Bulan Mei 1998 menjadi tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia kontemporer. Bulai Mei boleh jadi merupakan periode yang tak ingin dikenang oleh sebagian orang. Kekerasan, kerusuhan, penculikan, Jakarta yang porak poranda, serta mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 dan digantikan BJ Habibie merupakan memori kolektif bangsa Indonesia.
Akan tetapi, harus diakui bulan Mei 1998 akan menjadi tonggak penting dimulainya liberalisasi politik, liberalisasi pers, dan dibukanya keran kebebasan berorganisasi. Situasi politik itu kita nikmati sampai sekarang ini. Pelepasan tahanan politik seakan menjadi tradisi dalam transisi kekuasaan Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie.
Dalam bulan Mei 2018 ini pula, rekaman peristiwa sosial, politik, dan ekonomi yang dipotret Kompas dari 1 Mei hingga 31 Mei 1998 akan dipaparkan kembali agar bangsa ini bisa melihat perjalanan sejarah bangsa Indonesia kontemporer. Boleh jadi, mereka yang menjadi aktor dalam pergolakan pada bulan Mei 1998 masih tetap memegang peran sentral pada masa reformasi, bahkan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
Jumat, 1 Mei 1998
Halaman muka harian Kompas, Jumat, 1 Mei 1998, menempatkan berita utama ”Kesimpulan Komnas HAM: Penghilangan Paksa oleh Kelompok Terorganisir”, dengan foto utama wajah Wakil Sekjen PDI Megawati Soekarnoputri, Haryanto Taslam, memenuhi undangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Haryanto Taslam yang sempat beberapa bulan hilang diundang Komnas HAM untuk menceritakan pengalamannya selama hilang di depan anggota Komnas HAM Albert Hasibuan, Mayjen (Purn) Koeparmono Irsan, serta Djoko Sugianto.
Banyaknya orang hilang memang menjadi berita di sepanjang tahun 1997 dan awal 1998. Terungkapnya kasus orang hilang diawali langkah berani Pius Lustrilanang. Seperti terekam dalam berita harian Kompas, Selasa, 29 April 1998, Pius Lustrilanang mengatakan, ”Saya ingin semua ini diakhiri.” Seusai memberikan kesaksian di hadapan anggota Komnas HAM Mayjen (Purn) Syamsuddin dan Albert Hasibuan, Pius langsung meninggalkan Indonesia menuju Amsterdam, Belanda.
Saya bicara begini dengan risiko mati, tapi saya pilih itu karena saya ingin semua ini diakhiri.
Dalam keterangannya kepada pers dalam dan luar negeri di Kantor Komnas HAM, Pius membenarkan dirinya diculik orang tidak dikenal. Dia pun menyadari risiko yang akan dihadapi setelah menceritakan pengalamannya selama dua bulan. ”Saya bicara begini dengan risiko mati, tapi saya pilih itu karena saya ingin semua ini diakhiri,” ujar Pius seperti dikutip Kompas, 28 April 1998. Setiba di Belanda, Pius mengatakan, ”Saya datang ke Belanda untuk menyelamatkan diri,” katanya kepada media Belanda.
Pengakuan Pius mengundang reaksi Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Seperti dikutip Kompas, Kamis, 30 April 1998, Wiranto mengatakan, tidak ada kebijakan ABRI menghilangkan orang. ”ABRI sadar betul cara-cara seperti itu berisiko sangat berat. Karena itu, sampai sekarang ini, tidak ada politik ABRI atau kebijaksanaan pemerintah untuk menghilangkan orang,” kata Wiranto di Bandung, 29 April 1998.
Langkah politik Komnas HAM membongkar kasus penculikan aktivis tergolong berani. Komnas HAM dibentuk Presiden Soeharto pada tahun 1992. Ali Said, purnawirawan tentara dan mantan Ketua Mahkamah Agung, ditunjuk Soeharto sebagai Ketua Komnas HAM pertama. Politisi Golkar berkarakter dan punya prinsip bergabung di Komnas HAM, seperti Marzuki Darusman yang menjadi Wakil Ketua II Komnas HAM, Albert Hasibuan, serta Clementino dos Reis Amaral. Amaral, anggota DPR Golkar dari Timor Timur, kini tinggal di Timor Leste.
Terbongkarnya penculikan aktivis adalah hasil kerja keras Komnas HAM. Dalam kesimpulannya, Komnas HAM berpendapat, orang-orang yang telah dilaporkan hilang mengalami penghilangan secara paksa dengan cara diculik dan bukan menghilang secara sukarela.
Penghilangan orang secara paksa itu adalah pelanggaran HAM berat dan dilakukan oleh kelompok terorganisasi.
Penghilangan orang secara paksa itu adalah pelanggaran HAM berat (gross violation of human right) dan dilakukan kelompok terorganisasi. Dalam bagian kesimpulannya, Komnas HAM menghargai penegasan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto bahwa tidak ada kebijaksanaan dan tidak ada perintah untuk menghilangkan orang.
Temuan Komnas HAM itu direspons Menhankam/Pangab dengan dibentuknya Tim Pencari Fakta yang beranggotakan Komandan Polisi Militer ABRI, Asisten Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kasum ABRI dan Asisten Intelijen Kasum ABRI. Tim ditugaskan untuk meneliti kemungkinan adanya oknum ABRI yang terlibat.
Dua puluh tahun berlalu. Isu penghilangan paksa seperti menjadi beban sosial politik bangsa Indonesia. Presiden Joko Widodo dalam dokumen Nawacita menuliskan tekadnya soal penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu seperti ini, ”…Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi l965.”
Komitmen itu tertuang dalam Nawacita, tetapi realisasi dari komitmen itu masih ditunggu. Pelanggaran HAM masa lalu tetaplah masih menggelayuti perjalanan menuju masa depan bangsa Indonesia.