SEMARANG, KOMPAS — Sekitar 1.000 pekerja memperingati Hari Buruh Internasional atau sering disebut May Day dengan bernyanyi dangdut bersama di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (1/5/2018). Mereka juga berorasi tentang kesejahteraan dan permasalahan klasik yang melilit kaum buruh, di antaranya pemenuhan hak normatif buruh.
Peserta aksi tergabung dalam Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) Kota Semarang. Sejumlah buruh juga datang dari luar kota, seperti Demak, Kendal, Pati, Kudus, dan Kabupaten Semarang. Mereka memperingati Hari Buruh yang terpusat di depan Kantor Gubernur Jateng, Jalan Pahlawan, Kota Semarang.
Sejak pagi hari, buruh mulai memadati Jalan Pahlawan. Pengalihan arus lalu lintas dilakukan karena sebagian badan jalan harus ditutup. Tak seperti biasanya, peringatan Hari Buruh tahun ini diiringi orkes dangdut jalanan. Panggung semipermanen berukuran 4 meter x 2 meter dibangun di depan Kantor Gubernur Jateng.
Di bawah terik sinar matahari, para buruh bernyanyi dangdut penuh sukacinta. Di sela-sela bernyanyi, koordinator aksi secara bergantian berorasi tentang kesejahteraan dan permasalahan klasik yang melilit kaum buruh. Orkes dangdut ini berhasil membuat aksi demonstrasi berlangsung tertib dan aman. Aksi berlangsung selama 3 jam sejak pukul 09.00.
Ketua DPD FKSPN Kota Semarang Heru Budi Utoyo mengatakan, aksi Hari Buruh tahun ini masih menyoroti sejumlah permasalahan buruh, antara lain perbaikan kesejahteraan, pelanggaran ketenagakerjaan, sistem tenaga kerja kontrak (outsourcing), pekerja rumahan (putting out system), dan mekanisme penyelesaian sengketa kerja.
Selain itu, buruh juga menyoroti beberapa kebijakan dan peraturan perundang-undangan antara lain Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang tenaga kerja asing dan Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang pengupahan. AFNEI ”Pembatasan kenaikan upah tidak sesuai kenaikan harga bahan pokok,” kata Heru.
FKSPN Kota Semarang menilai hak-hak normatif buruh juga belum dipenuhi negara, mulai dari ketersediaan lapangan kerja, peraturan kerja lembur, kerja ganda atau sampingan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Buruh diimbau agar selalu kritis terhadap aturan ketenagakerjaan dan perbaikan nasib di masa depan.
Pekerja media
Dalam kesempatan sama, sejumlah pekerja media di Kota Semarang turut menyuarakan aspirasi tentang sistem pengupahan yang dinilai tidak layak. Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang Aris Mulyawan mengatakan, sejumlah pengelola media tidak tegas dalam menentukan nasib para pegawainya. Mayoritas pekerja media masih berstatus kontrak sehingga jenjang karier tidak jelas.
AJI dan Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jateng meminta pengelola media menghapus status jurnalis kontributor. Status jurnalis kontributor dinilai merugikan karena sistem pengupahan tidak jelas dan pekerja kerap kehilangan hak-hak dasarnya.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Semarang Zainal Arifin menambahkan, politik upah murah seolah dijadikan senjata oleh pemerintah untuk mengundang investasi. ”LBH menuntut pemerintah mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, menghentikan praktik politik upah murah dan pasar tenaga kerja fleksibel di Jateng, serta meminta perusahaan menghentikan jam kerja panjang yang tidak manusiawi,” katanya.