Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan Belum Optimal
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia pada 2018 terbilang tinggi, yakni sudah mencapai 348.446 kasus. Dari ribuan kasus itu hanya sedikit yang dilaporkan ke polisi dan diproses di pengadilan.
Masalah itu terungkap dalam diskusi bertajuk ”Perempuan dan Pengawasan terhadap Lembaga/Aparat Penegak Hukum, Peran Perempuan dalam Penyelenggaraan Negara” di auditorium Komisi Yudisial, Jakarta, Senin (30/4/2018).
Diskusi dihadiri sejumlah narasumber, antara lain Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta, Wakil Ketua Komisi Kejaksaan Erna Ratnaningsih, komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu, dan Ketua Presidium Nasional Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
Erna Ratnaningsih mengatakan, berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2018, jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 348.446 kasus. Jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga paling tinggi ialah 335.062 kasus. Namun, data LBH APIK Jakarta menunjukkan, hanya 308 kasus KDRT yang dilaporkan ke polisi, dan 648 masuk dalam laporan pengaduan masyarakat.
Penyidik diskreditkan perempuan
Jumlah kasus yang diputus di pengadilan bahkan jauh lebih sedikit, yaitu 26 kasus, termasuk 11 kasus kekerasan seksual, 3 kasus kekerasan, dan 6 kasus perceraian.
Menurut Erna, banyak pertanyaan yang diajukan penyidik justru mendiskreditkan perempuan. Korban juga kerap malu, merasa wajib melindungi nama baik keluarga, merasa proses hukum tidak menyelesaikan masalah mereka, ataupun khawatir ada pembalasan dari pelaku. Terkadang, korban juga kerap tidak tahu bahwa apa yang dialaminya adalah tindak pidana kekerasan.
”Selama ini, penyidik lebih banyak menggunakan instrumen Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dibandingkan Undang-Undang Perempuan dan anak. Terkadang, kasus ini juga mentok di kejaksaan dan tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan karena kurangnya bukti,” ujar Erna.
Sementara komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menambahkan, terkait dengan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, polisi sebenarnya sudah memiliki peraturan Kapolri (perkap) serta pedoman penanganan perkara.
Namun, selama ini kendala dalam menangani masalah perempuan dan anak, misalnya kekerasan seksual, adalah masalah pembuktian karena harus ada saksi dan keterangan ahli.
”Makanya kami sudah berkali-kali bilang untuk menggunakan scientific crime investigation untuk pembuktian. Kami juga berharap kasus-kasus kekerasan pada perempuan dan anak ditangani oleh polisi wanita yang yang sudah mendapatkan pelatihan,” kata Poengky.
Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang hadir dalam acara tersebut juga mengatakan, dirinya pernah mendampingi peradilan kasus pemerkosaan di Yogyakarta. Saat persidangan, ia kaget karena hakim justru meluncurkan pertanyaan yang memojokkan korban, seperti ”saat pemerkosaan enak tidak?”
Kasus kekerasan terhadap perempuan juga sulit untuk P21 di Kejaksaan karena tidak cukup bukti. Hal ini yang menjadi masalah bersama kaum perempuan. Perempuan yang ada di dalam lingkar internal pengawas dan penegak hukum pun didesak untuk membenahi kondisi ini.
”Tugas dan aparat penegak hukum harus bisa memenuhi rasa keadilan terhadap perempuan dan anak,” ujar GKR Hemas.
Tangani bersama
Ninik Rahayu berpendapat, kasus kekerasan perempuan dan anak harus ditangani oleh penyidik yang kompeten. Jangan ada distorsi pemaknaan relasi kuasa yang timpang sehingga keadilan tidak bisa dicapai dalam proses peradilan. Penyidik sebaiknya memiliki perspektif jender yang kuat dan menguasai UU Perempuan dan Anak.
”Temuan dari ORI pun banyak menunjukkan ruangan Unit Perempuan dan Anak hanya bagus di tingkat provinsi. Penyelesaian masalah tidak didampingi psikolog, dan belum secara menyeluruh,” kata Ninik.
Ia berharap pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan ini menelurkan langkah konkret untuk membentuk pedoman pengawasan kekerasan perempuan dan anak secara lebih komprehensif. Masih-masing lembaga dan komisi harus memiliki alat dan standar pelayanan khusus untuk memonitor kasus bersama-sama.
Selama ini, kasus kekerasan tidak bisa dituntaskan karena tidak ada standar pelayanan khusus yang jelas. Lembaga pengawas negara tidak bisa lagi mengedepankan ego sektoral dan harus segera bersinergi untuk menyelesaikan masalah ini.
”Alat monitor dan standar pelayanan khusus ini baru akan digagas. Kami akan duduk bersama dulu, mencari di mana letak buntunya karena setiap laporan kekerasan perempuan dan anak harus ditangani dengan tuntas, jangan sampai banyak kasus tidak jalan lagi,” ujar Ninik.