi juga muncul tulisan berisi ancaman terhadap Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono (HB) X yang juga Raja Keraton Yogyakarta.
Aksi yang diwarnai perusakan itu bubar setelah warga yang tinggal di sekitar lokasi tersebut merasa terganggu dan akhirnya mengejar para pengunjuk rasa. Bentrokan antara warga dan pengunjuk rasa pun tak terhindarkan.
Setelah dikejar warga, demonstran berlari ke arah selatan, mendekati kampus UIN Sunan Kalijaga. Mereka kemudian masuk kampus setelah warga terus melakukan pengejaran. Sejumlah warga yang emosional pun akhirnya masuk ke dalam kampus untuk mengejar demonstran tersebut.
Seusai kejadian, polisi menangkap 69 pengunjuk rasa. Namun, hanya 12 orang yang lalu ditetapkan sebagai tersangka. Dari 12 tersangka, 11 di antaranya berstatus sebagai mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tuntutan
Kericuhan yang terjadi dalam demonstrasi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga itu mengejutkan banyak pihak. Apalagi, pada hari tersebut, di DIY sebenarnya berlangsung sejumlah aksi lain untuk memperingati Hari Buruh yang dipusatkan di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta. Semua aksi yang berlangsung di Malioboro berlangsung aman dan damai.
Oleh karena itu, kemudian muncul banyak pertanyaan seputar aksi Gerakan Satu Mei yang diwarnai dengan kericuhan tersebut. Kenapa pengunjuk rasa tiba-tiba melakukan pengrusakan dan pembakaran? Siapa sebenarnya yang menggerakkan aksi itu? Benarkah aksi ini murni untuk memperingati Hari Buruh? Selain itu, kenapa sampai muncul tulisan yang mengancam Sultan HB X?
Tulisan ini hendak menyoroti aksi Gerakan Satu Mei dengan melihat sejumlah tuntutan yang disuarakan kelompok tersebut. Meski digelar bertepatan dengan peringatan Hari Buruh, aksi tersebut jelas tidak murni menyuarakan masalah kesejahteraan buruh atau pekerja di Indonesia. Dalam selebaran yang dikeluarkan oleh Gerakan Satu Mei, ada tujuh poin tuntutan yang mereka suarakan melalui aksi itu (lihat tabel).
Tuntutan Gerakan Satu Mei | |
1 | Turunkan harga BBM (bahan bakar minyak) |
2 | Tolak upah murah dan berikan jaminan keselamatan kerja |
3 | Cabut Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing |
4 | Hapuskan UU No 2 Tahun 2012 dan tolak rencana Presiden tentang percepatan pengadaan tanah |
5 | Hentikan pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport) dan kota bandaranya |
6 | Tolak Sultan Ground dan Paku Alam Ground |
7 | Cabut nota kesepahaman perbantuan TNI kepada Polri |
Membaca tujuh poin tuntutan itu, tampak bahwa Gerakan Satu Mei tengah menyuarakan masalah yang sangat beragam. Namun, berdasarkan analisis atas materi selebaran, poster, spanduk, dan tulisan yang ditorehkan peserta aksi di sejumlah tembok dan fasilitas publik, bisa disimpulkan ada dua isu utama yang sebenarnya diusung Gerakan Satu Mei.
Isu pertama adalah penolakan pembangunan bandar udara di Kabupaten Kulon Progo, DIY. Saat ini tengah berlangsung. Pembangunan bandara Kulon Progo, yang kerap disebut dengan New Yogyakarta International Airport (NYIA) atau Bandara Internasional Yogyakarta Baru. Proses pembangunan itu masih terganjal masalah karena sejumlah warga pemilik lahan menolak melepaskan tanah mereka untuk pembangunan bandara.
Alasannya bukan karena ganti rugi yang ditawarkan terlalu kecil, melainkan karena beberapa warga memang menolak pembangunan bandara. Sejumlah warga penolak bandara beralasan, pembangunan bandara akan menggusur lahan pertanian mereka sehingga mereka akan kehilangan sumber penghasilan. Selama beberapa bulan terakhir, gerakan penolak bandara Kulon Progo telah membesar dan melibatkan para aktivis mahasiswa serta pegiat lembaga swadaya masyarakat.
Dalam aksi Gerakan Satu Mei, tampak bahwa isu penolakan bandara Kulon Progo merupakan isu yang paling dominan. Salah satu indikasinya, pada selebaran resmi yang dikeluarkan oleh gerakan itu, isu bandara Kulon Progo menjadi masalah yang paling banyak dibahas dibandingkan enam poin tuntutan lain. Selain itu, poster, spanduk, dan coretan di sekitar lokasi aksi juga menunjukkan bahwa isu penolakan bandara Kulon Progo hadir secara dominan saat demonstrasi tersebut.
Oleh karena itu, tak heran Kepala Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Dofiri menyebut aksi Gerakan Satu Mei merupakan demonstrasi untuk menolak pembangunan bandara Kulon Progo. ”Aksi ini bukan aksi buruh, melainkan untuk menolak bandara. Jadi, aksi ini mendompleng peringatan Hari Buruh,” ujarnya.
Pertanahan
Namun, penolakan terhadap bandara Kulon Progo bukan satu-satunya isu yang dominan dalam aksi Gerakan Satu Mei. Isu lain yang bisa dianggap dominan adalah gugatan terhadap aturan pertanahan di DIY yang dianggap memberikan keistimewaan kepada dua institusi kerajaan tradisional di provinsi itu, yakni Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman merupakan subyek yang memiliki hak atas tanah. Tanah milik Keraton Yogyakarta kerap disebut Sultan Ground (SG), sementara tanah milik Kadipaten Pakualaman disebut Paku Alam Ground (PAG).
Aturan khusus soal SG dan PAG merupakan perwujudan keistimewaan bidang pertanahan yang dimiliki oleh DIY. Berdasarkan UU Keistimewaan DIY, DIY memang memiliki keistimewaan pada lima bidang bila dibandingkan dengan provinsi lain, yakni kebudayaan, kelembagaan, pertanahan, tata ruang, serta pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur.
Namun, keistimewaan bidang pertanahan itu ternyata juga menimbulkan persoalan. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah aktivis LSM, akademisi, dan kelompok mahasiswa sebenarnya sudah kerap mempertanyakan aturan ihwal SG dan PAG karena dianggap bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Namun, sampai saat ini, aturan ihwal SG dan PAG tetap tak berubah.
Penolakan terhadap keberadaan SG dan PAG itulah yang kembali disuarakan oleh Gerakan Satu Mei. Dalam selebarannya, gerakan itu menuduh bahwa aturan ihwal SG dan PAG akan membuat Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ”memonopoli tanah-tanah seantero Provinsi Yogyakarta”.
Orang tak dikenal
Seusai demonstrasi Gerakan Satu Mei, muncul sejumlah spekulasi mengenai penyebab kericuhan yang mewarnai aksi tersebut. Salah satu yang menarik dicermati adalah dugaan adanya sejumlah orang tak dikenal yang tiba-tiba ikut dalam demonstrasi itu, lalu melakukan perusakan dan pembakaran. Dugaan itu, antara lain, diungkap oleh Ketua Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) DIY Faizi Zain.
Faizi menuturkan, aksi Gerakan Satu Mei melibatkan sejumlah organisasi kemahasiswaan di DIY, termasuk PMII. Saat koordinasi persiapan aksi dilakukan, Faizi menyebut, semua kelompok yang terlibat sepakat untuk menggelar aksi damai. ”Oleh karena itu, PMII sangat menyesalkan dan sangat mengecam kericuhan tersebut,” ujarnya.
Namun, saat pelaksanaan aksi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, Faizi menyatakan, banyak orang tak dikenal yang mendadak ikut dalam demonstrasi, lalu melakukan perusakan dan melemparkan bom molotov. ”Mereka memakai kain hitam untuk penutup wajah,” katanya.
Kejanggalan lain yang disebut Faizi adalah ihwal tuntutan yang disuarakan dalam aksi Gerakan Satu Mei. Menurut Faizi, saat koordinasi persiapan aksi, semua pihak sepakat bahwa aksi itu akan fokus menyoroti masalah kesejahteraan buruh. Oleh karena itu, aksi tersebut harusnya tidak menyuarakan isu penolakan bandara Kulon Progo serta gugatan terhadap SG dan PAG.
”Karena ini refleksi Hari Buruh, kami sepakat fokus pada soal kesejahteraan buruh,” ujar Faizi. Oleh karena itu, Faizi mengaku kaget saat aksi Gerakan Satu Mei juga menyuarakan ihwal penolakan bandara Kulon Progo serta gugatan terhadap SG dan PAG.
Lalu, kenapa aksi itu akhirnya berubah dari tujuan awalnya? Pertanyaan itulah yang perlu dijawab oleh kepolisian. Melalui penyidikan yang komprehensif, polisi diharapkan tidak hanya menindak pelaku perusakan dan pembakaran, tetapi juga mengungkap dalang di balik peristiwa tersebut.