JAKARTA, KOMPAS Ulama memiliki peranan yang tinggi dan mulia untuk menyebarkan Islam yang damai dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Sikap Islam yang wasatiyyat atau moderat sejatinya menjadi karakter Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Salah satu ciri Islam wasatiyyat itu adalah penggunaan kata-kata yang baik dan tidak mengedepankan kekerasan.
Imam dan Khotib Masjidil Haram Dr Sholeh bin Abdullah bin Khumaid mengemukakan hal itu saat bertemu dengan jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dipimpin Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, dan didampingi Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, Jumat (4/5/2018), di Jakarta. Sholeh bin Abdullah adalah utusan resmi Raja Salman dari Arab Saudi untuk menghadiri Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia tentang Wasatiyyat Islam di Bogor, Jawa Barat, 1-3 Mei kemarin.
Dalam kunjungan persahabatan tersebut, Sholeh bin Abdullah didampingi tiga atase Kedutaan Arab Saudi untuk Indonesia yang bergerak di bidang agama, pendidikan, dan kebudayaan.
”Islam yang wasatiyyat ini menjadi ciri Islam yang disampaikan Rasulullah Muhammad SAW. Ciri-cirinya adalah Islam yang menggunakan kata-kata yang baik, damai, serta tidak melakukan kekerasan. Beberapa kelompok yang mendengungkan kekerasan memang ada, tetapi jumlah mereka yang keras ini sedikit di Arab Saudi,” kata Sholeh bin Abdullah.
Hanya saja, acap kali mereka yang berpandangan keras tersebut, menurut Sholeh bin Abdullah, suaranya lebih lantang daripada mereka yang mengambil jalan moderat atau wasatiyyat. Publik diharapkan tidak salah memahami Islam hanya dengan memandang mereka yang kerap berteriak lantang dan menggunakan kekerasan. Sebab, jumlah mereka yang berpandangan keras tersebut lebih kecil daripada yang mengambil jalan moderat.
Oleh karena itu, peran ulama dan syekh diperlukan untuk bersama-sama membangun Islam yang moderat dan menjadi rahmatan lil alamin. ”Arab Saudi memiliki Visi 2030 untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Visi ini akan dikembangkan terus-menerus, dan bersama- sama dengan NU, Saudi akan mengembangkan Islam wasatiyyat (moderat) dan menjadi rahmatan lil alamin,” kata Sholeh bin Abdullah.
Semangat kebangsaan
Said Aqil dalam kesempatan pertemuan tersebut menjelaskan arti penting kebangsaan yang diemban oleh NU. Pembentukan Indonesia sebagai suatu bangsa pun tak lepas dari sumbangsih kelompok santri. Pendiri NU, KH Hasyim Asyari, sejak awal menguatkan konsepsi cinta Tanah Air atau kebangsaan sebagai bagian dari iman atau hubbul wathon minal iman. Konsepsi tersebut hingga sekarang diwariskan, dijaga, dan dipegang teguh oleh NU.
”Tidak lengkap iman seseorang kalau dia tidak mencintai tanah airnya. Semangat cinta Tanah Air ini dibawa oleh para santri NU dalam melawan penjajahan Belanda,” kata Said.
Oleh karena itu, kendati mayoritas penduduk Indonesia Muslim, NU sepakat bahwa Indonesia bukanlah negara Islam atau Darul Islam, melainkan lebih tepat sebagai darusalam atau negara damai. Pilihan itu tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk, yang terdiri atas berbagai suku bangsa.
Sikap kebangsaan yang diemban oleh NU itu diapresiasi oleh Sholeh bin Abdullah.
”Dalam momen hijrah ke Madinah, Rasul berkata, seandainya aku tidak diusir, aku tidak akan keluar dari Mekkah. Sikap ini menunjukkan bahwasannya Rasul sendiri mencintai Mekkah, yang merupakan tanah airnya. Ini menunjukkan Rasul adalah orang yang cinta tanah air,” kata Sholeh bin Abdullah.
Pertemuan antara jajaran PBNU dan Imam Masjidil Haram, kemarin, dilaksanakan berselang dua hari setelah pertemuan antara jajaran PBNU dan Imam Besar Al-Azhar Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, Rabu lalu. Said mengatakan, kedua pertemuan tersebut menunjukkan posisi NU dan perjuangan Islam moderatnya telah diakui oleh dunia.